Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Perburuhan pancasila, moga-moga

Indonesian documentation & information centre, leiden, 1981, resensi: julia i. suryakusuma.

23 Januari 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INDONESIAN WORKERS AND THEIR RIGHT TO ORGANISE INDOC Indonesian Documentation & Information Centrel, 148 hlm. Leiden, 1981. KEADAAN perburuhan sering memberikan warna yang penting dalam situasi ekonomi dan politik sebuah negara. Trade Unionism di Inggris jelas menunjukkan itu. Solidaritas di Polandia apalagi. Di Indonesia kita memiliki HPP (Hubungan Perburuhan Pancasila) -- yang antara lain menggariskan bahwa buruh bukan hanya komponen, melainkan "partner" pemerintah dalam usaha pembangunan. Secara obyektif, perburuhan di Indonesia cukup sulit dengan adanya buruh tani dalam jumlah yang besar-di samping buruh industri yang semakin membanyak. Terutama setelah Kenop, keresahan buruh terasa menjadi-jadi. Sebuah buku, yang mungkin lebih tepat disebut dokumen, yang muncul dari Negeri Belanda, menyoroti masalah ini. Penulisan Indonesian Workers ini dilakukan oleh sejumlah orang -- di antaranya juga orang-orang Indonesia--yang tergabung dalam INDOC, sebuah organisasi bebas yang melakukan dokumenusi tentang Indonesia. Karena itu tak mengherankan bila pembaca terus dibawa pa.la reportase kasus-kasus perburuhan yang sebelumnya telah dilaporkan di berbagai penerbitan nasional pada tahun-tahun 1979-80. Beberapa sumber yang mereka pakai antara lain Angkatan Bersenjata, Berita Buana, Kompas, Merdeka, Pelita, Sinar Harapan, Suara Karya serta mingguan TEMPO, Topik dan beberapa publikasi luar negeri. Membaca kasus-kasus ini kita langsung saja mengenali: kasus PT Fairchild Semiconducter (hlm. 38): kasus pilot-pilot Garuda (hlm. 35) kasus pemogokan dan pengaduan ke DPR dari buruh-buruh Hotel Horison (hlm. 60) pemeriksaan keperawanan di PT Southern Cross Textile Industry (hlm. 43)- kasus pemogokan di Hotel Bali Hyatt (hlm. 59) penguncian 34 buruh dalam kamar selama sehari penuh karena meminta status pekerja tetap (hlm. 59) kasus PT Textra (hlm. 1), serta puluhan kasus lain. Secara umum kasus-kasus ini menggambarkan perlakuan tak wajar pada kaum buruh upah yang tak masuk akal, jam kerja yang, melampaui batas, kondisi kerja yang buruk, tidak adanya jaminan kerja, status kerja yang tak jelas. Dari semua keluhan yang timbul, yang terdengar paling nyaring adalah keluhan kesewenang-wenangan majikan. Bisa jadi karena terlalu minimnya kontrol dari pihak luar, misalnya pemerintah. Itulah yang memungkinkan penyalahgunaan kekuasaan yang berlebih-lebihan. Sedang buku Indoc ini menganggap sikap pemerintah Orde Baru cukup membingungkan karena mengandung ambivalensi dan kontradiksi. Satu-satunya organisasi yang dipercaya pemerintah mewakili kaum buruh adalah FBSI --yang oleh ketuanya sendiri, Agus Sudono, disebut sebagai organisasi "tak bergigi", yang memiliki pejabat-pejabat yang "brengsek" dengan kecenderungan korupsi dan mudah dimanipulasi oleh pengusaha (hlm. 67). Sampai-sampai timbul julukan "anggota Serikat Kerja Amplop" (envelope unonists, hlm. 89). HPP, yang sebenarnya belum pernah diundangkan, hanya menjadi "sepoton nasihat untuk para pengusaha . . . (dan) . . . propaganda buat buruh" (hlm. 66). Dalam catatan kaki sebuah bab yang berjudul Government, Employers and Workers: Partners or Protagonists?, ada sebuah kutipan dari Permadi, ketua Lembaga Konsumen Indonesia "Saya khawatir HPP hanyalah untuk melindungi yang kuat dan mengorbankan yang lemah . . . HPP tak bisa meninabobokan segala-galanya. Kaum buruh tah boleh dibebani kewajiban-kewajiban, sementara hak-hak mereka diambil . . . tak ada iklim demokrasi dalam dunia perburuhan. Semua pekerja terpojok karena mereka hanya dapat memilih FBSI (hlm. 74), karena saluran-saluran resmi lainnya sangat terbatas. Kutipan ini menarik bila dikaitkan dengan bab mengenai asal usul dan FBSI sekarang. Secara historis, SB di Indonesia muncul tahun 50-an sebagai alat partai-partai politik yang sedang mempersiapkan pemilu. Tetapi sejak 1957, dengan diumumkannya SOB (keadaan perang darurat), militer ditempatkan menjadi penengah dalam seluruh sistem kenegaraan. Dengan demikian partai-partai politik mengalami penjinakan--dan akibatnya juga serikat-serikat buruh. Salah satu konsekuensi HPP adalah implikasinya bahwa hak mogok, yang merupakan salah satu hak dasar buruh, dan yang juga diakui UU, praktis berlaku di kertas saja. Berbagai tokoh berkata dengan adanya HPP sebenarnya pemogokan tak diperlukan--bahkan bertentangan dengan HPP. Memang ada kecenderungan pihak penguasa untuk melihat semua tindakan pemogokan sebagai "subversi", "tindakan kriminal" (hlm. 70), atau melawan investasi asing (hlm. 104). Dan bahwa pengorganisasian buruh adalah bagian dari gerakan komunis yang terlarang. Intimidasi politik dilihat sebagai satu cara untuk mengontrol buruh secara aman oleh pihak penguasa, tanpa kekhawatiran akan reperkusi. Bila ada intervensi, itu biasanya dari pihak tentara atau polisi yang sering hanya menguntungkan kaum pengusaha. Pada akhirnya misi FBSI pun, yang juga dibentuk di bawah supervisi militer dan aparatus negara, dilihat oleh para penulis Indoc ini sebagai "menjual tenaga kerja Indonesia kepada calon-calon penanam modal asing . . . dan untuk memberi jaminan bahwa tenaga kerja ini akan sederhana dalam tuntutannya, patuh, dan sangat murah" (hlm. 78). "Kaum buruh adalah partner pengusaha dan pemerintah"--spanduk yang sering kita lihat di jalanan. Ini dikomentari demikian: "Bila Karl Marx kebetulan lewat, ia pasti akan terbahak-bahak dan hampir terjatuh untuk membaca spanduk itu. Dia tak pernah membayangkan, bahwa pada suatu zaman, pada suatu negara, akan terdapat sekelompok buruh yang begitu sopan dan menerima nasib bahwa mereka akan menerima gaji mereAka, apakah memadai atau tidak, tanpa sedikit pun keluhan. Saya pikir, sesampainya di rumah, dengan kehabisan napas, ia akan mengambil bukunya 'Capital' dan melemparkannya ke dalam kali Cikapundung. Untuk apa semuanya itu, menulis buku bertahun-tahun lamanya untuk membela kelas buruh, bila sekarang semuanya berpelukan seperti paman dan keponakan?" (hlm. 99, Mahbub Junaedi dalam Pelita 2.4.80). Hal ini memang mungkin, karena komposisi tenaga kerja industri Indonesia sekarang ini merupakan suatu massa yang sangat muda dalam usia maupun pembentukannya, sering berpendidikan rendah, wanita-wanita muda, bahkan buruh anak-anak pun tak jarang. Mereka tak punya kepastian kerja, mendapat upah yang sangat rendah, mudah dikontrol, dan terus-terusan berubah karena tingkat pengangguran yang tinggi. Pihak pemilik modal tidak pernah kekurangan orang yang ingin bekerja betapapun buruk kondisinya. Buku ini juga menganalisa masalah kebijaksanaan politik, keadaan lapangan kerja dan kondisi kerja di Indonesia secara cukup tajam. Tetapi jangan dikira mereka melulu bicara yang jelek-jelek. Mereka mencatat kunjungan sewaktu-waktu Gubernur Tjokropranolo ke pabrik-pabrik untuk mengecek standar upah dan kondisi kerja, yang dianggap sebagai intervensi positif yang pertama atas nama buruh. Mereka juga melihat hukum di Indonesia bisa dikatakan progresif dari segi pemberian cuti hamil, menyusui dan cuti haid, walaupun dalam prakteknya tidak selalu sesempurna di kertas. Dari segi sistematika dan isi, buku ini menarik dan ditulis secara persuasif. Cukup pandai pula mereka menghindari kemungkinan dikritik sebagai "orang-orang Barat" yang tak betul-betul tahu keadaan Indonesia--dengan menggunakan semua bahan mereka dari sumber-sumber dalam negeri. Bahkan kritik dan analisa yang mereka lancarkan kadang diambil juga dari kutipan-kutipan penerbitan nasional tadi. Analisa mereka sebenarnya tak terlalu berbeda dengan hal-hal yang ditulis di dalam negeri. Misalnya seperti yang dapat dibaca dalam berbagai artikel mengenai perburuhan di majalah Prisma, Langit Makin Mendung-nya LBH ataupun kafa pengantar buku Tanya Jawab Hukum Perburuhan, juga dari LBH. Tetapi, kebiasaan di Indonesia tampaknya justru lebih memperhatikan yang datang dari luar--baik positif ataupun negatif. Tak ada salahnya bila buku ini pun diperhatikan, bila kita benar-benar ingin melaksanakan hubungan perburuhan yang berdasarkan Pancasila. Julia I. Suryakusuma

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus