Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Sekali lagi ahmad wahib

Buku harian ahmad wahib tak diterima sebagian muslim. gagasan ahmad wahib berhak dibiarkan jangan di lenyapkan, untuk kegiatan pemikir islam. sejarah akan menentukan relevan atau tidak bagi kebutuhan islam.

23 Januari 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CATATAN harian Ahmad Wahib almarhum ternyata menimbulkan heboh juga. Mula-mula beberapa tinjauan buku menerima kehadiran buku harian tersebut sebagai positif, menyegarkan kehidupan pemikiran kaum muslimin. Bahkan sejumlah pemikir non-muslim menerimanya sebagai pemikiran keagamaan yang tidak hanya dapat dibatasi kegunaannya bagi kaum muslimin belaka. Mereka menganggapnya model pencarian kebenaran Islam yang dapat mereka ajak berdialog dengan sehat. Dengan kata lain, Ahmad Wahib yang telah tiada itu lalu menjadi milik bersama, bukannya milik orang Islam saja. Namun tidak lama kemudian, seperti sudah dapat diduga sejak semula, reaksi tidak menerima kehadiran buku itu juga bermunculan - tersebar di berbagai media cetak. Itu yang dapat dimonitor - belum lagi yang menggunakan medium non-cetak seperti khotbah Jumat, diskusi ilmiah dan sebagainya. Terutama di kampus-kampus, sekelompok mahasiswa yang (terlalu?) kritis langsung saja menjatuhkan hukuman terberat bagi sebuah gagasan: pengafiran pencetusnya sebagai murtad. Penulis sendiri pun pernah ditegur ketika mengemukakan sebuah gagasan kecil saja, dengan kata-kata: ternyata nama anda agak mirip dengan nama Ahmad Wahib juga menunjukkan persamaan besar dalam pemikiran keagamaan. Ungkapan yang menggambarkan telah tercapainya tahap 'menghukumi bersalah dengan mengaitkan' guilt by association). Kalau telah seperti itu, tinggal lagi konsekuensi logisnya: mendudukkan tempat Ahmad Wahib dalam sejarah sebagai satu mata rantai upaya penghancuran Islam dari luar. Ahmad Wahib adalah penerusan rasialisme Yahudi, fanatisme kaum orientalis dan kesesatan kaum sekular. Ahmad Wahib adalah bagian dari sebuah komplotan besar untuk memalingkan pikiran kaum muslimin dari kebenaran agama mereka. Ada yang dikemukakan dengan kasar, seperti sebuah surat pembaca di majalah Panji Masyarakat yang menuntut dilarangnya peredaran buku Ahmad Wahib. Ada yang ditulis dengan halus, dari rasa kasihan terhadap Ahmad Wahib sendiri ("belum tentu Ahmad Wahib setuju bukunya itu diterbitkan, jika ia masih hidup") hingga rasa kasihan kepada Islam seperti yang menjadi jiwa makalah Prof. Rasjidi dalam Panji Masvarakat, yang menganggap gagasan almarhum sebuah "tragedi". Bagi yang tidak begitu mengerti duduk persoalannya, lalu muncul kebingungan. Di satu pihak, bagaimanapun memang ada terasa angin segar dibawakan Ahmad Wahib. Bukan ekses-ekses pemikiran yang ada, yang sampai meragukan kebenaran hukum-hukum agama yang sudah begitu mutlak diterima kaum muslimin. Melainkan semangat gagasannya: memeriksa kembali kebenaran sikap-sikap yang sudah diambil selama ini. Sebuah percobaan memikat untuk mengerti kebenaran sebuah agama, dalam upaya menghadapi perubahan-perubahan yang tak dapat dihindari. Setidak-tidaknya karya Ahmad Wahib adalah penawaran sebuah sudut pemikiran dan jendela penglihatan baru. Tetapi, bagaimanapun juga benarnya gagasan itu, ternyata ia ditolak kalangan luas kaum muslimin sendiri - yang nota bene juga mengajukan tawaran yang mereka rumuskan sebagai "penyegaran" pula. Kalau gagasan Ahmad Wahib dihukum sebagai penyimpangan besar (major deviation) dari ajaran Islam, lalu sikap apa yang harus diambil terhadap buku Ahmad Wahib? Akan dianggap remeh begitu sajakah gagasan mendiang (berjabatan terakhir) reporter 'TEMPO' itu, padahal penyegaran yang dilontarkannya bagaimanapun diperlukan kaum muslimin sekarang? Bagaimana memelihara essensi penyegaran, kalau ditolak buku itu secara keseluruhan, hanya karena ekses-ekses yang dikandungnya? Lebih jauh lagi, patutkah dibuang demikian saja buku itu, kalau dari pemikir muslim lain belum ada pelontaran gagasan yang benar-benar menyegarkan? Bukankah mereka paling jauh baru berhasil meneriakkan dengan lantang supremasi Islam di bidang bermacam-macam, tanpa mampu mengemukakan bukti-bukti kongkrit di luar kejayaan masyarakat muslim masa lampau? Terus-terang saja penulis tidak setuju kalau buku sepenting karya Ahmad Wahib demikian saja di'lenyapkan'. Semangat merumuskan kembali jawabanjawaban Islam terhadap tantangan hidup haruslah dipelihara, terlepas dari ekses-ekses yang umumnya bersifat peremehan arti pendekatan tekstual terhadap ajaran agama yang sudah mapan. Kalau dibuat analogi dengan dunia pemerintahan, administrasi negara dan birokrasi tetap menjadi kebutuhan utama kehidupan bangsa, terlepas dari tindakan-tindakan eksesif yang dilakukan birokrasi sepanjang sejarah. Sejarah Islam penuh pedstiwa-peristiwa besar di mana konformitas menjadi alat menjatuhkan hukuman--hanya karena ekses-ekses yang ditakuti akan mengikis kebenaran ajaran. Kasus Syekh Siti Jenar dapat dikemukakan di sini - yang harus membayar ajakannya kepada tasawwuf anthropomorfistik (manunggalin, kawula Ian Gusri) dengan jiwanya sendiri di tangan Sunan Kalijaga. Toh sejarah Islam masih menerima kebenaran esensial dari ajakan Syekh Siti Jenar itu-dengan menerima legenda bahwa darah sufi malang itu, yang mengalir dari liang bekas tusukan keris di tubuhnya, membentuk kalimat 'la ilaha illallah', tiada Tuhan melainkan Allah. Tetapi lebih penting, sejarah Islam justru menunjukkan lebih banyak lagi contoh bagaimana ia mampu menyerap esensi penyegaran tanpa terganggu oleh ekses-ekses gagasan penyegaran itu sendiri. Khalifah 'Uthman bin 'Affan mengajukan gagasan (revolusioner waktu itu) mengumpulkan teks Al-Quran yang berserak-serak menjadi sebuah kitab suci yang utuh (dengan ekses dihancurkannya bacaan/rendering yang berbeda dari bacaan standar yang diambil) Imam Syafi'i menyusun kembali metode pengambilan hukum agama dari Al-Quran dan Hadith, dengan ekses dibatalkannya sejumlah metode lain--yang belum tentu juga salah. Dan begitu seterusnya. Itu bukan berarti gagasan Ahmad Wahib nanti akan dapat diterima oleh orthodoksi agama dan diterima sebagai kebenaran universal, seperti kedua gagasan (yang kini dimuliakan) di atas. Tetapi ia berhak untuk dibiarkan mengendap dalam kegiatan berpikir keagamaan kaum muslim, hingga nantinya akan ditentukan oleh sejarah, relevan atau tidaknya bagi kebutuhan mereka. Tragedi atau kreativitas, biarlah ditentukan oleh perkembangan kemudian hari, jangan dipaksakan sekarang juga. Ini permintaan dari orang yang dalam banyak hal prinsipiil tidak sependapat dengan Ahmad Wahib. Mudah-mudahan banyak juga yang bersikap begini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus