CATATAN harian Ahmad Wahib almarhum ternyata menimbulkan heboh
juga. Mula-mula beberapa tinjauan buku menerima kehadiran buku
harian tersebut sebagai positif, menyegarkan kehidupan pemikiran
kaum muslimin. Bahkan sejumlah pemikir non-muslim menerimanya
sebagai pemikiran keagamaan yang tidak hanya dapat dibatasi
kegunaannya bagi kaum muslimin belaka. Mereka menganggapnya
model pencarian kebenaran Islam yang dapat mereka ajak berdialog
dengan sehat. Dengan kata lain, Ahmad Wahib yang telah tiada itu
lalu menjadi milik bersama, bukannya milik orang Islam saja.
Namun tidak lama kemudian, seperti sudah dapat diduga sejak
semula, reaksi tidak menerima kehadiran buku itu juga
bermunculan - tersebar di berbagai media cetak. Itu yang dapat
dimonitor - belum lagi yang menggunakan medium non-cetak seperti
khotbah Jumat, diskusi ilmiah dan sebagainya. Terutama di
kampus-kampus, sekelompok mahasiswa yang (terlalu?) kritis
langsung saja menjatuhkan hukuman terberat bagi sebuah gagasan:
pengafiran pencetusnya sebagai murtad.
Penulis sendiri pun pernah ditegur ketika mengemukakan sebuah
gagasan kecil saja, dengan kata-kata: ternyata nama anda agak
mirip dengan nama Ahmad Wahib juga menunjukkan persamaan besar
dalam pemikiran keagamaan. Ungkapan yang menggambarkan telah
tercapainya tahap 'menghukumi bersalah dengan mengaitkan' guilt
by association).
Kalau telah seperti itu, tinggal lagi konsekuensi logisnya:
mendudukkan tempat Ahmad Wahib dalam sejarah sebagai satu mata
rantai upaya penghancuran Islam dari luar. Ahmad Wahib adalah
penerusan rasialisme Yahudi, fanatisme kaum orientalis dan
kesesatan kaum sekular. Ahmad Wahib adalah bagian dari sebuah
komplotan besar untuk memalingkan pikiran kaum muslimin dari
kebenaran agama mereka.
Ada yang dikemukakan dengan kasar, seperti sebuah surat pembaca
di majalah Panji Masyarakat yang menuntut dilarangnya peredaran
buku Ahmad Wahib. Ada yang ditulis dengan halus, dari rasa
kasihan terhadap Ahmad Wahib sendiri ("belum tentu Ahmad Wahib
setuju bukunya itu diterbitkan, jika ia masih hidup") hingga
rasa kasihan kepada Islam seperti yang menjadi jiwa makalah
Prof. Rasjidi dalam Panji Masvarakat, yang menganggap gagasan
almarhum sebuah "tragedi".
Bagi yang tidak begitu mengerti duduk persoalannya, lalu muncul
kebingungan. Di satu pihak, bagaimanapun memang ada terasa angin
segar dibawakan Ahmad Wahib. Bukan ekses-ekses pemikiran yang
ada, yang sampai meragukan kebenaran hukum-hukum agama yang
sudah begitu mutlak diterima kaum muslimin. Melainkan semangat
gagasannya: memeriksa kembali kebenaran sikap-sikap yang sudah
diambil selama ini.
Sebuah percobaan memikat untuk mengerti kebenaran sebuah agama,
dalam upaya menghadapi perubahan-perubahan yang tak dapat
dihindari. Setidak-tidaknya karya Ahmad Wahib adalah penawaran
sebuah sudut pemikiran dan jendela penglihatan baru. Tetapi,
bagaimanapun juga benarnya gagasan itu, ternyata ia ditolak
kalangan luas kaum muslimin sendiri - yang nota bene juga
mengajukan tawaran yang mereka rumuskan sebagai "penyegaran"
pula.
Kalau gagasan Ahmad Wahib dihukum sebagai penyimpangan besar
(major deviation) dari ajaran Islam, lalu sikap apa yang harus
diambil terhadap buku Ahmad Wahib? Akan dianggap remeh begitu
sajakah gagasan mendiang (berjabatan terakhir) reporter 'TEMPO'
itu, padahal penyegaran yang dilontarkannya bagaimanapun
diperlukan kaum muslimin sekarang? Bagaimana memelihara essensi
penyegaran, kalau ditolak buku itu secara keseluruhan, hanya
karena ekses-ekses yang dikandungnya?
Lebih jauh lagi, patutkah dibuang demikian saja buku itu, kalau
dari pemikir muslim lain belum ada pelontaran gagasan yang
benar-benar menyegarkan? Bukankah mereka paling jauh baru
berhasil meneriakkan dengan lantang supremasi Islam di bidang
bermacam-macam, tanpa mampu mengemukakan bukti-bukti kongkrit di
luar kejayaan masyarakat muslim masa lampau?
Terus-terang saja penulis tidak setuju kalau buku sepenting
karya Ahmad Wahib demikian saja di'lenyapkan'. Semangat
merumuskan kembali jawabanjawaban Islam terhadap tantangan hidup
haruslah dipelihara, terlepas dari ekses-ekses yang umumnya
bersifat peremehan arti pendekatan tekstual terhadap ajaran
agama yang sudah mapan. Kalau dibuat analogi dengan dunia
pemerintahan, administrasi negara dan birokrasi tetap menjadi
kebutuhan utama kehidupan bangsa, terlepas dari
tindakan-tindakan eksesif yang dilakukan birokrasi sepanjang
sejarah.
Sejarah Islam penuh pedstiwa-peristiwa besar di mana konformitas
menjadi alat menjatuhkan hukuman--hanya karena ekses-ekses yang
ditakuti akan mengikis kebenaran ajaran. Kasus Syekh Siti Jenar
dapat dikemukakan di sini - yang harus membayar ajakannya kepada
tasawwuf anthropomorfistik (manunggalin, kawula Ian Gusri)
dengan jiwanya sendiri di tangan Sunan Kalijaga. Toh sejarah
Islam masih menerima kebenaran esensial dari ajakan Syekh Siti
Jenar itu-dengan menerima legenda bahwa darah sufi malang itu,
yang mengalir dari liang bekas tusukan keris di tubuhnya,
membentuk kalimat 'la ilaha illallah', tiada Tuhan melainkan
Allah.
Tetapi lebih penting, sejarah Islam justru menunjukkan lebih
banyak lagi contoh bagaimana ia mampu menyerap esensi penyegaran
tanpa terganggu oleh ekses-ekses gagasan penyegaran itu sendiri.
Khalifah 'Uthman bin 'Affan mengajukan gagasan (revolusioner
waktu itu) mengumpulkan teks Al-Quran yang berserak-serak
menjadi sebuah kitab suci yang utuh (dengan ekses dihancurkannya
bacaan/rendering yang berbeda dari bacaan standar yang diambil)
Imam Syafi'i menyusun kembali metode pengambilan hukum agama
dari Al-Quran dan Hadith, dengan ekses dibatalkannya sejumlah
metode lain--yang belum tentu juga salah. Dan begitu seterusnya.
Itu bukan berarti gagasan Ahmad Wahib nanti akan dapat diterima
oleh orthodoksi agama dan diterima sebagai kebenaran universal,
seperti kedua gagasan (yang kini dimuliakan) di atas. Tetapi ia
berhak untuk dibiarkan mengendap dalam kegiatan berpikir
keagamaan kaum muslim, hingga nantinya akan ditentukan oleh
sejarah, relevan atau tidaknya bagi kebutuhan mereka. Tragedi
atau kreativitas, biarlah ditentukan oleh perkembangan kemudian
hari, jangan dipaksakan sekarang juga.
Ini permintaan dari orang yang dalam banyak hal prinsipiil tidak
sependapat dengan Ahmad Wahib. Mudah-mudahan banyak juga yang
bersikap begini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini