Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Satu kaki di sepanjang jalan

Slamet, 25, seorang penderita cacat yang mampu mengikuti lomba gerak jalan. menjadi anggota kehormatan persatuan gerak jalan.(tk)

23 Januari 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MATAHARI belum terbit ketika serombongan pemuda beramai-ramai berjalan kaki menuju Monas. Setiap pagi, seusai subuh, memang banyak penduduk Jakarta yang berolahraga, berjalan kaki atau lari, mengelilingi tugu di jantung kota Jakarta itu. Seorang di antara pejalan kaki itu berkaki cacat. Slamet, 25 tahun, pemuda berkaki cacat itu, berjalan dengan gembira. Kaki kirinya mengecil, tampak menggantung, tak berfungsi. Karena itu ia berjalan dengan bantuan kruk, tongkat penyangga. "Hampir setiap pagi, setelah sembahyang subuh, saya berjalan kaki mengelilingi Monas," katanya. Slamet ternyata bukan sekedar berolah-raga pagi. Ia berlatih untuk mengikuti perlombaan jalan kaki. Satu-dua jam sebelum bekerja, di pabrik gelas Kedaung, ia berjalan kaki mengelilingi pabrik milik usahawan Probosoetedjo di Jalan Pangeran Tubagus Angke Jakarta Barat. Setiap Minggu pagi ia juga berlatih bersama para anggota PGJ (Persatuan Gerak Jalan) Jakarta di Senayan--untuk tiga kali putaran. Walau hanya dengan satu kaki bukan halangan bagi Slamet mengikuti beberapa kali lomba gerak jalan. Misalnya lomba gerak jalan "Bandung Lautan Api" (60 km), lomba jalan kaki Tangerang--Ciputat (40 km) dan 21 November lalu lomba gerak jalan tradisional Bogor -- Jakarta (60 km). Slamet memang belum pernah memenangkan satu nomor pun, tapi ia selalu bisa selamat mencapai gars akhir. Ia mengaku tubuhnya tetap stabil dan nyaman. "Paling-paling hanya pegel-pegel, dan lecet di ketiak," kata anak Betawi itu. Sehabis mengikuti perlombaan rasa lelah itu terasa sampai seminggu. "Tapi biasanya bisa cepat hilang kalau digosok dengan parem setiap hari," katanya. "Dalam setiap perlombaan biasanya ada peserta yang pingsan lantas diangkut ambulans yang meraung-raung. Tapi saya berjalan telus," tutur Slamet dengan bangga. Stamina seperti itu barangkali lantaran persiapan yang ia lakukan menjelang perlombaan. Yaitu tidur, makan dan latihan cukup. Dan setiap pagi makan telur setengah matang plus sop' daging--jatah dari pabrik gelas Kedaung. Dia tidak merokok. Sebagai orang cacat, pengalamannya terkadang menyakitkan hati. Misalnya ketika mengikuti gerak jalan "Bandung Lautan Api" dua tahun lalu. Di tepi jalan, beberapa remaja mengganggunya ggeus bae di imah, entong milu leupang (Sudahlah, diam saja di rumah, buat apa ikut-ikutan). "Tapi saya hanya tersenyum," kata Slamet. Sembunyi-sembunyi Tapi pengalamannya lain lagi ketika mengikuti lomba, gerak jalan Jakarta-Bogor. Untuk mendaftarkan diri sebagai peserta, Slamet terpaksa melakukannya dengan sembunyi-sembunyi. "Sebab ketika itu, saya pikir mana mungkin panitia mau menerima orang cacat ikut lomba gerak jalan," katanya. Lewat seorang teman ia menitipkan uang Rp 500 untuk membeli selembar formulir pendaftaran. "Kalau saya sendiri yang datang mendaftarkan, kan ketahuan kalau saya cacat," katanya tertawa. Ketika start dari Bogor Slamet diberangkatkan bersama peserta perorangan wanita berumur di atas 40 tahun. Ia tidak berkecil hati. Tapi ketika ia mampu mendahului beberapa peserta, ia mendapat tepuktangan gemuruh dari para penonton. Di Bogor ketika itu hujan turun selama lebih kurang 30 menit. Tapi Slamet melangkah dan melangkah dengan tetap. Kaus oblong, celana loreng dan baret merahnya basah kuyup. "Tapi setelah mencapai finish, sekitar setengah tujuh pagi di Balai Kota DKI, pakaian saya sudah kering," tutur Slamet. Ia bertambah senang karena kegigihannya itu membuahkan selembar surat penghargaan dari Wagub DKI, Ir. Piek Mulyadi. Dan Slamet pun diangkat sebagai anggota kehormatan PGJ. "Karena sudah bergabung dengn PGJ, untuk mengikuti lomba gerak jalan sekarang tak perlu sembunyi-sembunyi lagi," tambah Slamet Slamet juga senang bermain catur dan berenang paling ia sukai memang olahraga jalan kaki, yang sudah ia lakukan sejak masih duduk dibangku SD. "Dulu hampir setiap pulang sekolah saya suka ngeloyor dengan teman-teman ke beberapa pelosok Jakarta," katanya. Karena kaki Slamet hanya berfungsi sebuah, ia sangat hemat memakai sepatu. Menurut dia, tujuh tahun sekali belum tentu ia membeli sepatu baru. Sebab selain sering menerima hadiah sepatu, Slamet juga hanya memakai sebelah saja. Mula-mula ia memakai sepatu kanan. Setelah rusak, barulah sepatu yang sebelah lagi, kiri, ia pakai--untuk kaki yang kanan. "Kebiasaan itu sudah saya mulai sejak SD," kata Slamet. Tongkat penyangga yang dipakainya kini, hadiah seorang kawannya yang bekerja di RS Fatmawati, delapan tahun lewat. Anak nomor dua dari sembilan bersaudara ini sebenarnya lahir sebagai anak nommal. Tapi pada usia 12 bulan datanglah musibah itu. Slamet yang ketika itu sedang diasuh oleh bibinya terjatuh dari gendongan. Karena takut, si bibi tidak memberitahukan hal itu kepada orangtua Slamet. Beberapa hari kemudian sekujur tubuh bayi itu mendadak panas. Ia segera dilarikan ke dokter yang membuka praktek tak jauh dari rumahnya. Selama seminggu lebih dalam perawatan demam-panasnya memang sembuh. Nyatanya Begini Tapi pada suatu pagi, beberapa tahun kemudian, ketika hendak memakai celana panjang pada Slamet, ibunya terkejut. Kaki kiri anaknya mengecil dan memendek. Segera anak itu dibawa ke dokter, tapi terlambat. Kaki itu, mulai dari pangkal paha sampai ujung jari, lumpuh total. "Sampai sekarang saya tidak merasa rendah diri. Habis bagaimana, kan memang nyatanya begini," kata Slamet. Meskipun cacat, sudah sejak di bangku SD Slamet berusaha membantu orangtuanya. Mula-mula ia berjualan koran, kemudian menjajakan kue masuk keluar kampung. Ia juga pernah berjualan balon di depan arena Pekan Raya Jakarta. Ayahnya seorang sopir sebuah perusahaan swasta. Tapi 1979 Slamet berhasil menamatkan SMEA Cideng, Jakarta Pusat. Slamet yang rajin bersembahyang lima waktu itu, rupanya sudah punya pacar, Suryani namanya. Ceritanya sederhana. Ketika bertandang ke rumah kakaknya di bilangan Kalipasir, Cikini, Jakarta Pusat, Slamet melihat seorang gadis manis berdiri di ambang pintu tetangga rumah kakaknya. Slamet tertarik dan mendekati. Setelah ngobrol beberapa saat, setengah bercanda dan malu-malu Slamet bilang: "Eh, elu mau kagak ame gue" Pucuk dicinta ulam tiba, Slamet tak bertepuk sebelah tangan. "Mau aje, emangnye kenape?" kata Suryani tenang. "Gue kan cacat?" kata Slamet lagi. "Nyang cacat pan badannye. Jiwanye pan kagak," jawab Suryani. Kapan kawin? "Entar kalau gaji udah gede," katanya. Sejak Maret tahun lalu Slamet bekerja sebagai pengukir gelas pada PT Kedaung dengan gaji Rp 5.000 seminggu. Bekerja sejak jam 7 pagi sampai jam 3 sore, dan selama itu duduk melulu, tentu melelahkan. "Karena itu waktu istirahat yang satu jam saya gunakan untuk berjalanjalan," kata Slamet. Ia mengaku betah bekerja di sana. Kesejahteraaan karyawan, katanya, cukup diperhatikan, makan-minum selama bekerja gratis, juga mendapat kamar yang lumayan. Selama enam hari Slamet tinggal di mess Kedaung dalam kompleks pabrik. Seminggu sekali ia pulang ke rumah orangtuanya di Kalipasir, Cikini, Jakarta Pusat. "Jelek-jelek gini gue udah bisa beliin sepatu adik-adik," katanya dengan logat Betawi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus