MATAHARI belum terbit ketika serombongan pemuda beramai-ramai
berjalan kaki menuju Monas. Setiap pagi, seusai subuh, memang
banyak penduduk Jakarta yang berolahraga, berjalan kaki atau
lari, mengelilingi tugu di jantung kota Jakarta itu. Seorang di
antara pejalan kaki itu berkaki cacat.
Slamet, 25 tahun, pemuda berkaki cacat itu, berjalan dengan
gembira. Kaki kirinya mengecil, tampak menggantung, tak
berfungsi. Karena itu ia berjalan dengan bantuan kruk, tongkat
penyangga. "Hampir setiap pagi, setelah sembahyang subuh, saya
berjalan kaki mengelilingi Monas," katanya.
Slamet ternyata bukan sekedar berolah-raga pagi. Ia berlatih
untuk mengikuti perlombaan jalan kaki. Satu-dua jam sebelum
bekerja, di pabrik gelas Kedaung, ia berjalan kaki mengelilingi
pabrik milik usahawan Probosoetedjo di Jalan Pangeran Tubagus
Angke Jakarta Barat. Setiap Minggu pagi ia juga berlatih bersama
para anggota PGJ (Persatuan Gerak Jalan) Jakarta di
Senayan--untuk tiga kali putaran. Walau hanya dengan satu kaki
bukan halangan bagi Slamet mengikuti beberapa kali lomba gerak
jalan. Misalnya lomba gerak jalan "Bandung Lautan Api" (60 km),
lomba jalan kaki Tangerang--Ciputat (40 km) dan 21 November lalu
lomba gerak jalan tradisional Bogor -- Jakarta (60 km).
Slamet memang belum pernah memenangkan satu nomor pun, tapi ia
selalu bisa selamat mencapai gars akhir. Ia mengaku tubuhnya
tetap stabil dan nyaman. "Paling-paling hanya pegel-pegel, dan
lecet di ketiak," kata anak Betawi itu. Sehabis mengikuti
perlombaan rasa lelah itu terasa sampai seminggu. "Tapi biasanya
bisa cepat hilang kalau digosok dengan parem setiap hari,"
katanya.
"Dalam setiap perlombaan biasanya ada peserta yang pingsan
lantas diangkut ambulans yang meraung-raung. Tapi saya berjalan
telus," tutur Slamet dengan bangga.
Stamina seperti itu barangkali lantaran persiapan yang ia
lakukan menjelang perlombaan. Yaitu tidur, makan dan latihan
cukup. Dan setiap pagi makan telur setengah matang plus sop'
daging--jatah dari pabrik gelas Kedaung. Dia tidak merokok.
Sebagai orang cacat, pengalamannya terkadang menyakitkan hati.
Misalnya ketika mengikuti gerak jalan "Bandung Lautan Api" dua
tahun lalu. Di tepi jalan, beberapa remaja mengganggunya ggeus
bae di imah, entong milu leupang (Sudahlah, diam saja di rumah,
buat apa ikut-ikutan). "Tapi saya hanya tersenyum," kata Slamet.
Sembunyi-sembunyi
Tapi pengalamannya lain lagi ketika mengikuti lomba, gerak jalan
Jakarta-Bogor. Untuk mendaftarkan diri sebagai peserta,
Slamet terpaksa melakukannya dengan sembunyi-sembunyi.
"Sebab ketika itu, saya pikir mana mungkin panitia mau
menerima orang cacat ikut lomba gerak jalan," katanya. Lewat
seorang teman ia menitipkan uang Rp 500 untuk membeli selembar
formulir pendaftaran.
"Kalau saya sendiri yang datang mendaftarkan, kan ketahuan kalau
saya cacat," katanya tertawa. Ketika start dari Bogor Slamet
diberangkatkan bersama peserta perorangan wanita berumur di atas
40 tahun. Ia tidak berkecil hati. Tapi ketika ia mampu
mendahului beberapa peserta, ia mendapat tepuktangan gemuruh
dari para penonton.
Di Bogor ketika itu hujan turun selama lebih kurang 30 menit.
Tapi Slamet melangkah dan melangkah dengan tetap. Kaus oblong,
celana loreng dan baret merahnya basah kuyup. "Tapi setelah
mencapai finish, sekitar setengah tujuh pagi di Balai Kota DKI,
pakaian saya sudah kering," tutur Slamet.
Ia bertambah senang karena kegigihannya itu membuahkan selembar
surat penghargaan dari Wagub DKI, Ir. Piek Mulyadi. Dan Slamet
pun diangkat sebagai anggota kehormatan PGJ. "Karena sudah
bergabung dengn PGJ, untuk mengikuti lomba gerak jalan sekarang
tak perlu sembunyi-sembunyi lagi," tambah Slamet
Slamet juga senang bermain catur dan berenang paling ia
sukai memang olahraga jalan kaki, yang sudah ia lakukan
sejak masih duduk dibangku SD. "Dulu hampir setiap pulang
sekolah saya suka ngeloyor dengan teman-teman ke beberapa
pelosok Jakarta," katanya.
Karena kaki Slamet hanya berfungsi sebuah, ia sangat hemat
memakai sepatu. Menurut dia, tujuh tahun sekali belum tentu ia
membeli sepatu baru. Sebab selain sering menerima hadiah sepatu,
Slamet juga hanya memakai sebelah saja. Mula-mula ia memakai
sepatu kanan. Setelah rusak, barulah sepatu yang sebelah lagi,
kiri, ia pakai--untuk kaki yang kanan. "Kebiasaan itu sudah saya
mulai sejak SD," kata Slamet.
Tongkat penyangga yang dipakainya kini, hadiah seorang kawannya
yang bekerja di RS Fatmawati, delapan tahun lewat.
Anak nomor dua dari sembilan bersaudara ini sebenarnya lahir
sebagai anak nommal. Tapi pada usia 12 bulan datanglah musibah
itu. Slamet yang ketika itu sedang diasuh oleh bibinya terjatuh
dari gendongan. Karena takut, si bibi tidak memberitahukan hal
itu kepada orangtua Slamet.
Beberapa hari kemudian sekujur tubuh bayi itu mendadak panas. Ia
segera dilarikan ke dokter yang membuka praktek tak jauh dari
rumahnya. Selama seminggu lebih dalam perawatan demam-panasnya
memang sembuh.
Nyatanya Begini
Tapi pada suatu pagi, beberapa tahun kemudian, ketika hendak
memakai celana panjang pada Slamet, ibunya terkejut. Kaki kiri
anaknya mengecil dan memendek. Segera anak itu dibawa ke dokter,
tapi terlambat. Kaki itu, mulai dari pangkal paha sampai ujung
jari, lumpuh total. "Sampai sekarang saya tidak merasa rendah
diri. Habis bagaimana, kan memang nyatanya begini," kata Slamet.
Meskipun cacat, sudah sejak di bangku SD Slamet berusaha
membantu orangtuanya. Mula-mula ia berjualan koran, kemudian
menjajakan kue masuk keluar kampung. Ia juga pernah berjualan
balon di depan arena Pekan Raya Jakarta. Ayahnya seorang sopir
sebuah perusahaan swasta. Tapi 1979 Slamet berhasil menamatkan
SMEA Cideng, Jakarta Pusat.
Slamet yang rajin bersembahyang lima waktu itu, rupanya sudah
punya pacar, Suryani namanya. Ceritanya sederhana. Ketika
bertandang ke rumah kakaknya di bilangan Kalipasir, Cikini,
Jakarta Pusat, Slamet melihat seorang gadis manis berdiri di
ambang pintu tetangga rumah kakaknya. Slamet tertarik dan
mendekati.
Setelah ngobrol beberapa saat, setengah bercanda dan malu-malu
Slamet bilang: "Eh, elu mau kagak ame gue" Pucuk dicinta ulam
tiba, Slamet tak bertepuk sebelah tangan. "Mau aje, emangnye
kenape?" kata Suryani tenang. "Gue kan cacat?" kata Slamet lagi.
"Nyang cacat pan badannye. Jiwanye pan kagak," jawab Suryani.
Kapan kawin? "Entar kalau gaji udah gede," katanya. Sejak Maret
tahun lalu Slamet bekerja sebagai pengukir gelas pada PT Kedaung
dengan gaji Rp 5.000 seminggu. Bekerja sejak jam 7 pagi sampai
jam 3 sore, dan selama itu duduk melulu, tentu melelahkan.
"Karena itu waktu istirahat yang satu jam saya gunakan untuk
berjalanjalan," kata Slamet.
Ia mengaku betah bekerja di sana. Kesejahteraaan karyawan,
katanya, cukup diperhatikan, makan-minum selama bekerja gratis,
juga mendapat kamar yang lumayan. Selama enam hari Slamet
tinggal di mess Kedaung dalam kompleks pabrik. Seminggu sekali
ia pulang ke rumah orangtuanya di Kalipasir, Cikini, Jakarta
Pusat. "Jelek-jelek gini gue udah bisa beliin sepatu adik-adik,"
katanya dengan logat Betawi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini