Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Perjalanan seorang wanita mesir... perjalanan seorang wanita mesir ...

Nukilan buku berjudul "enemy in the promised land" karya sana hasan. mengisahkan perjalanan sang pengarang, seorang wanita mesir ke israel. mulai dari percintaannya, pelacuran di pendudukan israel, dst.

2 Januari 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIGA tahun sebelum Presiden Anwar Sadat melakukan kunjungan bersejarah ke Yerusalem, seorang mahasiswa tingkat akhir Harvard University memutuskan akan melakukan perjalanan ke Israel demi suatu "misi pribadi untuk perdamaian". Sana Hasan, yang merencanakan perjalanan itu, kala itu 25 tahun. Ia putri bekas duta besar Mesir untuk Amerika Serikat, dan istri seorang diplomat Mesir yang punya nama. Reaksi terhadap rencana itu sungguh di luar dugaan. Media massa Arab mencapnya sebagai pengkhianat. Diplomat Mesir suaminya itu menceraikannya.Dan Mesir, tanah airnya, mengucilkannya. Sampai suatu ketika, tatkala Anwar Sadat melakukan inisiatif perdamaian, lalu semuanya berbalik: Sana Hasan disambut sebagai pembuka jalan yang berani. Hasan lalu menulis buku, Enemy in the Promised Land. Buku yang merekam pengalaman perjalanan yang direncanakan cuma enam minggu tapi berkepanjangan hingga tiga tahun. Pertama kali muncul pandangan seorang Arab terhadap Israel yang terus terang dan berani. Pandangan yang menyeluruh: dari gedung Knesset, parlemen Israel -- tempat ia mewawancarai Peres, Begin, dan Sharon -- sampai ke lorong-lorong kumuh di Tel Aviv. Dari kawasan kibbutz yang radikal sampai permukiman sayap kanan, bahkan sampai ke dapur Hotel King David, tempat Hasan bekerja sebagai tukang cuci piring. Sebuah potret yang padat dan sebuah kisah yang seru -- tentang para rabbi (pendeta Yahudi) dan sopir taksi, tentang perdana menteri dan pelacur, tentang para perayu yang mencoba membujuknya. Dan tentang warga Palestina yang berjuang untuk hidup di kawasan yang dikuasi Yahudi. Dan di tengah panorama yang luar biasa itu berdirilah Sana Hasan, seorang wanita yang berpandangan jauh ke depan - yang kenangan masa lalunya di Kairo hanya membuatnya lebih bercita-cita pada lahirnya perdamaian Arab-Israel. Ketika ia beranjak dari dendam kepada hal yang politis sifatnya, dan kemudian ia berubah lebih jauh menjadi bisa menerima "musuh", kita memperoleh pemahaman yang unik tentang masalah dan kemungkinan perdamalan. Sana Hasan lahir di Amerika Serikat, tempat ayahnya 10 tahun menjadi Duta Besar Mesir. Ia besar di Mesir, kemudian balik ke Amerika untuk belajar di perguruan tinggi. Pada 1984 ia meraih gelar Ph.D. dalam ilmu politik dari Harvard. Bersama Amos Elon ia menulis buku Betq~een Enemies. Ia pun menulis untuk majalah Middle East, Ne7~ York Times, dan Nev~ York Revieu~ of Books. Kini ia pun menjadi dosen tamu di Hebrew University's Institute for Advance Studies di Yerusalem. ***~ Menuju Tanah yang Dijanjikan PAGI, 21 Juli 1974, saya tiba di Bandara Roma. Ternyata, penerbangan dikansel karena perang di Cyprus. Saya menunggu dari pukul setengah delapan pagi. Dan ketika pesawat jadi juga diberangkatkan, hari sudah malam. Tanda agar para penumpang mengencangkan sabuk pengaman menyala. Terdengar pengumuman bahwa dalam beberapa menit lagi pesawat akan mendarat di Tel Aviv. Sebuah lagu Yahudi terdengar, Hevenu Shalom Aleichem, Kami Bawakan Perdamaian Padamu. Di luar jendela, Israel kini sebuah kenyataan bagiku. Di dalam ruang kaca seorang lelaki berhidung melengkung duduk terangguk-angguk di kursi. Saya sodorkan pasporku. Matanya yang tajam berkali-kali mengamati bolak-balik visa yang kupunyai. " Ya, Allah, " tiba-tiba ia berteriak spontan, dan meloncat berdiri dari kursinya, lalu menghilang di belakang. Tak lama kemudian lelaki itu muncul kembali, diikuti oleh lelaki lain yang mengamati pasporku dengan dahi berkernyit dan senyuman yang congkak. Akhirnya, dari mulutnya terdengar siulan, membelalakkan matanya, dan tanpa sepatah kata pun ia memberi isyarat agar saya mengikuti dia. Ia lalu mengatakan bahwa ruang di depan adalah ruang kepala kantor. Lalu dengan gaya yang menunjukkan bahwa derajatnya lebih tinggi daripadaku ia menyuruhku menunggu di luar. Sekitar 45 menit berlalu tanpa seorang pun menawariku kursi atau menjelaskan sesuatu. Janggal juga, karena seorang lelaki Prancis mendapat perlakuan lain: ia diperlakukan dengan sopan dan dibawakan kursi. Tak sabar berdiri di luar, saya pun nyelonong ke dalam. Seseorang cepat berteriak dalam bahasa Arab: "He, keluar!" "Tidak," kataku sambil menatap dingin ke matanya. Seseorang masuk menggiring seorang Arab. Akhirnya tiba giliranku ditanya. Saya jelaskan aku seorang turis. "Mengapa Anda datang kemari?" "Saya hanya ingin melihat Israel itu seperti apa." "Berapa hari Anda akan tinggal?" "Enam minggu." Untuk meyakinkannya kutunjukkan tiket pesawatku yang mencantumkan tanggal 5 September. "Di mana Anda akan menginap?" "Saya belum tahu. Mungkin Jaffa, kemudian Yerusalem. Tapi saya berharap bisa berkelilin~g ke seluruh negeri." Meski lelaki itu tampaknya masih tak puas dengan jawabanku, akhirnya tak ada lagi alasan buat menahanku. Ketika aku meninggalkan bandara Tel Aviv, rasanya aku membenci Israel. ***** Berdebat dengan Menachem ~Begin S~AYA hampir tak berani mengingat-ingat peng~ alaman saya masuk ke gedung Knesset -- parlemen Israel. Jantung saya berdebar keras sewaktu berdiri di ambang pintu kafetaria yang hanya dikhususkan untuk para menteri dan auggota parlemen. Untuk menemui Perdana Menteri Menachem Begin, yang duduk di uJung ruangan, laraknya bagaikan ribuan mil. Waktu saya men~ghampiri Begin, hiruk-pikuk waktu makan siang, yang jadi karakteristik orang-osang Israel, tiba-tiba jadi senyap. Di ruang itulah semua menteri Israel, yang sebelumnya hanya saya kenal lewat karikatur surat-surat kabar Mesir, dengan wajah dan perawakan buruk, hadir dengan sesungguhnya. Tiba-tiba keheningan itu dipecahkan oleh gesekan kaki-kaki kursi yang didorong mundur. Dalam tempo sekejap belasan tangan menjulur ke arahku sebagai ucapan selamat datang. Saya menjabat tangan itu. Tapi ketika wajah-wajah para politikus berpengalaman itu datang menghampiri, tenggorokan saya tiba-tiba terasa kering. Saya merasa seperti dikepung seluruh tentara Israel. Di situ ada Jenderal Ariel Sharon, yang memimpin penyerbuan ke tepi barat Terusan Suez pada 1973. Di depannya duduk Jenderal Yariv, yang berperut gendut. Lalu ada Jenderal Bar-Lev, yang memeluk saya dengan ketat. Di antara mereka tampak bekas Kepala Staf Angkatan Bersenjata Yitzhak Rabin, yang di kemudian hari menggantikan Begin sebagai perdana menteri. Lalu Begin, penjelmaan setan dalam mitologi Arab, beringsut mendekati. Ia menundukkan kepala dan mencium tanganku dengan hormat yang dilebih-lebihkan. Sebelum saya menyadarinya, ia sudah menggiringku ke tempat duduk seorang laki-laki berjanggut lebat. Dialah Ben Elissar, tangan kanan Begin. Begitu orang-orangnya berkumpul, Begin memperkenalkan saya kepada mereka. Tak lama kemudian makanan datang. Begin masih saja berkicau dengan lelucon-leluconnya. Pembantu dekatnya hanya menyela sedikit, dan sekali-sekali tertawa berderai. Tiba-tiba derai tawa itu terhenti ketika Begin mulai memperhatikanku. Ia memuji bangsa Mesir yang disebutnya lebih berbudaya ketimbang bangsa Arab lain. Dengan Mesir, katanya, perdamaian bisa tercipta. "Kalau Anda berscdia menyerahkan kembali Tepi Barat," sela saya ketus. Keketusan itu untuk menunjukkan bahwa saya tak bisa dirayu dengan kata-kata gombal. Saya tak akan membiarkan Begin berpikiran, dengan kedatangan saya ke Israel, atas undangannya, berarti saya telah mengkhianati bangsa dan meninggalkan kepercayaan saya. Ucapan saya ternyata cukup mengganggu pikirannya. Bibirnya terkatup rapat. Tangan Ben Elissar bergetar dan mencipratkan sup ke janggutnya. "Dari semula Anda mesti paham dengan baik bahwa Judea dan Samaria adalah tanah tumpah bangsa Yahudi. Di sana kami menikmati kedaulatan penuh dan khusus," kata Elissar angkuh. Begin membenarkannya. "Bagaimana dengan bangsa Palestina?" tanya saya. Elissar tersenyum. Lalu Begin menjawab dengan retoris, "Tentang mereka? Taraf hidup mereka telah naik 400% berkat kesediaan kami menyediakan pekerjaan buat mereka. Kami telah memberi Tepi Barat dengan lapangan pekerjaan penuh. Kalau mereka tak senang di sana, silakan angkat kaki ke Yordania. Suasana hening sejenak. Begin bertanya apakah saya pernah mengunjungi St. Jean d'Acre - sebuah kota kecil di Palestina. "Belum pernah," jawab saya. Di St. Jean d'Acre ada benteng yang dibuat pada masa Perang Salib, dan kota kecil itu, seusai Perang 1948, masuk wilayah Israel. "Sayang," kata Begin "Di sana, Anda bisa menyaksikan dengan mata kepala sendlri bagalmana makmurnya orang-orang Arab kami." Saya jawab dengan mengatakan keraguan bila melihat kehidupan orang Palestina di Israel. Ia menatap saya dengan heran. Tiba-tiba ia mengangkat tangannya, lalu melihat kepada seseorang di meja lain. Orang itu berdiri setengah melompat, dan menghampiri Begin dengan tergesa. Laki-laki itu adalah orang Arab yang bersahabat dengan Israel. Perutnya yang buncit dan cincin yang bertabur di jarinya menunjukkan betapa makmurnya laki-laki itu. Begin menyalaminya. Orang Arab-Isreal itu pun terhanyut dalam kemesraan. Setelah memesan kopi Turki, Begin memperkenalkan saya dengan singkat kepada laki-laki itu. Saya tak mempedulikannya. Saya tetap nerocos kepada Begin tentang perlunya menghentikan pengkunian Yahudi di Tepi Barat. "Di dunia ini, termasuk di Amerika, banyak sekali perkampungan Yahudi. Di Israel ada perkampungan Palestina. Tak ada alasan mengapa tak boleh ada perkampungan Yahudi di Tepi Barat. Kami merencanakan daerah untuk permukiman jutaan orang Yahudi dari Rusia dan Amerika Selatan." Saya katakan kcpada Begin, kalau mau ada perdamaian antara Israel dan Palestina, orang-orang Yahudi yang merasa terikat secara agamawi dengan Tepi Barat boleh saja tinggal di sana. Tapi mereka harus mendapat visa dari sebuah pemerintah Palestina yang berdaulat. Sama seperti orang-orang Katolik Amerika yang mau tinggal di Vatikan, mereka harus mendapatkan izin dari pemerintah Italia. Begin menertawakan argumentasi saya. Katanya, "Kalau ada seorang asing datang bertamu, pada hari pertama Anda akan memberinya makan malam. Kalau ia menginap, esoknya Anda masih memberinya makan pagi. Tapi di hari ketiga ia akan mulai mengganggu semua orang, termasuk anak Anda. Anda tentu saja akan mengusirnya. Tampaknya, Anda tak mengerti bahwa kami tak berniat jadi tamu di rumah sendiri." Kata-kata Begin itu membuat saya berang. Begin tahu itu. Maka, ia nerocos terus. "Kalau Anda kembali nanti, harap memberi tahu presiden Anda bahwa kami tak punya rencana apa pun terhadap Sinai atau daerah lainnya. Tapi Yudea dan Samaria adalah tanah air kami. Kami akan terus mempertahankannya." Ia juga menyebut pemimpin Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) Yasser Arafat sebagai pembunuh dan teroris. Tuduhan itu saya balas dengan mengatakan bahwa ia harus bertanggung jawab atas pembantaian terhadap orang tua, wanita, dan anak-anak di sebuah desa Arab pada 1948. Begin mengatakan, saya termakan propaganda Partai Buruh, yang membesar-besarkan peristiwa Deir Yassin itu, untuk menjelekkan golongan kanan. Pada saat saya hampir kehilangan akal menghadapi Begin, masuk seorang pria simpatik dengan kening yang bersih dan lebar. Ia melihat berkeliling. Ketika pandangan kami beradu, mukanya tampak cerah. Ia menghampiri saya dengan langkah yang raguragu. Genggaman tangannya tidak keras, tapi penuh kehangatan. Ia mengundang saya minum kopi. Setelah mengucapkan terima kasih pada Begin, saya menghampiri orang itu. Namanya: Lova Eliav. Ia anggota Knesset, dan kemudian menjadi pendiri partai kecil yan~ liberal di bawah nama Perdamaian unt~k Israel. Ketika tahu bagaimanasaya berdebat dengan Begin, Eliav berkomentar, "Klaim Begin, orang Palestina Tepi Barat tak pernah semakmur sekarang, seperti sebuah lingkaran setan. Itu merupakan gema masa lalu, ketika kami diasingkan, dan orang-orang anti-Yahudi mengatakan, 'Orang Yahudi itu makmur. Lihat sa~a uang mereka yang bertumpuk.' Malangnya, sekarang bukan hanya Begin yang berpikiran begitu. Saya khawatlr masa pendudukan yang bertahun-tahun itu telah mengerosikan nilai banyak orang." Eliav menceritakan betapa banyak orang Ya~hudi yang mengeksploatasi orang tua, anak-anak, dan wanita Palestina. Mereka menyuruh orang-orang Palestina itu melakukan pekerjaan kasar dengan gaji rendah. Tak ada bedanya dengan perbudakan. Ia, katanya, telah menyampaikan masalah itu kepada Perdana Menteri Golda Meier, tapi tak ada hasilnya. Wajah Eliav tampak kecewa. Lalu ia berkata, "Karena itu, negara kami sekarang terpecah belah. Tak berarti itu akan lenyap seperti yang diinginkan PLO. Negeri kami akan jadi sebuah negeri normal": sebuah negara dengan dua setengah juta orang Yahudi, yang memerintah sekitar satu setengah juta orang Arab. Dan menjadi negara tempat ketakadilan dan pemerasan terjadi, seperti Guatemala, El Salvador, dan Luanda. Petualangan Musim Panas SAYA lanjutkan petualanganku sebagai seorang turis. Begitu bangun pagl, saya menyusurl jalan-jalan Tel Avlv, keluar~ masuk toko-toko, mengunjungi museum. Saya bermaksud melihat keadaan masyarakat kelas menengah yang kebanyakan orang-orang Yahudi keturunan Jerman. Mereka biasa disebut kaum Yeke. Dengan pakaian agak kuno -- kaum wanitanya biasanya membawa payung warna-warni, sedang lelakinya mengenakan topi kecil -- kaum Yeke itu berbondong-bondong keluar rumah sambil menuntun anjing pudel. Sambil menyusuri jalan-jalan di tengah Kota Tel Aviv yang kotor bertaburkan jerami, mereka tak hentinya mengomel, "Wah, seperti kandang babi." Mereka itulah kaum Yahudi yang meninggalkan Jerman pada 1920-1930. Mereka ditinggalkan oleh anak-anaknya di daerah kumuh itu, sementara anak-anak itu kini menempati daerah kaum kaya di utara. Sementara itu, di Shechunat Hatikva banyak maling dan kejahatan, generasi muda Yahudi kaya yang pindah itu menempati vila mewah yang dilengkapi dengan ranjang bermotif bunga. Inilah daerah yang merupakan koloni kecil bergaya Barat di tengah bangunan rumah orang-orang Timur umumnya. Di sebuah kedai kopi milik Dizengoff, yang letaknya tak jauh dari apartemenku, saya menyusun rencana perjalanan. Di antara apartemen dan kedai kopi itu ada sebuah binatu yang punya langganan tetap seorang bujangan bernama Profesor Kran~endorf yang selalu mencuci pakaiannya setiap Jumat. Di sana dapat dijumpai sebuah toko makanan milik Moshe, seorang imigran Chekoslovakia. Saya sering membeli hati ayam yang dimasak istrinya di sana. Ketika malam sudah larut, saya kembali ke apartemen di Rheines Street. Penghuninya sungguh menyebalkan, sehineea sava baru bisa tidur bila telah lewat tengah malam. Bayangkan, Miry, yang tinggal di tingkat tiga, bercumbu "jarak jauh" sambil cekikikan bersahutan dengan pacarnya yang nongkrong di sepeda motor di pelataran bawah. Di samping kamarku, terdengar teriakan Zipka yang selalu mengomeli anaknya yang baru berusia 8 tahun. Sementara itu, Nyonya Dorfman, yang tinggal di lantai satu, selalu datang bercerita tentang pengalaman kaum lelaki yang selalu membawa gadis-gadis cantik ke kamarnya. Bagaimana saya bisa tahan di tengah koloni yang tak punya priva~cy seperti ini. Sampai pada suatu pagi datanglah Yoav, pemilik apartemen brengsek yang kusewa ini. Pemuda yang berprofesi sebagai reporter ini mampir sebentar dalam perjalanannya ke Yerusalem. Dia hendak mewawancarai seorang wanita untuk sebuah acara televisi. Tanpa pikir panjang, saya menyatakan ingin ikut dengannya, agar terlepas sejenak dari kebisingan apartemen. Selain sebab itu, saya ingin sekali melihat kota tua bersejarah itu. Akhirnya, kami sampai di sebuah rumah gaya Jerman di Yerusalem. Ketika membuka pintu pekarangan, kami disambut oleh dua anjing galak yang bentuknya seperti tikus. Seorang wanita pincang dengan bibir tipis muncul di pintu. Yoav lalu memperkenalkan saya. Wanita itu menyambut dengan wajah dingin, sambil meminta maaf akan sambtan anjing-anjingnya yang baru dlbeh beberapa hari lalu, untuk menJaganya darl para perampok yang kebanyakan orang-orang Timur yang tinggal di dekat rumahnya. Setelah mempersilakan kami masuk, wanita itu mengajak Yoav ke dapur, sementara saya duduk di ruang tamu, ditemani kedua anjing tersebut. Saya duduk di kursi berlengan dengan perasaan waswas, sambil memandang kedua binatang itu. Tiba-tiba seorang lelaki berambut pirang berusia setengah umur masuk ke ruangan dan memanggil binatang piaraan itu dengan ramah. Lelaki itu memandangku dengan matanya yang syahdu berwarna biru. "Anda imigran baru dari Meksiko, ya?" tanyanya sambil memandang baju merahku dan topi sombrero yang kuletakkan di meja. Saya jelaskan bahwa saya wanita Mesir. Dia tampak terkejut sejenak, lalu mengulurkan tangannya dan, "Oh, selamat datang. Selamat datang. Saya Danny." Dia menarik kursi, memangku anjing kampung di pahanya, mengusap-usap kupingnya sambil menanyakan maksud kedatanganku. Saya menjawab hati-hati, sambil menatapnya lekat-lekat. Orang ini tampak pucat dengan rambut keriting di kepalanya. Dengan tubuh yang kadang tampak kukuh, kadang tampak gemulai itu, Danny lebih mirip seorang remaja. Meskipun lelaki di depanku ini boleh dibilang tampan, ada sesuatu yang tersirat di wajahnya. Ada semacam kesedihan yang tersembunyi di balik wajahnya. Saya merasakan bahwa kemurungan itulah yang menyebabkan kami jadi akrab. Sikapku yang pasif ketika dia bercerita -- cerita yang tak kupahami -- membuat dia berhenti bicara dan memandangku dengan penuh selidik. Lalu Yoav kembali di antara kami, dan menjelaskan bahwa Gila, istri Danny, mengajakku makan siang bersama. Kami pun menuju dapur. Di dapur, Tammy, anak gadis Danny yang berusia 15 tahun, sedang asyik makan. Gila tak mempedulikan saya. Dia asyik ngobrol dengan Yoav, seentara saya dan Danny menyantap makanan dengan diam. Sekali-sekali Danny mencuri pandang sambil tersenyum ke arahku. Saya pun tersenyum sedikit, agar tak ketahuan istrinya. Akhirnya, Danny membuka pembicaraan tentang anjing kampungnya yang menggigit salah seorang tetangganya, dan bercerita tentang kedua anjing piaraannya yang dulu telantar. Binatang itu dipungutnya karena ia merasa iba. Saya terkesan dengan sifatnya yang sangat sensitif itu. Sungguh berbeda dengan lelaki Israel yang umumnya kasar, menurut penglihatanku. Setelah makan siang, saya mencoba bersikap ramah kepada Gila. Istri Danny itu tampak keras dan patriotik. Ini terkesan dari percakapan kami. "Sudah ada 14 negara Arab di dunia, sementara hanya satu tanah kecil bagi Israel. Kenapa orang-orang Arab itu tak mau memberikan tempat bagi pengungsi Palestina?" tanyanya. Lalu ia bercerita soal gosip yang menimpa Yoav. Aduh, bagaimana Danny bisa hidup dan kawin dengan wanita yang mau menang sendiri seperti ini? - keluhku dalam hati. Ketika Yoav berpamitan, Gila mencegah dan mengajaknya untuk melihat ke tempat tidurnya. Di sana dia memamerkan sebuah radio pemberian kawannya yang baru pulang dari AS. Sementara kami menunggu mereka berdua, saya membuntuti Danny, yang sibuk mencari pipa rokoknya. Ia menuju ke ruang belaJarnya. Saya tertegun melihat tumpukan buku pulsi yang memenuhi ruangan itu. Danny mengambil sebuah buku kumpulan puisi Israel dan menerjemahkan "Negeriku" karangan Rachel Blaustein. Saya belum sanggup menyanyikan pujian bagimu Atau mengagungkan namamu Dalam sepak terjang. Dan dalam peperangan Hanya sebuah pohon yang sempat kutanam Di tepian Sungai Yordan ... Hanya sebuah jalan kecil yang kususuri Melintas di tengah padang Semuanya terasa cepat berlalu. Yoav dan Gila mencariku. Wanita itu mengucapkan selamat jalan dengan sikap tak acuh. Hal inilah yang membuatku semakin ingin bertemu Danny kembali. Ketika kami menuju ke pintu mobil, sayup-sayup saya mendengar Danny berteriak, "Sering-sering kemari ya?" Dalam perjalanan, saya tak berbicara sepatah pun dengan Yoav. Bangunan yang lewat, birunya langit dan laut hanya tampak melintas di pandanganku. Pikiranku kosong, sampai tiba-tiba Yoav mengejutkanku dengan meminta pendapatku tentang kedua suami-istri itu. Saya jawab bahwa suaminya lebih ramah daripada istrinya. Janganlah terlalu menyalahkannya, kata Yoav. Anak lelakinya terbunuh dalam perang 1973. Danny tak bercerita sedikit pun tentang itu. Benar juga dugaanku bahwa ia menyimpan sesuatu yang menyedihkan. Lalu saya menanyakan soal Danny lebih jauh. Namun, Yoav menjawab singkat, "Sudahlah. Danny adalah seorang perwira di angkatan bersenjata." Saya terhenyak. Oh, tak mungkin, jeritku dalam hati. Dengan kecintaannya pada puisi. Kelembutannya pada binatang dan kehangatannya dalam berbicara, ia lebih pantas sebagai seorang penyair atau seniman, bukan seorang tentara. Seorang prajurit, menurutku, adalah orang yang ahli membunuh, bersikap keras, dengan disiplin tinggi. Pikiranrlya selalu dibayangi dengan derap langkah baris-berbaris dan telinganya disumbat dengan ledakan mesiu, bukan den~an syair dan sajak. Ah, tidak. Berulang kali saya meyakinkan diriku bahwa Danny berbeda dengan tentara Israel lainnya, seperti Rabin dan Sharon, yang dengan wajah brutal dan suara berat senantiasa mendengungkan kekerasan dan kebenaran. Danny benar-benar lain. Bagaimana saya dapat melupakan sikap lembutnya pada binatang, kecmtaannya pada puisi? Ah, saya bertekad tak akan mau menemuinya lagi. Beberapa hari kemudian Danny menghubungi saya. Ayahnya, yang sudah dicekoki cerita soal diriku, ingin bertemu dengan seorang Mesir, dan mengundangku untuk minum teh di rumahnya. Semuanya kutolak dengan alasan bahwa saya sibuk mengurusi kegiatan sosial. Dia tampaknya memahami sikap dingin yang kutunjukkan.Keesokan harinya, ketika saya keluar apartemen, saya melihat Danny melangkah naik tangga. Saya berniat masuk kembali, namun sebelum sempat berbalik, Dany berjalan melintas di hadapanku dan langsung masuk ke apartemenku. Terpaksa saya mengikutinya, dan jantungku berdetak kencang. Dia menanyakan kenapa sikapku berubah. Saya tak menjawab sepatah pun, tapi tubuhnya menekanku di pintu masuk. Ah tak ada apa-apa jawabku. Wajahnya menegang sejenak kemudian tertawa, dan tangannya merangkul pinggangku. Saya seperti gadis yang masih polos, katanya. Kudorong tubuhnya, sedikit. Danny lalu bercerita tentang tentara Israel yang berbeda dengan tentara umumnya, karena lebih bersifat organisasi sipil. Dia bercerita bagaimana pada masa remajanya dulu tak ada pilihan lain untuk bergabung dengan angkatan bersenjata. Dia baru berusia 18 tahun ketika pecah perang tahun 1948, dan Israel membutuhkan dirinya. Dia juga bercerita pernah bergabung dengan pasukan elite The Palmach Unit. Suaranya kini kedengaran emosional, dan saya tak ingin mempercayainya seratus persen Saya hanya ingin mendengar dan menghargai obrolannya saja, sampai akhirnya dia pamitan pulang. Saya menawarkan diri untuk menemaninya berjalan pulang. Ia setuju. Sesampainya di pekarangan rumah, Danny berbalik dan menggamit pinggangku sekali lagi. Kali ini kubiarkan bibirku dilumatnya. Tentu ini satu isyarat bahwa saya setuju berkunjung ke rumah ayahnya. Setelah ia menghilang dari pandangan, tiba-tiba saya khawatir kalau-kalau ada seseorang melihat kami. Suatu perasaan berdosa berkecamuk di dada, namun akhirnya rasa cinta meredakan semuanya. Pada hari yang telah ditentukan saya sampai di rumahnya dan menjumpai Gila duduk sendirian di ruang tamu. Danny tampaknya belum kembali dari kantor. Perempuan itu mempersilakan saya duduk, meletakkan benang rajutan, dan pindah ke depanku. "Kamu tak pernah mencabut alis matamu?" tanyanya sambil memandangi wajahku. Ia lalu menawarkan seorang ahli kecantikan Maroko yang dapat membuat cantik seseorang. Jari-jariku dipegangnya, lalu Gila menyarankan agar saya juga merawat kuku jariku di sana. Saya sudah tak sabar lagi dengan sikapnya yang sok tahu, sampai akhirnya Danny datang dan senyumnya meredakan kepanikan dalam diriku. Kami pun pergi ke tempat ayahnya di Kota Ramoth Hashavim. Kami tiba malam hari di kota yang banyak dihuni kaum Yahudi keturunan Jerman. Seorang lelaki tua berusia sekitar 80 tahun muncul di pintu rumah, ditemani dua anjing pudel berwarna hitam dan putih. Seperti orang Yahudi Jerman umumnya, ayah Danny tampak sopan:Saya terkesan dengan sikapnya yang ramah dan simpatik. Setelah berjabat tangan dan memperlihatkan rumahnya yang ditata apik, kami memasuki ruangan dengan rak-rak kaca yang di dalamnya berisi koleksi piringan hitam Mozart. Saya duduk dekat vas bunga keramik berwarna biru, dan dengan ramah dia berbicara dalam aksen Jerman yang masih kental. "Baiklah, Anda mau berbicara dalam bahasa Inggris atau Yahudi? Saya menguasai keduanya," katanya. Kami pun terlibat obrolan tentang kisah dia hingga terdampar di "Tanah Palestina yang Dilan)lkan". Begltu antuslasnya la berbicara, sehingga malam pun men)adi larut, dan Danny memberi kode untuk menghentikan pembicaraan. Kami pulang ke apartemen kecilku di Rheines Street. Dalam perjalanan Danny bercerita tentang ibunya. Dia wanita pcndiam dan penganut Katolik yang taat, tuturnya. Wanita yang suka dengan bunga-bunga dan musik dan bercita-cita agar salah scorang anaknya menjadi seorang perwira. Ironisnya, ketika Danny bertempur melawan Jerman -- ketika ia bergabung dalam brigade Yahudi di angkatan bersenjata Inggris -- pamannya adalah seorang pejabat tinggi di jajaran tentara Hitler. Setelah Danny mengantarku ke rumah ayahnya itu, beberapa minggu kemudian tak ada kabar darinva. Saya benar-benar rindu dan khawatir: sudahkah dia lupa pada saya? Ataukah karena saya wanita Mesir, maka tak lagi memikatnya. Rasa rindu itu begitu menggayuo hatlku, hingga akhirnya kuputuskan untuk berkunjung ke rumahnya lagi. Dan di malam itu tiba-tiba saya sudah berdiri di depan pintu rumahnya. Gila membuka pintu, dia memandangku dari ujung rambut hingga ujung kaki dengan pandangan penuh selidik. "Saya hanya mampir. Tak apa, bukan?" kataku. Ia pun menjawab bahwa Danny tak ada di rumah. Oh, saya tak keberatan bila disuruh menunggu. Saya sudah teramat rindu. Gila pun beringsut memberi jalan kepadaku. Saya masuk dan langsung duduk d~ ruang belajar Danny. Sambil menunggu kedatangannya saya melihat-lihat benda yang ada di dalam ruang belajar Danny. Kuperhatikan warna, buku-buku, dan apa saja agar melekatdalam pikiranku. Sambil mataku selalu mengawasi jalan raya melalui jendela. Saya merasa Danny pasti akan muncul. Benar. Tiba-tiba sebuah sosok tubuh yang selama ini kukenal muncul perlahan di halaman rumah. Cara berjalannva yang setengah membungkuk dengan kepala seolah menahan beban, tak ayal lagi, dia Danny, kekasihku. Dia menyambutku dengan pandangan mata yang hangat, tapi tanpa kata. Kami bertiga duduk mengelilingi meja di ruang tamu, seperti biasa dilakukan Danny bila menyambut seorang tamu. Setelah beberapasaat, ia berbicara tentang anaknya yang dibanggakan. Anak lelaki itu penuh perasaan, ujarnya. Ketika dia berusia 12 tahun, dia diajak berburu oleh kawan sesama wamilnya. Dia menangis dalam hati ketika seekor burung tertembak oleh kawannya itu. Saya melihat wajah Gila berubah. Kesedihan yang dalam tersirat di wajahnya. Ah, maaf. saya tak bermaksud membuatnya sedih. Saya pun berdiri dan menghindar. Dan Danny pun beringsut, duduk mendekati istrinya. Dengan mesra, Gila dirangkulnya, dan dibujuknya agar tak terlalu larut dalam kesedihan. Sebuah perasaan cemburu menyelinap dalam hatiku. Setelah malam larut, hatiku berbunga tatkala Danny menawarkan diri untuk mengantarku pulang. Duduk di sampingnya, saya tak kuasa mengucapkan sepatah kata, karena malu, sampai akhirnya Danny memalingkan muka dan tersenyum. "Tahu nggak, kenapa saya merasa tertarik padamu?" tanyanya. Kukira waktu itu wajahku jadi merah. "Nggak," jawabku. "Karena kamu penuh dengan kontradiksi. Kamu adalah satu-satunya orang yang pernah saya jumpai, yang terkadang malu ta~pi kadang berani terhadap seorang pria. Tahu maksudku?" Kami terdiam beberapa lama. Hanya deru mobil, sambil sekali-sekali Danny menarik napas panjang, dan pandangannya lurus ke depan. Lalu, ketika dia mendorong pintu rumah apartemenku di Rheines Street, ia mulai bercerita lagi tentang anaknya. Dia mati karena hendak menolong seorang tentara yang terperangkap dalam sebuah tank yang terbakar. Nasibnya tak tcrtolong ketika tank itu meledak. Para petugas pun membujuk Danny agar tak melihat mayat anaknya. Danny menolak, dan benar juga. Ketika mayat itu diangkat, kepala anaknya terpisah dari tubuhnya. Kuraih tangannya dan kuremas. Saya berusaha ikut menanggung dukanya dalam relung hatiku. Saya merasa ragu melakukan hal itu. Tapi saya ingin agar kesedihannya berangsur surut. Lalu, dengan suara datar, saya tawarkan minum kopi di ruang atas. Kami masih terlibat dalam percakapan panjang malam itu. Danny bercerita dan saya mendengarkan. Dia bercerita tentang anak gadisnya, Tammy, yang terpukul atas kematian saudara lelakinya. Ada satu kamar kosong yang khusus mereka sediakan bagi anak lelakinya, yang tak akan pernah terisi. Danny merasa bersalah menyia-nyiakan anak gadisnya. Cerita pun berlarut, dan malam itu kami akhiri di tempat tidur. Minggu-minggu berikutnya Danny mengunjungiku dengan teratur. Dia berkisah tentang istrinya. Dulu Gila seorang sekretaris di markas besar angkatan darat Israel. Danny kawin dengannya setelah ditinggal istri pertamanya yang tertarik dengan pria lain. Danny merasa tertarik kepada Gila karena ia merasa aman di sisinya. Baru belakangan kemudian tak ada kecocokan di antara keduanya. Mereka masih tetap berkumpul hanya karena anak-anaknya. Sampai akhirnya Gila merasa terpukul dan merasa memerlukan Danny, ketika anak lelaki mereka tewas dalam kecelakaan itu. Tatkala ia bercerita tentang kesedihan, saya merasa lebih dekat dengannya. Pikiran bahwa ia adalah lelaki yang tak bahagia bagaimanapun membuatku merasa lebih diperlukannya. Dan saya berharap, dengan kesedihannya itu Danny akan selalu kembali ke apartemenku, dan saya dapat menghiburnya dan mendekapnya. Pelacur HARI itu Leila sedang bermain-main bersama teman-teman sebayanya. Mereka tampak riang, seperti lazimnya kaum remaja. Tapi siapa yang menyangka bahwa Leila yang teramat cantik, berhidung mancung, dan periang itu tiba-tiba bisa berubah menjadi wanita yang tak punya belas kasih. Itu terjadi ketika si cantik melihat seorang wanita tua penjual buah. Seakan memberi aba-aba kepada teman-temannya, Leila mendatangi wanita tua itu, dan . . . hup, ramai-ramai mereka mendorongnya, sehingga buah dalam keranjang jatuh berantakan. Saya menolong wanita Arab itu. Kekejaman Leila dan teman-temannya tak mengherankan. Maklum, mereka berasal dari panti penitipan anak-anak nakal yang tak berapa jauh dari tempat tinggal saya. Tapi ketika itulah saya mulai mengenalnya. Tak lama setelah menyaksikan peristiwa tersebut, saya memutuskan untuk bekerja sukarela di panti asuhan itu. Kehidupan para pencuri dan pecandu obat bius yang masih berusia muda, terutama para pelacur yang menghuni panti itu, menimbulkan perasaan yang amat menggugah. Tak bisa lain, sebagai orang yang dididik secara puritan di Mesir, saya tak bisa tinggal diam. Bahkan saya merasakan tengah terjadi suatu pemberontakan yang dahsyat dalam diriku. Leila dilahirkan di Tunisia, walaupun ia tak mau mengakuinya. Ibunya, pemilik sebuah kedai, tergolong wanita yang: anaknya 13, semuanya perempuan, dan Leila terbungsu. Malang, sang ibu meninggal sesaat setelah Leila lahir. Peristiwa itulah yang membuat ayah Leila memutuskan untuk pindah ke Israel. Sikap ayahnya sangat keras. Suatu malam, ketika Leila pulang terlambat, ia menderanya dan menggunduli kepalanya. Lalu mengusir Leila dari rumah. Leila menumpang tinggal di beberapa tatangga Arab. Kemudian ia berjumpa dan jatuh cinta kepada Ali, yang kemudian menjadi muncikarinya. Dalam usia 14, Leila melahirkan seorang anak, yang kemudian dititipkannya kepada kakaknya. Lalu Ali berhasil membujuk ibu yang masih remaja itu untuk mengadu nasib ke Tel Aviv, sebagai pelacur. Di sanalah Leila berkenalan dengan seorang pekerja sosial, yang berusaha meyakinkannya agar kembali ke tempat tinggalnya. Tapi gagal. Dalam usia 21, ia merupakan gadis tertua di sana. Ia selalu tak acuh dengan kehadiranku, tapi itulah yang membuatnya menarik. Ia mengingatkan saya ketika dulu saya bersikap tak acuh terhadap buku. Nasib orang Palestina tidak menimbulkan simpati sedikit pun pada Leila. Sejak kusaksikan ia mengganggu wanita Palestina pedagang buah, beberapa kali kusadarkan untuk mengubah sikapnya terhadap orang Arab. Malahan saya buka rahasia bahwa saya bukan Yahudi, melainkan orang Mesir. Tapi sikapnya sedikit pun tak berubah. "Kamu lain," katanya. Beberapa kali ia mengucapkan komentar yang sangat buruk tentang orang Arab. Sikap prejudisnya tidak semata muncul dari chauvmlsmenya. Dan juga bukan lantaran pengalamannya dengan bangsa Arab. Ayahnya selalu mengatakan padanya bahwa hidup mereka di Tunisia jauh lebih baik. Mereka, demikian cerita ayahnya, punya hubungan baik dengan orang-orang muslim. Bahasa rumah mereka juga bahasa Arab. Leila juga pernah diselamatkan oleh seorang Palestina, ketika ia diusir ayahnya. Jadi, apa yang merangsang Leila untuk begitu tinggi hati terhadap orang Arab? Mungkin, inilah jawabnya: Sama seperti orang-orang Yahudi dari Timur yang selalu dianggap rendah oleh orang-orang Ashkenazim (Yahudi dari Eropa). Dengan memandang rendah kepada orang lain, agaknya Leila masih punya peluang untuk merasa terpandang. Sebagai pelacur sekalipun. Tapi apa yang membuatku begitu lekat kepada Leila? Ia menjengkelkanku dan membuat aku menyayanginya pada saat yang sama. Saya membencinya karena ia melemparkan dirinya ke pelukan lelaki macam Ali. Dan saya marah karena gagal menanamkan rasa harga diri padanya. Tapi kini aku pun tahu. Kerinduannya pada persahabatan, kegembiraan, dan perhatian -- bahkan bila harus dibayar mahal adalah sesuatu yang juga ada dalam diriku. Leila bukan orang asing bagiku. Bahkan bila ia mengutarakan sesuatu yang tak kusetujui saya tak bisa mengingkari bahwa ada persamaan dan kemiripan antara kau dan dia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus