Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mural pada bidang dinding yang menyudut seperti huruf L itu dibuat dengan arang. Prilla Tania menggoreskan arangnya membentuk pemandangan yang menyejukkan, lengkap dengan gunung, sawah, dan sumur. Ia menyiapkan karya itu sejak beberapa bulan lalu dan menuangkannya dalam dua hari persiapan pameran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun, belum lagi mural itu dinikmati pengunjung, beberapa laki-laki menghapus lukisan karya Prilla dan menambahinya dengan tulisan-tulisan vandal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada gurat kekecewaan dari sang seniman. Namun ia menyadari bahwa itu berarti karyanya berhasil memancing interaksi dengan pengunjung. "Di sisi lain saya sedih. Mengapa ada tindakan yang lebih brutal dan vandal? Mungkin ini menggambarkan perilaku masyarakat kita yang belum bisa selaras dan menghargai," ujar Prilla seusai pembukaan pameran pada 16 Oktober lalu.
Prilla adalah satu dari sejumlah seniman perempuan yang memamerkan karya-karya mereka dalam Proyek Seni Perempuan Perupa (PSPP) 2019 dengan tajuk "Siklus Buana", di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 17-29 Oktober 2019.
Pameran yang dihelat Komite Seni Rupa Dewan Kesenian Jakarta itu dikurasi oleh Saras Dewi (aktivis, dosen filsafat Universitas Indonesia). PSPP mendalami gagasan ekofeminisme yang direspons oleh lima perempuan perupa, yakni Tita Salina, Citra Sasmita, Dea Widya, Dewi Candraningrum, dan Prilla Tania.
Mereka mengelaborasi karya sebagai lensa atau cermin feminis yang unik, menelisik hubungan di antara gender, masalah lingkungan, dan seni itu sendiri. Mereka berangkat dari kegelisahan apakah hal ini bisa dielaborasi bersama serta apakah seni dan ekofeminisme bisa menjadi tumpuan harapan banyak orang untuk berbuat sesuatu. Karya-karya mereka memperlihatkan bagaimana lingkungan bersinggungan dengan isu feminisme.
Prilla, yang tinggal di Bandung, sudah beberapa kali mencoba mempraktikkan gagasan ini dengan mengakrabi tanah pertanian. Ia berkebun, bertanam, menjaga siklus tanah dan bumi. "Saya sudah mencoba hidup berdampingan dengan lingkungan. Saya mencoba menghubungkannya dengan ekofeminisme dalam karya saya," ujar dia.
Selain mural arang, ia menghadirkan karya berjudul Ibu Merenung Bapak Merenung Anak Menanggung. Karya ini seperti mengajak para pengunjung berintrospeksi atas apa yang terjadi dengan alam, apa dambaan kepada alam. Dia menggunakan material daur ulang untuk membentuk karyanya.
Seniman lain, Dewi Candraningrum, melukis para tokoh Kendeng yang mempertahankan ekologi Kendeng yang terancam industri semen. Karyanya berupa lukisan Naga Kendeng dan Lesung Kendeng. Dewi bukan kali ini saja menarasikan karya bertema lingkungan dan perempuan serta upaya perjuangannya melawan ganasnya perusakan alam.
Hal yang juga cukup menarik adalah narasi tubuh perempuan dalam ganasnya budaya patriarki. Hal itu dimunculkan dalam lukisan perempuan di atas kulit sapi yang menggantung di depan dinding bercat merah darah. Karya berjudul Timur Merah Project II, The Harbour of Restless Spirit itu dibuat oleh Citra Sasmita. Perupa ini memang kerap mengangkat isu tentang perempuan, terutama identitas kultural, posisi perempuan dalam kultur patriarki, dan realitas sosial-budaya.
Sementara itu, Dea Widya, dalam karya berjudul Naked House, mengeksplorasi sebuah ruang domestik yang tersusun dari logika berpikir patriarki yang mempersempit ruang perempuan. Seniman berlatar belakang ilmu arsitektur ini menghadirkan imaji di mana semua barang tersusun dari rangka-rangka besi. Kosong, telanjang, tapi mengungkung.
Seniman terakhir, Tita Salina, memfokuskan karyanya pada isu perkotaan. Dalam karya berjudul Anthropocentric Annual Ritual, ia menggambarkan kesedihan, trauma, dan amarah ketika asap membunuh kehidupan. Ia memprotes kebakaran hutan yang melukai alam, ibu bumi. Karya itu menggambarkan masker-masker dan sebuah menara dengan semacam dupa di dalam sebuah kotak. Dupa mengepul seperti sebuah ritus, sekaligus menggambarkan kepulan asap. DIAN YULIASTUTI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo