Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Perempuan Tinggi Berbuku Besar

Langkah perempuan itu panjang-panjang. Kalau berjalan wajahnya sedikit tertekuk ke depan mengiringi irama tubuhnya yang kurus agak bungkuk. Rambutnya lujur, beruban. Berkaca mata tebal, selalu mengempit buku besar ukuran folio berwarna batik-batik hijau. Kalau bicara, sesekali membenarkan letak kaca matanya yang sering melorot dari puncak hidungnya.

18 Maret 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yusrizal KW

Langkah perempuan itu panjang-panjang. Kalau berjalan wajahnya sedikit tertekuk ke depan mengiringi irama tubuhnya yang kurus agak bungkuk. Rambutnya lujur, beruban. Berkaca mata tebal, selalu mengempit buku besar ukuran folio berwarna batik-batik hijau. Kalau bicara, sesekali membenarkan letak kaca matanya yang sering melorot dari puncak hidungnya.

Bu Mores, itulah dia. Suaminya bernama Moresal. Tuan atau Pak Mores, begitu orang menyapanya. Kalau keduanya berjalan, istrinya cenderung lebih ke depan dan suaminya di belakang. Keduanya sama tinggi, kira-kira 180-an cm. Cuma, Pak Mores, profesor yang kadang terserang pikun ringan itu, langkahnya jauh lambat dibanding istrinya yang cenderung bagai tergegas.

Tak ada yang tahu apa isi buku besar berwarna hijau itu. Setiap datang ke kampus tempat suaminya menjadi guru besar, tepatnya menunggu suaminya usai memberi kuliah, Bu Mores suka duduk di bangku koridor kampus. Buku besar hijau ia telentangkan di atas dua pahanya. Di situ ia duduk, selalu di situ. Ia setia menyetir mobil sendiri, mengantar dan menjemput suaminya ke kampus.

"Beliau itu tak bisa dibiarkan menyetir sendiri. Kakinya sering kram, matanya pun tak kuat memandang lama ke depan," kata Bu Mores pada beberapa dosen yang ia kenal di kampus itu, sekadar beralasan barangkali. Hal itu ia kemukakan, karena banyak yang menyarankan agar ia tak perlu direpotkan jemput-antar suaminya ke kampus atau ke suatu tempat.

"Anak? Cuma seorang. Itu pun kuliah di Australia. Tak masalah, aku pun tak ada kesibukan. Asyik saja. Ini juga ibadah lho, ada pahalanya berbuat baik pada suami," ungkapan lain Bu Mores.

Begitulah. Sepuluh menit sebelum suaminya usai dari ruang kuliah, ia sudah duduk dengan buku hijau telentang di pahanya yang memanjang dan keluih. Kadang ia tampak tengah menulisi buku hijau besarnya. Orang mengakrabinya dengan sebutan penanda: perempuan tinggi berbuku besar.

Tak lama ia duduk dengan pikirannya sendiri, sang suami dengan langkah yang lamban seperti orang malas jalan, telah menghampirinya. Tanpa bicara sepatah pun, Bu Mores berdiri dan melangkah gegas. Sementara Tuan Mores mengikuti di belakang. Istrinya sedikit lebih awal berada di mobil. Di belakang stir ia stel lagu-lagu lama kesukaannya. Pak Mores duduk tenang. Mesin mobil dinyalakan istrinya. Tak ada pembicaraan. AC mulai terasa. Pak Mores membolak-balik buku entah apa lalu khusyuk membaca. Istrinya menyetir dengan sorot mata tajam. Sesekali tangan kanannya lepas dari setir untuk membenarkan kaca mata.

"Aku lapar. Pukul 12 sekarang. Waktunya makan siang!" kata sang suami. Istrinya menoleh sebentar, lalu mengangguk. Tak lama mobil dibelokkan ke sebuah restoran pinggir jalan.

Saat menunggu makanan terhidang, istrinya membuka buku besarnya di atas meja. Ia mengeluarkan pena dari tas kulitnya yang sedari tadi tersandang. Sesuatu ia tulis, entah apa.

"Aku ingin berenang sore ini. Kuharap kau mau mengantar," kata sang suami. Istrinya menyipitkan mata, menarik napas berat.

"Nanti asmamu kumat. Aku bisa repot."

"Tapi, renang juga untuk kesehatan!"

"Setuamu, renang bisa membunuh. Siapa tahu, serangan jantung waktu mengapung!"

"Kadang aku ingin mati saja!"

"Apa hubungannya dengan berenang?"

"Entah!"

Keduanya terdiam, makanan terhidang.

Di rumah, keduanya berbeda kamar. Pak Mores di kamar depan, istrinya di kamar samping. Sedikit sekali pembicaraan di antara keduanya. Kadang seharian mereka berdiam mulut, seperti hidup sendiri-sendiri di pulau terpencil. Untung-untung ada tamu yang mengharuskan keduanya melayani kunjungan tamu. Di situlah mereka bicara, ngobrol apa saja satu sama lain.

Suatu malam, keduanya terpaksa sekamar dalam ranjang yang sama. Malam itu hujan deras, petir menyambar di luar. Bu Mores paling takut petir, apalagi lampu padam. Makin keras petir terdengar, ia makin erat memeluk suaminya. Kadang sang suami gerah juga. Ingin ia menepis pelukan istrinya yang panjang dan ketat serta mulai terasa asing itu. Tapi, ia takut dituding tak menyayang istri di hari tua. Terpaksalah, ia kuatkan diri menahan sesak napas, serta, ya dekapan ketat itu.

"Kadang petir membuat kita merasa sangat dekat," bisik Bu Mores.

"Secara fisik," kata profesor gaek ini.

"Itu sejak kau jatuh cinta lagi lima belas tahun lalu!"

"Lupakan. Aku benci kenangan di luar dirimu. Itu cinta tak sengaja. Waktu itu lantaran kau sibuk berkarir, pergi pagi pulang malam langsung tertidur," Pak Mores terbatuk.

"Sekadar jatuh cinta tak masalah. Tapi kau tidur dengan perempuan itu, kan? Itu yang menyakitkanku."

Profesor Mores terdiam. Ia sadar, itulah awal kebekuan dan kekakuan dipunyainya dalam kesuami-istrian mereka. Istrinya pilih berhenti bekerja, mengikutinya kemana pergi, hingga kini ang akhirnya menjadi semacam supir dan satpam pribadi. Semua itu-disadari sang profesor-karena istrinya betul-betul takut kehilangan suami, apalagi di ambang hari tua. Maka tak heran, Bu Mores selalu merengut ketika ada perempuan lain mendekati suaminya.

Dan sejak ketahuan berselingkuh, pertengkaran selalu membara. Bosan bertengkar, keduanya terbiasa bersikap diam. Hingga setua hari ini (Tuan Moresal 60 tahun, istrinya 56 tahun) mereka lebih banyak main diam. Bicara seperlunya, misal mengajak makan, menanyakan sudah tutup pintu, mengajak nonton konser. Kecuali ada tamu, mereka bicara sedikit lebih banyak.

Rumah besar megah berlantai dua bertaman luas, sejak itu (kecuali anak mereka pulang liburan), seperti tak berpenghuni. Jikapun berpenghuni, tak ada suara obrolan suami istri, kecuali bunyi sendok menyentuh piring atau sesekali piring pecah atau seharian bingar televisi dan tape yang distel dengan suara keras, walau kadang tak ditonton dan didengar.

Pada akhirnya, orang mengenal pasangan senja ini dua orang bisu yang sekali-kali dapat mukjizat bicara.

Petir masih terdengar sekali-sekali. Bu Mores mulai terlelap dengan tetap merangkul suaminya yang agak kegerahan. Ingin ia melepas lingkar tangan istrinya, tapi takut tersinggung.

Bu Mores bangun lebih awal. Hujan dan petir sudah reda, entah sejak pukul berapa. Yang pasti, semalam ia merasa nyaman tidur memeluk suaminya yang sudah cukup lama pisah kamar. Bahkan, bangun pagi ia tersenyum melihat suaminya yang masih terlelap.

Sebelum suaminya bangun, ia seduhkan teh manis hangat dan seporsi nasi goreng buatannya yang lama sekali tak dikerjakan untuk sarapan suami. Biasanya ia mengandalkan pembantu. Kali ini, setelah semalaman memeluk suaminya, dunia tiba-tiba berubah indah. Ia nyaris tak sabar menunggu suaminya bangun, hanya untuk melempar seulas senyum.

Tuan Mores terbangun, sedikit menggeliat. Ketika duduk, ia lihat istrinya sudah berdandan rapi, rambutnya basah dan memberi senyum yang lama tak dinikmati suaminya, sejak perselingkuhan itu.

"Aku menyeduhkanmu teh manis hangat serta seporsi nasi goreng yang pernah kubuatkan bertahun-tahun tahun silam," sapa Bu Mores agak kikuk.

"Mimpikah ini?"

"Aku semalam bermimpi indah, bersamamu," kata Bu Mores seraya menyuruh suaminya mandi. Sepeninggal suaminya ke kamar mandi, sang istri mematut diri di cermin. Kulit wajahnya sudah keriput, kantung ketuaan menggantung di bawah matanya. Ia patut lama-lama wajahnya dicermin, tertemukan sekelebat bayangan kecantikan usia mudanya. Tapi, ia menyimpan senyum mendadak. Teringat mimpi.

Semalam, ia mimpi kembali muda dengan suami, lalu bercinta. Alangkah indahnya mengenang itu, untuk hari yang luput.

"Aku minta maaf. Sudah lama kita pelit bicara," kata Bu Mores.

"Aku juga!"

Sesaat sang profesor terdiam. Teringat olehnya, awal semua yang buruk itu. Haliya, perempuan selingkuhnya itu, kembali di pelupuk mata. Mereka memang pernah bercinta, berniat untuk menikah diam-diam. Tapi, keburu ketahuan istrinya. Ah. Ia menggeleng.

"Akulah yang mesti minta maaf. Semua salahku," kata Profesor.

"Mulai hari ini, kau boleh bepergian sendiri, ke kampus atau kemana kau mau. Aku di rumah saja. Menyiapkan makan, dan melakukan segala sesuatu yang pernah hilang," kata istrinya.

"Tak usah. Aku akan berhenti mengajar. Menjemput hari yang hilang sebagai keindahan." Pak Mores lambat-lambat menggenggam tangan istrinya. Lalu saling mencium kening, tak lama berpelukan secara tepat.

Mata sang profesor tiba-tiba terpaku pada buku besar warna hijau yang terletak di meja. Buku itu misteri abadi selama ini. Sebab, seharian buku itu selalu melekat dan terkempit di ketiak istrinya. Jika di rumah, disimpan dalam lemari terkunci. Sepertinya ada sesuatu yang amat rahasia dari buku tersebut. Sepertinya lagi, buku itu lebih mahal dari permata miliaran rupiah sehingga harus dibawa ke mana pergi dan terpegang kuat.

"Aku penasaran dengan buku hijau itu. Apa yang tersimpan di dalamnya?"

Bu Mores tercenung, lalu mengambil buku tersebut.

"Di buku ini, segala rahasia hati, dan kata-kataku yang tak terucap untukmu tertulis rapi. Ketika aku rindu berdialog tentang cinta, rindu, anak kita, serta pertengkaran hebat denganmu, kutulis sesuai khayalanku sendiri. Sengaja kupilih buku besar, karena aku takut hilang, sebab aku juga seorang pelupa. Di luar dugaanku, ia ternyata pernah agak mampu menggantikanmu. Sehingga ke mana aku pergi, di mana aku berada ia selalu terbawa dan teringat. Sehingga, aku pun mendengar, orang menyebutku perempuan tinggi berbuku besar. Biar saja, memang begitu setelah aku merasa kecewa padamu," Bu Mores berkata parau, matanya berkaca-kaca.

"Kali ini boleh aku membacanya?"

Bu Mores mengangguk, lalu memberikan buku itu pada sang suami.

Lama sang profesor membaca buku tersebut, sesekali tersenyum, tertawa, kadang matanya basah.

Di salah satu halamannya, ia menemukan susunan dialog seperti naskah drama. Dalam dialog itu, pelakunya profesor dan Istrinya. Ia ualang membaca hal yang tertulis seperti di bawah ini:

Profesor:

Tak ada perempuan yang bisa menggantikan keagungan cintamu, istriku.

Istri:

Bukankah Tuhan memberikanku untukmu.

Profesor:

Akulah suami berbahagia di dunia.

Istri:

Karena itu, malanglah kau jika jatuh cinta lagi.

Profesor:

Tak akan. Hanya kau junjungan cintaku.

Istri:

Kau pun junjunganku, berkat kasih sayang Tuhan.

Sehabis membaca beberapa penggalan tulisan tangan dalam buku besar itu, Pak Mores menatap istrinya lelah. Ada yang hilang tapi terangkum sesuai pikiran istrinya dalam buku besar. "Jadi semua di buku ini kau tulis ketika kau rindu berdialog atau bercengkerama denganku? Oh, itu sebabnya kau sedikit bisa betah main diam, karena buku ini kaupaksa menggantikanku?"

Bu Mores memaksakan senyum, namun air matanya yang jatuh.

"Ternayata kau tak bisa digantikan dengan apa pun. Lupakan masa silam. Aku telah berdosa, mencetus hari-hari senyap dalam hidup kita ."

Setelah itu mereka membuka semua jendela rumah lebar-lebar. Sinar tipis matahari menerabas masuk dari arah timur, menyapa pagi yang agak lembab oleh hujan semalam.

Mereka berdua bergandengan ke beranda. Menatap ke jalan, lalu saling tatap.

"Kesalahan kita paling besar, menjemput hari tua dengan bodoh!" kata Pak Mores.

Istrinya mengangguk, lalu berbisik, "Itu satu hal. Kebodohan kedua, kenapa hanya saat petir kita bisa seranjang tanpa melakukan apa-apa?"

Dengan senyum pahit, mereka saling tatap: di situ hari tua sempurna milik mereka berdua.

Yusrizal KW, Founder Ruang Baca Tanah Ombak dan Vespa Pustaka di Padang, menulis esai, puisi, dan cerpen. Kumpulan cerpennya, Kembali Ke Pangkal Jalan, diterbitkan Penerbit Kompas.


Candra MalikAWAN HITAM

Aku terhenti menulis sajak
sejak kertas terlalu sempit
dan kepalaku terlalu sesak
oleh seru taklimat dari langit.

Bentang langit serupa mistar,
persis di atas ubun-ubunku.
Berawan hitam, dan halilintar
menyambar cemas dan ragu.

Lalu hujan turun di pelupuk,
basahlah kedua kelopak mata.
Airnya perlahan meliuk-lekuk,
mengalir entah sampai mana

Candra Malik, 2016

OPERASI KUTU

Gadis-gadisku bidadari pagi,
gigi-giginya cokelat karena roti.
Sarapan tak suka ganti menu,
tapi mereka tak fanatik susu.

Cyra selalu menolak disisir,
seluruh kerapian selalu diusir.
Rambut harus acak-acakan.
Baginya, itulah kecantikan.

Manik sering berkerudung,
sebasah apa pun rambutnya.
Jiwanya irama bersenandung,
raganya gemulai balerina.

Sunda juga jelita sangat,
dari jauh maupun dari dekat.
Sesekali rambutnya dikucir,
kepalanya dia penuhi pikir.

Cyra enam tahun, Sunda tiga.
Akan empat ketika April datang.
Manik sepuluh tahun umurnya.
Ibu mereka perempuan matang.

Setiap malam, pagi, siang, senja,
rambut mereka wajib diperiksa.
Ibu menyerukan operasi kutu,
padahal ia ingin merawat rindu.

Candra Malik, 2017

Candra Malik,
lahir di Solo, 25 Maret 1978. Buku puisinya berjudul Asal Muasal Pelukan diterbitkan Bentang Pustaka pada 2016. Ia juga menulis cerpen, novel, esai, dan buku bertema sufisme. Tinggal di Depok, Jawa Barat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
Âİ 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus