HARAPAN, KEPRIHATINAN DAN TEKAD: ANGKATAN 45 MERAMPUNGKAN TUGAS SEJARAHNYA Oleh: Dr. T.B. Simatupang Penerbit: Inti Idayu Press, Jakarta, 1985, 204 halaman MENJELANG berakhirnya tahun 1980-an ini, masalah alih generasi menjadi semacam obsesi dan beban moral bagi Generasi 45 - generasi pembebas, yang sekarang menjadi elite puncak politik Indonesia. Banyak perbedaan paham, baik terbuka maupun tertutup, di antara eksponen Generasi 45 tentang berbagai masalah prinsipiil yang berhubungan dengan masa kini dan masa depan. Dan, perdebatan ini memperoleh gema dalam masyarakat, baik lantaran besarnya pengaruh eksponen-eksponen Generasi 45 maupun karena sifatnya yang penting bagi masa depan bangsa. Dr. T.B. Simatupang - yang populer dengan panggilan Pak Sim - adalah salah seorang di antara eksponen Generasi 45 yang tidak henti-hentinya mengingatkan kita semua, terutama rekan segenerasinya, tentang harapan, keprihatinan, dan bahaya yang dihadapi Indonesia jika tidak berhati-hati dalam periode gawat sekarang. Hal itulah yang dirangkumnya dalam buku ini, yang lebih merupakan suatu kandungan dari ide-ide politik menjelang ulang tahun ke 40 kemerdekaan RI. Jika proklamasi merupakan pintu gerbang pertama, maka Pak Sim terutama khawatir tentang bagaimana kita memasuki pintu gerbang kedua, yakni mem-bawa Indonesia ke tahap lepas landas menuju masyarakat industri. Tahap inilah yang menjadi batu ujian Generasi 45 dalam merampungkan tugas sejarahnya. Untuk itu, Pak Sim mengemukakan "daftar-daftar negatif" negara lain pada tahap semacam itu, yang harus dicegah terjadinya di masa depan oleh Generasi 45 yang sekarang masih di tampuk kekuasaan negara. Ada beberapa pengalaman dikemukakan Pak Sim. Urutan pertama pada "daftar negatif" itu adalah wilayah Amerika Latin, yang gagal dalam proses demokratisasi dan bercirikan ketidakstabilan serta kudeta militer silih berganti. Kekhawatiran lama Pak Sim ini, sayang, dalam buku ini tidak dibarengi dengan optimisme baru. Sebab, di Amerika Latin sekarang, seperti di Argentina, Brasil, Uruguay, dan Peru, kita justru menyaksikan munculnya pemerintahan demokrasi parlementer, yang kebanyakan dikuasai partai-partai sosial demokrat. Pembangunan ekonomi dan proses industrialisasi memang seperti pisau bermata dua: pada suatu saat bisa menumbuhkan gejala otoriterisme, tapi juga bisa berbalik ke arah proses demokratisasi politik, yang bahkan didorong oleh kaum militer sendiri. Di Amerika Latin sekarang, hanya Cili dan Paraguay yang masih dikuasai diktator militer gaya abad ke-19, yang tanpa ada penyaluran politik paling elementer sekalipun. Yang lebih relevan dengan situasi modern adalah peringatan Pak Sim akan kegagalan Iran di bawah Syah, yang kemudian menghasilkan revolusi. Ini pun perlu dilihat dalam kerangka kekhususan suatu negara. Misalnya, kecilnya golongan menengah Iran yang tercabut dari akar massanya, hirarki keagamaan yang homogen, dan disipliner, dari Islam Syiah, sehingga memberikan "kepemimpinan alternatif" otomatis kepada para ayatullah. Di Indonesia, kemajemukan Islam, tumbuhnya golongan menengah yang majemuk dan tidak berkecenderungan sekuler, membuat kasus Iran tidak mungkin terjadi. Pengalaman Jepang dan Pakistan merupakan contoh lain dari Pak Sim. Di Jepang, proses industrialisasi dilakukan oleh kaum Samurai dengan cara otoriter, sehingga melahirkan pemerintahan yang militeristis - berakhir setelah Perang Dunia II. Baik Jepang maupun Amerika Latin memperlihatkan proses demokratisasi, baik karena desakan internal (Amerika Latin) maupun eksternal (Jepang). Di Pakistan, Pak Sim mengingatkan tentang pembangunan ekonami yang berakhir dengan desintegrasi nasional. Hal ini disebabkan kesenjangan yang tajam, baik antara yang kaya dan miskin maupun antar-regional. Pakistan sampai kini masih mewarisi kesulitan dalam pembangunan politiknya, seperti dibuktikan rezim Zia ul Haq yang masih mencari format politiknya. Masalah-masalah lain yang menjadi sumber keprihatinan Pak Sim, seperti mekanisme suksesi, masalah korupsi penyalahgunaan wewenang, serta kemampuan lembaga politik menampung dinamika masyarakat, seyogyanya dilihat dari kerangka perbandingan sejarah sendiri. Diakui Pak Sim, sudah banyak kemajuan yang dihasilkan Generasi 45, seperti satu-satunya asas kehidupan bernegara dalam Pancasila. Juga diakui bahwa Generasi 45, khususnya dalam ABRI, sudah berhasil membangun aparatur negara, melaksanakan pembangunan nasional, memiliki komitmen untuk menghindarkan diri dari kecenderungan militeristis dan otoriterisme, serta keterikatan pada cara konstitusional. Melihat perkembangan Indonesia, akan bermanfaat jika kita juga memperhatikan negara-negara yang baru memperoleh kemerdekaan atau melakukan pembangunan, setelah suatu revolusi. Misalnya Aljazair, RRC, dan Burma. Dapat dilihat bahwa terjadi keseimbangan yang rumit antara peranan militer dan partai mayoritas tunggal, yang memungkinkan pembangunan dapat dilakukan. Karena itu, akan selalu ada keseimbangan antara kecenderungan "negara birokratis" (Cina sekarang) dan dominasi partai mayoritas tunggal (Burma, Aljazair, dan Meksiko). Juga bisa dilihat bahwa penerapan dan perbaikan lembaga-lembaga politik serta konstitusional tampaknya baru akan terjadi pada masa generasi pascarevolusi, seperti terbukti dari dominasi politik pasca-MaoZou oleh Deng Xiao-ping (walaupun dalam posisi informal), serta dominasi politik Burma oleh Ne Win (sekarang ketua Partai Program Sosialis). Proses pelembagaan politik, termasuk peralihan kepemimpinan, harus berlangsung pelan, damai, dan melalu konsensus Generasi Revolusi itu sendiri. Sehingga, pembangunan yang telah mereka mulai tidak hancur kembali oleh gejolak politik setelah generasi pascarevolusi berlalu dari panggung politik dan sejarah. IRONISNYA, generasi revolusi ini, umumnya, dibesarkan dalam kancah kekerasan dan perjuangan senjata, sehingga budaya dan tingkah laku politiknya diwarnai oleh sosialisasi yang bersifat kekerasan - main culik dan semacamnya adalah biasa. Karena itu, menjelang alih generasi ini, perlu kesepakatan nasional di kalangan Generasi 45 agar bersikap rela dan kesatria, sehingga mampu bersifat welas asih dan menjauhkan diri dari dendam. Hal ini penting agar generasi berikutnya tidak mewarisi dendam generasi sebelumnya, seperti kesalahan yang dilakukan Mao Ze-dong dengan Revolusi Kebudayaannya yang anarkis itu. Buku ini memang cenderung memberikan beban berat kepada Generasi 45 - ini dapat dimaklumi karena tanggung jawab moral mereka yang besar dalam sejarah politik Indonesia. Tapi, sejarah kita membuktikan, suatu bangsa selalu mampu menempatkan survival bangsanya di atas kepentingan lain. Karena itu, kurang beralasan jika timbul kesan, Indonesia akan mengalami kesulitan besar setelah proses alih generasi. Generasi 28 dari Sukarno, Hatta, Sjahrir, dan lainnya berhasil membawa Indonesia dari berbagai pengelompokan tradisional menjadi bangsa yang merdeka dan memiliki semangat kebangsaan yang kuat. Generasi 45 (baik ABRI maupun teknokrat), yang dimunculkan ke panggung politik, terutama selama masa Demokrasi Terpimpin, ternyata mampu membuat landasan untuk pembangunan nasional berencana serta memberikan landasan idiil berupa Pancasila sebagai satu-satunya asas. Jika diingat dalam proses politik selama 20 tahun terakhir ini, sudah banyak generasi pascarevolusi yang berperanan (di dalam ABRI dan di luar ABRI) dan yang sengaja dimunculkan oleh pemerintahan Presiden Soeharto (seperti halnya Presiden Soekarno memunculkan tokoh-tokoh Generasi 45), maka soal peralihan generasi tampaknya lebih banyak merupakan beban moral bagi Generasi 45 daripada sebagai masalah generasi pascarevolusi Buku ini mengingatkan, walaupun arah kita sudah baik, toh perlu sikap berhati-hati di masa depan. Itu harus dimulai dari sekarang, khususnya konsensus dari kalangan Generasi 45 sendiri, agar tidak mewariskan panggung politik yang penuh perpecahan dan berbau dendam. Burhan Magenda
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini