Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Festival Cannes yang ka-ya dan menyodorkan ba-nyak hal itu tiba-tiba jadi ”se-derhana”: semua mem-bincangkan film The Da Vinci Code.
Raakhee Punjabi, istri bos Multivision Raam Punjabi, yang setahun tiga kali berada di kota pinggir pantai di tenggara Prancis itu, juga tak kuasa menampik. Raakhee ikut arus. Seorang war-ta-wan televisi Italia merekam betapa ia bergegas menuju karpet merah buat menyaksikan kedatangan Tom Hanks, pemeran utama The Da Vinci Code, dari dekat. ”Let’s go... find Tom Hanks,” serunya.
Inilah Festival Cannes ke-59. Raakhee adalah satu dari ribu-an orang—wartawan resmi pel-i-put Cannes saja mencapai 5.000 orang—yang tersedot daya p-ikat The Da Vinci Code. Ya, film itu magnet yang kuat. Denis O’Brien, warga Irlandia Utara, misalnya, khusus datang bersama anak-anaknya menyaksikan tafsir si-nema terhadap buku yang oleh keluarga O’Brien dinilai ”begitu fenomenal dan penuh intrik me-ngesankan” itu.
Film garapan sutradara Ron Howard ini, sejak mengambil gam-bar pertama dua tahun lalu, memang telah mengundang rasa pe-nasaran: apakah ia akan semenarik ”ibu kandungnya”, novel The Da Vinci Code karangan Dan Brown. Juga apakah film berbiaya US$ 125 juta (atau sek-itar Rp 1,1 triliun) itu akan menuai ba-dai kontroversi yang sama sebagaimana novelnya yang dianggap ber-usaha merobohkan basis keimanan Katolik Roma?
Tak ada aksi protes atau demo anti-film The Da Vinci Code yang diputar perdana di Cannes Rabu lalu. Tapi gelombang penentangan kaum Kristiani terjadi di beberapa negara, seperti India, Korea Selatan, Yunani, Thailand, Filipina. Di India, misalnya, sebagian umat Katolik mengancam mogok makan bila film itu diputar. Menteri Penyiaran Priya Ranjan Dasmunshi pun memutuskan menunda pemutaran sampai keluar rekomendasi dari para ahli sejarah agama.
Di Singapura, The Da Vinci Co-de hanya boleh ditonton oleh mere-ka- yang berusia di atas 16 tahun. Di Thailand, lembaga sensor film me-motong adegan yang paling me-ngundang kontroversi: Maria Mag-dalena mengandung anak Yesus.
Angelo Amato, orang terdekat Paus Benediktus XVI, saat berpidato di acara Kongres Doktrin Keyakinan di Universitas Pontifical Holy Cross, pun mengecam kar-ya Brown itu ”penuh dengan ke-bohongan”, baik dari segi seja-rah maupun teologi. ”Saya berharap Anda semua memboikot film ini,” seru Amato, seperti dikutip AP.
Persekutuan Injili Indonesia juga memprotes pemutaran film pro-duksi Columbia Pictures itu. Organisasi ini meminta agar Menteri Komunikasi dan Informasi Sofyan Djalil melarang pemutaran film tersebut, karena berisi penodaan terhadap agama Katolik.
Sikap berbeda dikeluarkan Kon-ferensi Waligereja Indonesia. Dalam pernyataan resmi, Konferensi tak meminta pemeri-ntah melarang peredaran film atau me-ngeluarkan ajakan agar umat Kris-tiani tak menonton film tersebut. ”Itu fiksi belaka, bukan berdasarkan fakta historis Kitab dan tidak mengguncangkan iman umat,” ka-ta Antonius Benny Susetyo, Sek-re-taris Eksekutif Komisi Hubung-an Agama dan Kepercayaan KWI. ”Kalau dilarang, filmnya justru laku.”
The Da Vinci Code, yang terbit pada 2003, ditulis Brown de-ngan menggabungkan gaya thriller detektif dan teori konspi-rasi. Kisahnya diawali dengan terbunuhnya seorang kurator seni Jacques Sauniere di Museum Louvre, Paris. Sebelum tewas, Sau-nie-re meninggalkan sejumlah petunjuk yang cuma bisa dibaca oleh cucu perempuannya, Sophie Neveu, seorang kriptolog (peme-cah kode rahasia), beserta ahli sim-bol agama lulusan Universitas Harvard, Robert Langdon.
Keduanya kemudian beke-rja sama memecahkan pesan ra-ha-sia yang ditinggalkan Sauniere. Pesan-pesan itu terkait dengan misteri yang melingkupi seju-mlah lukisan terkenal karya Leona-r-do, termasuk Mona Lisa dan The Last Supper. Keduanya menjadi bu-ron-an polisi.
Novel ini menjadi kontroversi ka-rena menyinggung banyak hal seperti Piala Suci (Holy Grail) yang digunakan Yesus dalam Jamuan Terakhir, peran Maria Magdalena dalam sejarah Kristen, komunitas rahasia Biarawan Sion, Kesatria Templar, organisasi Katolik Roma Opus Dei yang didirikan oleh Santo Josemaria Escriva pada 2 Oktober 1928, sampai keturunan Yesus yang masih hidup di Paris (baca Yang Kontroversial).
Tom Hanks menyayangkan re-ak-si berlebihan dari orang-orang yang tak senang dengan film baru-nya itu. Menurut Hanks, jika pemrotes menilai sebuah film ha-nya dari kontroversinya, ”Anda sa-lah besar. Tak ada yang dilukai di film ini.”
Brown sendiri mempersilakan ahli Injil dan sejarawan untuk mem-perdebatkan data-data seja-rah dalam novelnya. Men-urut Brown, novel yang ditulisnya ada-lah pemikiran yang bisa di-sukai atau dibenci orang. Jika Vati-kan tak menerima isi bukunya yang menceritakan pernikahan Y-esus dan Maria Magdalena, itu hak Vatikan. Ia justru berharap orang makin rajin datang ke gereja se-telah membaca novelnya yang te-lah laku 45 juta eksemplar dan di-terjemahkan ke 44 bahasa itu.
Satu alasan mengapa buku i-ni menjadi kontroversial, kata Brown, lebih karena agama adalah hal- yang sangat sulit didiskusikan da-lam istilah-istilah kuantitatif. Ba-gi Brown, fiksinya itu ”lebih se-ba-gai eksplorasi atas agama saya sen-diri”.
Brown membuat riset sel-ama se-tahun sebelum menulis The Da Vinci Code. Ia beberapa kali ber-kunjung ke Paris, memasang tenda di luar Museum Louvre selama seharian, duduk di bangku di Grand Galery mengamati tingkah para turis, dan mencatat m-inat mereka terhadap karya seni yang terpajang di dinding galeri. Ia ju-ga mewawancarai beberapa pakar untuk mendapatkan informasi yang tepat mengenai seluk-beluk Louvre—luasnya, bagaimana penampakan setiap galeri dan gang di-lihat dari berbagai sudut yang ber-beda-beda.
Lisa Rogak, penulis buku The Man Behind The Da Vinci Code (Ufuk Press, 2006) juga mencatat minat Brown terhadap matematika, simbol dan kode rahasia. Minat ini tumbuh sejak kecil, dipe-nga-ruhi ayahnya, Dupont Brown, yang juga guru matematika di Philip Exeter, New Hampshire, Amerika. Sang ayah, pada setiap Natal, memberikan sebuah peta dengan kode-kode yang harus di-ikuti dari kamar ke kamar untuk dipecahkan Dan Brown, sebelum menemukan hadiah Natal.
Brown juga gemar membuat riset tentang komunitas-komunitas rahasia yang ada di kotanya. Rasa takjubnya pada kelompok rahasia ia temukan ketika menyaksikan dua agen dari National Security Agency menggeledah kampus tempat ia mengajar bahasa Inggris pada 1995. Dua agen itu mencari mahasiswa yang mengirim e-mail kepada temannya, berisi ancam-an membunuh Presiden Clinton. Brown terheran-heran bagai-ma-na NSA bisa tahu e-mail pribadi orang. Selama dua tahun kemudian, ia melakukan riset terhadap NSA dan memaparkan cara kerja rahasia mereka dalam novel Digital Fortress.
Dari institusi rahasia pelat me-rah, Brown mengalihkan minat pada Vatikan. Saat tur di Kota Va-tikan, ia bersama istri-nya Bly-the diajak pemandu wisata me-nyu-su-ri terowongan Il Pase-tto, sebuah jalan pintas Paus bila Vatikan di-serang. Sang pemandu itu spontan mengatakan ba-hwa musuh p-aling jahat dalam sejarah Va-tikan adalah Iluminati, seke-lompok i-lmuwan yang meng-ancam Paus pada abad ke-17 karena te-lah menghukum Galileo dan Co-per-nicus.
Dari kisah Iluminati itu lahir Angels and Demons (2000). Brown ke-mudian memadukan penge-tahu-an Blythe tentang lukisan-lukisan Leonardo Da Vinci de-ngan ”komunitas rahasia” Opus Dei, ordo di bawah pengawasan Vatikan, ke dalam The Da Vinci Code.
Ron Howard tertarik mengangkat ke dalam layar lebar setelah istrinya Cheryl Howard menceri-ta-kan novel Brown setiap pagi di rumahnya di Sea Pines Resort, Carolina Selatan, Amerika. Cheryl rupanya punya kelompok diskusi buku. Setelah menggelar diskusi buku Stephen King dan Dostoyevsky, kelompok itu membedah The Da Vinci Code. Che-ryl pun membujuk suaminya agar menyutradarai film itu.
Sutradara A Beautiful Mind itu telah berulang-ulang mem-baca buku Brown. ”Cerita Brown punya kelengkapan elemen suspensi yang bisa menghidupkan film. Misteri dan thriller yang ia ba-ngun terasa dekat dan mempesona,” katanya.
Mula-mula, ia bersama sahabat-nya, Brian Grazer, produser Ima-gine Entertainment, hendak meng-angkat fiksi itu menjadi s-erial televisi. Tapi Brown menolak ga-gasan Howard. Pada saat yang hampir bersamaan John Calley, produser Sony Pictures, berhasil membeli hak memfilmkan seharga US$ 6 juta dari Brown. Calley pun meminta Howard dan Grazer untuk menggarap film itu.
Namun shooting The Da Vinci Code berlangsung tak mulus. Meski mendapat izin masuk Museum Louvre, kru film tak diperkenankan mengambil gambar di Galeri Agung, tempat lukisan Mona Lisa dipajang. Lukisan Mona Lisa pun digambar ulang.
Berikutnya, ketika Westmin-ster- Abbey akan dijadikan lokasi shooting film, kepala gereja me-nol-aknya. Alasannya, sang peniup- ba-dai kontroversi itu dinilai, ”tak ma-suk akal secara teologis”. Ini mem-buat Howard memindahkan- lo-kasi pengambilan gambar ke Ka-tedral Lincoln, masih di Ing-gris-.
Di katedral ini, Suster Mary Michel, melalui doa-doa yang ia panjatkan selama 12 jam, berharap shooting film itu gagal. ”Saya te-lah melakukan hal terbaik sebelum saya menghadap Tuhan di hari pengadilan saya,” ucapnya.
Yos Rizal Suriaji, Evieta Fadjar, Arya Gunawan (Cannes)
Maria Magdalena
Dan Brown mengemukakan teori bah-wa Yesus mempercayai Maria Mag-dalena sebagai pemangku ajaran Kristiani yang utama, bahkan lebih istimewa dari 12 murid Yesus. Lebih dari itu, Maria Magdalena juga dipercaya sebagai pasangan hidup Yesus. Keturunan mereka di dunia modern dipercaya mengalir dalam darah dinasti Merovingian.
”Maria Magdalena sedang mengandung saat Yesus disalib. Untuk keselamatannya, ia pergi dari tanah suci Yerusalem menuju Prancis Selatan, dan di situ ia melahirkan anak perempuan bernama Sarah,” kata Sir Leigh Teabing, tokoh rekaan Brown.
Pendapat itu mengguncang keyakinan umat Kristiani tentang Maria Magdalena, yang dalam persepsi umum adalah pelacur pendosa yang di-sucikan Yesus dan menjadi pengikutnya yang paling setia. Dalam Injil Yohanes, Maria Magdalena disebut sebagai saksi langsung penyaliban dan kebangkitan Yesus. Gereja menyatakan Maria Magdalena sebagai santa.
Brown mengatakan ia bukan yang pertama melontarkan gagasan itu. Sejumlah buku sudah membahasnya, seperti The Woman with the Alabaster Jar: Mary Magdalene and the Holy Grail dan The Goddess in the Gospels: Reclaiming the Sacred Feminine karangan Margaret Starbird, dan Holy Blood, Holy Grail karangan Michael Bageant, Henry Lincoln, Richard Leigh.
Opus dei
Tokoh antagonis Silas dalam Da Vinci Code disebut mengabdi untuk Opus Dei. Organisasi ini memang eksis. Popularitasnya cepat menanjak sejak didirikan oleh Santo Josemaria Esvcriva di Spanyol pada 1928. Dalam situs resminya, ordo yang mendapat pengakuan dari Vatikan tahun 1950 ini mengklaim punya 87 ribu anggota yang tersebar di 61 negara.
Berasal dari bahasa Latin yang berarti ”pekerjaan Tuhan”, ordo ini disebut Brown sebagai sekte ultrakonservatif yang kaku dan cenderung ekstrem, seperti melakukan pen-cucian otak. Dikatakannya juga, kantor Opus Dei di distrik bisnis Kota New York, tepatnya di 243 Lexington Avenue—dengan bangunan senilai US$ 47 juta—sebagai markas besar nasional.
Dalam situs resminya, Opus Dei melukiskan diri sebagai ordo yang mendekatkan Yesus dalam kehidupan umat sehari-hari. Mereka membantah bangunan di New York itu markas besar, meski tidak membantah alamat kantor itu. ”Tidak ada pintu masuk khusus bagi pria,” seperti ditulis dalam situs.
Biarawan Sion
Rahasia besar yang diungkap Robert Langdon dan Sophie Neveu adalah warisan Biarawan Sion (Priory of Sion), organisasi rahasia Eropa yang didirikan pada 1099. Ini berdasarkan dokumen tua Le Dossiers Secrets, ditemukan di Perpustakaan Nasional Paris pada 1975, yang diklaim Brown sebagai fakta di awal buku. Dalam dokumen yang bernomor katalog 4 ° 1m 249 itu, sejumlah nama ilmuwan termasyhur disebut sebagai grand master, atau ketua, yakni Sir Isaac Newton, Sandro Botticelli, Victor Hugo, Leonardo Da Vinci, dan Jean Cocteau.
”Fakta” itu kemudian dibantah oleh Pierre Plantard, yang mengaku membuat dokumen itu untuk mengangkat dirinya sebagai ahli waris Raja Prancis Dagobert II dari dinasti Merovingian. Plantard dua kali mendaftarkan nama Priory of Sion sebagai organisasi di Prancis dengan berbagai alasan, salah satunya mendapatkan hak rumah murah. Sebelum Brown, dokumen ini juga digunakan sebagai fakta sejarah dalam Holy Blood, Holy Grail, yang dicetak pada 1982. Plantard pernah dipenjara karena penipuan.
Ordo Priory of Sion pernah eksis. Menurut situs Debunking the Da Vinci Code, ordo ini berada di bawah Gereja Katolik Roma, yang ditemukan di biara Bunda Gunung Zion, Yerusalem, pada 1100. Ordo ini lenyap pada 1617 ketika bergabung dengan Yesuit. Tak ada hubungan dengan ordo rekaan versi Plantard tadi.
Sangreal
Sangreal, yang diambil dari kata San greal, dari bahasa Prancis, berarti Holy Grail, atau cawan suci, menjadi tema inti 593 (versi paperback) halaman buku Da Vinci Code. Dalam tradisi Kristiani, cawan suci ini, dalam bahasa Inggris disebut chalice, atau bahasa Latin calix, diartikan sebagai cawan yang digunakan Yesus untuk meminum anggur dan membaginya ke-12 murid yang duduk bersamanya di perjamuan makan terakhir.
Namun, sejak awal Brown sudah meng-ubahnya. Dia percaya cawan suci itu bukan sekadar gelas minuman, melainkan rahim kehidupan yang memangku darah suci. Brown memisah Sangreal menjadi Sang real yang berarti darah suci. Maria Magdalena disebut-sebut sebagai cawan suci yang sesungguhnya.
Kesatria Templar
Perjalanan Langdon dan Neveu adalah napak tilas para kesatria Templar, yang direka Brown sebagai faksi militer bentukan ordo Prior of Sion. Di dunia modern saat ini, para kesatria itu hidup dalam legenda Raja Arthur. Brown mengklaim para kesatria ini yang melaksanakan tugas suci dari tanah suci Yerusalem ke Eropa. Mereka juga yang secara rahasia bertugas menjaga kelangsungan dinasti Merovingian, yang disebut Brown masih ada hingga kini.
Situs Templar History menggambarkan para kesatria itu sebagai sembilan orang pahlawan Perang Salib I, dipimpin Hugues De Payens, yang menyediakan diri mengawal umat Kristiani ke tanah suci. Pada 1118 Raja Baldwin II memberikan mereka hak untuk menempati kuil suci Temple Mount di Yerusalem.
Mereka menganut doktrin kepatuh-an, kemiskinan, dan tak menikah. Tapi, dalam perkembangannya, se-iring dengan semakin banyaknya kekuasaan dan persembahan atau upeti yang mereka peroleh, para kesatria Templar ini membuat sistem yang mirip bank di era modern. Raja Philip IV dari Prancis kemudian mengumumkan larangan bagi para kesatria ini, menjatuhkan hukuman dan membunuh para kesatria dan mengakuisisi harta mereka pada 13 Oktober 1307.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo