Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Superlativisme

22 Mei 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kurnia JR

Pagi hari menjelang pemilihan umum, saya melihat spanduk partai politik yang mengajak orang menghadiri ”rapat akbar”. Saya, yang waktu itu belum berhak memilih, terperangah membacanya. Ternyata yang akbar—mahabesar—bukan hanya Tuhan, pikir saya saat itu. Apakah makna ”akbar” hendak diciutkan, tak lagi ”maha”?

Saya merasa hal itu berlebihan sambil berpikir-pikir sebesar apa rapat yang diklaim sebagai ”mahabesar” itu. Saya membayangkan pengerahan massa yang luar biasa. Ternyata yang terjadi siang itu ”hanya” pengumpul-an massa seperti biasanya untuk mendengarkan pidato ”jurkam” sebelum mereka keliling kota.

Saya sempat kecewa, tetapi kemudian memahami sesuatu. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia 1985 (KUBI) akbar: besar, agung; juga pada Kamus Besar Bahasa Indonesia 2002 (KBBI). Rapat akbar artinya rapat besar. Tambahan maha dalam terjemahan atas Allahu Akbar bersifat pengagungan ekstrinsik yang bijaksana dalam hal adopsi konsep dari Arab itu dengan menerapkan kosakata Sansekerta.

Menyangkut maha, yang terjadi kemudian tidaklah sederhana. Kian ba-nyak bentukan kata superlatif untuk menyatakan sesuatu yang dianggap besar atau ”wah”. Bentukan superlatif TER- (misalnya tertinggi, terbesar, terhebat) malah jarang dipakai kecuali dalam konteks statistik). Yang sering muncul adalah mahahebat, mahadahsyat, superbintang, megabintang, mahabintang, mahakarya, adikarya, me-gakorupsi, megaskandal, ”mega-sale” (di toserba), dan seterusnya.

Pada pembuka artikelnya, seorang rekan melukiskan sebuah benda ang-ka-sa berukuran ”maharaksasa” da-lam peristiwa ”mahadahsyat”. Dua ma-ha dalam satu pokok pikiran bukanlah sikap yang ekonomis. Gaya ini cenderung mengempiskan balon Zeppelin yang bisa membuatnya terban, terjun bebas.

Menurut KUBI, maha: (pd kata majemuk dan sebutan berarti:) besar; amat; yg teramat; mis. mahabaik, mahabesar, mahatinggi, mahasuci. Kamus ini memuat banyak entri hasil bentukan dengan maha, antara lain mahadewa, mahadewi, mahaduta, ma-haesa, maha-guru, mahajana, maha-kuasa, mahamenteri, maharesi, maha-rupa. Suatu penggambaran kebesaran yang agung atau status yang luhung.

Boleh jadi, bentukan superlatif yang menggejala hebat dewasa ini dibuat untuk menggebrak, menciptakan efek bombastis. Sesuatu yang terasa besar segera di-tempatkan ”tak tepermanai”. Persoal-annya, apakah ini bijaksana?

Menurut Webster’s New World College Dictiona-ry, Third Edition, 1996, superlative berasal dari superlatus (Latin) 1 superior to or excelling all other or other-s; of the highest kind , quality, degree, etc.; supreme 2 excessive or exaggerated 3 Gram. designating or of the extreme degree of comparison of adjectives and adverbs; expressing the greatest degree of the quality or attribute expressed by the positive degree: usually indicated by the suffix –EST (hardest) or by the use of most with the positive form (most beautiful).

Definisi superlatif pada KBBI sumir saja: a Ling tingkat perbandingan yg teratas (bentuk kata yg menyatakan paling, yaitu ter —): ”tercepat” adalah bentuk – dr ”cepat”. Superlativisme n (gejala) kecenderungan yg berlebih-lebihan atau keterlaluan yg tampak pd perkataan atau tingkah laku.

Saat menuturkan sesuatu, orang ke-rap tergoda untuk mendramatisasi de-ngan ungkapan superlatif berlapis-lapis. Jika diandaikan matematika: bilangan kuadrat atas kuadrat. Mega dan maha berhamburan seperti be-ras tumpah.

Kalau sudah diharu biru oleh se-suatu yang dahsyat, semisal nilai korupsi atau skala bencana alam, penutur mudah tersilau sehingga ungkapan superlatif berganda bisa disemburkan dalam satu tarikan napas. Sekaligus ini gambaran pergulatan bahasa kita menanggapi realitas korupsi, ketamakan wakil rakyat yang tak kenal batas, ketidak-adilan yang telanjang, kemiskinan, dan kerusakan ling-kungan yang parah.

Betapapun, superlativisme serta sikap boros dan tidak selektif dalam labelisasi, dalam hal ini label superlatif, da-pat menggerus daya pukau kata. Dalam novel Zia-rah Iwan Simatupang, sikap Wali Kota yang sangat berlebihan ditanggapi sang Opseter dengan satu kalimat riang: ”Ah! Pak Wali Kota rupanya tak mengetahui proporsi.” Dalam berbahasa kita bersikap. Pada momen ini proporsi menjadi penting.

Dalam berbahasa kita bebas. Sekalipun demikian, tetaplah baik mena-han diri, supaya sihir kata tidak lindap. Agar tak pudar ketakziman pada yang sungguh-sungguh besar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus