Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di ruangan seluas 50 meter persegi, mereka bergerak seperti gasing. Terbungkus jaket putih tanpa kerah, rok-rok putih mere-ka le-bar, mengembang, mening-galkan bayangan putih. Mereka, enam lelaki, berputar ke kiri; tangan ka-nan sejajar kepala, menengadah ke la-ngit. Tangan kiri di bawah, sejajar paha, me-nelungkup menghadap bumi. Sementa-ra itu, tatapan tak pernah lepas dari te-lapak tangan kanan.
Orang di Barat menyebutnya the whirling dervishes. Bulan lalu, di pondok zikir Naqsabandi Haqqani, Cin-e-re, Jakarta, bersama jemaah lainnya me-re-ka berzikir, meratap, terisak de-ngan mata terpejam. Al-Fatihah, salawat Nabi, Asma ul-Husna, dan khatm khwajagan—zikir pamungkas—dilantunkan, sebelum para penari mengambil posisi. Setengah jam zikir, para penari lelaki yang mengenakan tarbus merah pada kepala itu pun bangkit dan mulai berputar. Di luar lingkaran para penari, seorang syekh memberi aba-aba. Masing-masing mesti beredar di sekitar garis orbitnya. Mula-mula perlahan, makin lama makin cepat.
Awalnya musik berderap ringan. Mu-sik biasa, suara seorang penyanyi lelaki dengan rebana, gitar, dan organ. Ia bersenandung thala’al badru ’alaina—”lihat-lah, sang rembulan telah sem-akin tinggi”—sambutan atas kedatangan Na-bi Muhammad di Madinah dulu. Tapi lama-lama terdengar aksentuasi pada ritme: simbal, bas bergantian memberi tekanan, sementara bedug dipukul bertalu-talu. Puncaknya terjadi ketika interlude. Perkusi semakin sibuk, para musikus bergantian melepaskan sahut-an, bagian dari zikir yang khas tarekat naqsabandiyah—Huu, Haqq, Hayy, A-llah Huu, Allah Haqq, Allah Hayy.
The whirling dervishes—atau sema, namanya di tanah kelahirannya, Tu-r-ki—berangkat dari sebuah pandangan: miniatur jagat raya juga ada dalam diri manusia. Di dalam tubuh, elektron-elektron mengelilingi nukleus. Di jagat raya, planet-planet mengitari matahari. Dan tasawuf memandang dua fenomena ini sebagai satu yang tak terpisah—dan semua bergerak ke arah kiri.
Tarekat Maulawiyah yang melahirkan tradisi sema di Turki memang ba-nyak terpengaruh ilmu falak (astronomi). Tapi tentu saja tak ada tafsir tunggal dalam hal ini. Anand Krishna, 60 tahun, pemimpin Anand Ashram, memandang ritual the whirling dervishes sebagai upaya pengikisan ego. Seusai praktek whirling di Ashram, bulan lalu, Anand Krishna berdoa: ”Ya Allah, lepaskan binatang dari diri kami, tinggallah manusia dalam diri ini.” Sementara itu, Arief Hamdani, 43 tahun, manajer Naqsa-bandi Haqqani Indonesia, menangkap ada-nya persamaan gerakan whirling de-ngan ta-waf, mengelilingi Ka’bah.
Ka’bah ibarat hati, tangan kanan yang membuka mencerminkan harap akan hidayah Allah, dan tangan kiri yang me--nelungkup menyalurkan hidayah ke mu-ka bumi. ”Menurut Syekh Nizam, pu-taran ke surga itu ke kiri,” kata A-rief. Syaikh Nazim al-Haqqani adalah mursyid utama Naqsabandi Haqqani, tarekat yang mengadopsi ritual itu.
The Whirling Dervishes lahir di Ko-nya, Turki, dan sebelumnya ada Jala-lu-din Rumi (1207–1273), sufi agung. Satu kesaksian melukiskan Rumi menemukan sema saat ia mendengar musik pandai besi. Tangan dan kakinya berge-rak mengikuti irama pukulannya. Tapi kesaksian lain bilang sema berangkat da--ri kesedihan yang dalam. Alkisah, di masjidnya di Konya, Rumi meratapi perpisahannya yang dahsyat dengan kekasih spiritualnya, Syams-i-Tabriz. Pikirannya melayang, tangan kiri-nya meraih salah satu pilar. Mengandalkan sang tiang sebagai poros, lantas ta-ngan kanannya mengembang, tubuhnya bergerak ke arah kiri, berputar menge-lilingi pilar itu. Tak disangka, meluap-lah puisi-puisi maha indah dari mulutnya. Puisi dari alam bawah sadarnya yang bening dan suci.
Muhammad Noor, 21 tahun, bergerak pada garis orbitnya. Wajahnya damai, tapi gerakannya deras, kedua tangannya kadang naik-kadang turun. Pertanda gerak tak terkontrol. Noor sebenarnya baru setahun bergabung dengan Naqsabandi Haqqani. Pertengahan tahun lalu, ia mulai mengikuti zikir—sampai suatu waktu ia bangkit dari zikir dan mulai menari. ”Awalnya saya sempat kaget, tapi saya ikuti saja,” katanya.
”Dulu saya pemabuk dan pemarah,” kenangnya. Pengalaman Noor, peng-alam-an banyak anak muda yang bergabung dengan Anand Ashram dan pondok zikir. Di pondok zikir Naqsabandi Haqqani, Cinere, whirling diadakan seminggu sekali, bersama-sama zikir. Di pendapa Anand, dua minggu sekali.
Whirling memang istimewa. Di dalamnya, orang bisa ekstase, bisa ”tersesat” dalam jebakan visual. Entah dari mana asalnya, si penari bisa merasa bert-emu sosok-sosok sakral seperti malaikat atau Nabi Muhammad. Tapi bukan itu yang dicari. Jalan menuju Sang Pencinta Agung masih panjang.
Rumi menyadari keterbatasan prosa, dan memilih puisi, Masnawi, Rubaiyat, dan bentuk-bentuk lain untuk melukiskan pengalaman spiritualnya, cintanya kepada Allah. Ya, menari pengalaman spiritual mustahil terlukiskan, ap-alagi kepada orang yang belum pernah meng-a-lami. Whirling menawarkan jiwa yang tak gelisah, juga kemungkinan untuk menganggap sepi dunia ini. Karena itu, Anand Krishna biasanya membatasi menari sampai 45 menit. ”Pulang” ke dunia nyata ”Kasihan jika masih ada anak--i-stri yang harus dihidupi,” kata-nya.
Tapi semua orang bebas memutuskan untuk dirinya. Rumi memilih jalan terus, karena ia tak lagi membedakan ”yang di dalam” dengan ”yang di luar sana.” Ia berputar seperti gasing.
Sebuah rahasia berputar dalam diri kami membuat jagat raya ikut berputar.
Kepala tidak menyadari keberadaan kaki dan kaki menjadi kepala. Tidak masalah
Mereka terus berputar. (Rumi)
Bina Bektiadi, Ahmad Taufik
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo