Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Potret kesedihan seorang wanita

Pengarang : n.h. dini jakarta : djambatan, 1989. resensi oleh: putu wijaya.

28 April 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JALAN BANDUNGAN Pengarang: Nh. Dini Penerbit : Djambatan, Jakarta, 1989, 378 halaman NOVEL ini menceritakan penderitaan Muryati, akibat perilaku seksual Widodo, suaminya. Lelaki itu selalu memaksanya berada dalam posisi hanya melayani kebutuhan jasmaninya, sebagaimana layaknya pelacur. Muryati juga tidak diizinkannya bekerja sebagai guru. Padahal, saat itu mereka kesulitan biaya rumah tangga, yang menanggung sejumlah anak. Widodo sendiri tidak mau membantu pekerjaan rumah tangga yang melelahkan dan membosankan. Ia pun tidak memberi Muryati kesempatan berhubungan dengan sahahat-sahahatnya. Usaha Muryati untuk memasak kue yang kemudian dijajakan di warung ibunya -- yang kadang mengisi jasa boga (catering di kantor-kantor -- diputus. Wanita ini jadi tertekan. Pada suatu hari Widodo tidak kembali. Setelah dicari, ternyata ia terlibat kegiatan politik. Bersama dengan dilarangnya Partai Komunis, Widodo masuk bui. Ini buat Muryati sudah puncak. Berbeda dengan Bawuk di dalam novel Umar Kayam yang kemudian larut dalam sikap politik suaminya Muryati malah sakit hati. Ia mendendam karena keterlibatan Widodo pada partai tak diketahuinya. Hubungan Widodo-Muryati sebagai suami-istri yang manis tidak pernah terjadi. Kini ia dan anak-anaknya dianggap istri orang komunis. Atas bantuan sahabatnya, Muryati dapat kembali mengajar, bahkan memperdalam ilmu di Leiden, Belanda, selama beberapa bulan. Tapi kemalangan belum selesai. Sebelum berangkat, anak lelakinya terlibat dalam perkelahian antarsekolah. Anak yang bermaksud melerai perkelahian itu malah tertusuk. Di Belanda Muryati bertemu dengan Handoko, adik suaminya yang sedang belajar di Jerman. Handoko tidak pernah cocok dengan Widodo. Hubungan Handoko-Muryati lancar dan terasa ada kecocokan. Hubungan ini kemudian berkelanjutan di Indonesia. Disusul dengan perkawinan. Mereka berdua tinggal di Jalan Bandungan, sebuah rumah yang diwariskan oleh seorang teman pada Muryati. Babak kedua perkawinan Muryati mula-mula menyenangkan. Kemudian badai mulai datang oleh kehadiran Mas Gun. Sahabat yang banyak menolong ini adalah seorang polisi, bekas anak buah bapak Muryati. Ia memang pernah menyenangi Muryati, tetapi kecemburuan Handoko sebenarnya tak beralasan. Ketika Widodo keluar dari penjara, ia memacu bibit malapetaka itu menjadi neraka baru. Hubungan Handoko-Muryanti jadi retak. Ketika akhirnya semua dapat dibeberkan dengan jelas, Muryati sudah telanjur kecewa. Pada akhir cerita ini, pasangan Muryati-Handoko berpisah. Tetapi bukan bercerai. Handoko pamit untuk melakukan perjalanan bisnis ke Eropa. Ia baru akan menjemput Muryati jika sudah berhasil. Muryati merelakannya pergi dengan tidak mengharapkan apa-apa lagi. Muryati ingin membuat taman kanak-kanak. Berbau feminis? Memang. Terkesan pada saya novel ini sebagai luapan hati seseorang yang amat terluka oleh kesewenang-wenangan lelaki. Hampir terasa, makhluk pria itu sebagai musuh yang jahat. Sejak novel Dini yang terkenal, Pada Sebuah Kapal, kemudian disusul oleh La Barka, kita menemukan upaya Dini memberikan hak hidup yang wajar kepada kaum wanita. Wanita bukanlah sekadar obyek. Apalagi obyek seksual. Wanita, sebagaimana lelaki, adalah subyek yang juga berhak memiliki pengalaman-pengalaman personal sebagaimana lelaki. Membaca novel ini, mau tak mau saya teringat pada tokoh Bawuk dalam novel Umar Kayam. Sikap Bawuk dan Muryati amat berbeda. Namun, di balik perbedaan itu ada kekerasan yang sama. Pada Muryati muncul sebagai kesadaran hak, sedang pada Bawuk sebagai misteri yang menimbulkan keharuan yang amat dalam. Karena Bawuk -- tanpa ia mengerti sendiri -- kemudian terjun dan berpihak pada kubu politik suaminya secara fisik. Ia berjuang dengan sungguh-sungguh. Perjuangannya, entah kenapa, menimbulkan rasa simpati. Bukan karena kubu yang dibelanya, tetapi karena ketulusannya yang menggetarkan. Kedua novel ini amat berbeda. Dini lebih menghunjam pada nilai-nilai individu, sedangkan Kayam pada konteks sosial serta nurani seorang wanita Jawa yang lembut tapi perkasa. Pada Dini adalah kesedihan, pada Kayam keperihan. Pesona kedua novel ini buat saya amat lain. Sebagaimana semua cerita Dini, Jalan Bandungan juga merupakan kisah hidup sehari-hari. Ditulis secara konvensional dengan kecerewetan yang teguh untuk memotret realita. Percakapan panjang dan gambaran kejiwaan serta watak-watak diungkap dengan teliti. Dini masih tetap bertahan pada sikapnya untuk menjadi seorang tukang potret. Ia mendokumentasi dengan semangat yang kadang bawel dan melelahkan segala tetek-bengek sehingga kita kadang ingin mendahului apa yang diceritakannya. Tetapi di situlah pula letak kekuatannya. Novel ini mengajak orang duduk tenang dan menggunjingkan kehidupan dengan santai. Putu Wijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus