Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Hamka, sang pemikir bebas

Jakarta: pustaka panjimas, 1989. resensi oleh: julizar kasiri.

28 April 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CORAK PEMIKIRAN KALAM TAFSIR AL-AZHAR Penulis: Dr. Yunan Yusuf Penerbit: Pustaka Panjimas, Jakarta 1989, 192 halaman ALLAMA Muhammad Iqbal pernah mengatakan, "Seseorang tidak dapat menganggap saya sebagai suatu benda dalam ruang, atau sekelompok pengalaman dalam deretan waktu. Tetapi ia harus menafsirkan, memahami, dan menghargai saya melalui pertimbangan saya melalui sikap-kemauan, maksud dan cita-cita saya." Bila pendapat Iqbal ini ditujukan pada Haji Abdul Malik Karim Amarullah (HAMKA) mungkin itu dapat diartikan memahami kehadiran Sang Ulama melalui kreativitas dan pemikirannya, tempat ia mengekspresikan diri. Atau setidaknya, memahami Hamka lewat bukunya yang berjumlah lebih kurang 84 judul itu. Hal ini telah banyak dilakukan oleh penulis Indonesia dan asing. Deliar Noer, misalnya, melihat Hamka dari sikap nasionalismenya. Ada pula yang mengkaji Hamka lewat pemikiran mistisnya, seperti yang dilakukan Karel A. Steenbrink. Semuanya ini dapat dikatakan baru berbentuk artikel saja. Kajian yang lebih luas datang dari dua orang dosen IAIN, dengan obyek penelitian yang sama, yakni: Tafsir Al-Azhar karya monumental Hamka. Yang pertama adalah M. Roem Rowi -- dari IAIN Surabaya -- berhasil meraih gelar doktor di Universitas Al-Azhar, Kairo, pada 1989. Ia menitikberatkan pada metode penafsirannya. Sedangkan yang kedua adalah M. Yunan Yusuf, dosen IAIN Jakarta, yang pada tahun yang sama berhasil mempertahankan disertasinya di almamaternya, yang kemudian diterbitkan menjadi buku ini. Buku yang merupakan ungkapan rasa kagum Yunan Yusuf pada Hamka ini menampilkan corak pemikiran kalam Hamka dalam Tafsir Al-Azharnya. Pilihan ini dilakukan Yunan dengan pertimbangan: di samping belum ada orang yang mengkajinya dengan serius, permasalahan itu sendiri cukup penting. Dalam arti, pemikiran teologi erat kaitannya dengan pembentukan watak sosial suatu masyarakat. Ia memberikan warna pada aktivitas masyarakat itu: dinamis atau tidak. Masyarakat yang menganut teologi rasional, misalnya, yang beranggapan bahwa manusia memiliki kebebasan berbuat dan berkehendak, serta memberikan daya yang kuat pada akal, menurut Yunan, akan sanggup menghadapi perubahan sosial tanpa tercerabut dari dasar agamanya. Ini yang tidak dimiliki oleh teologi tradisional, yang memberikan daya yang kecil pada akal, sehingga tidak mampu menemukan alternatif jawaban terhadap tantangan perubahan sosial. Dalam kaitan ini, Hamka, lewat tafsirnya yang digemari orang di Indonesia, dan dinilai oleh Abdurrahman Wahid sebagai "tempat Hamka mendemonstrasikan keluasan pengetahuannya hampir di semua disiplin ilmu ...", termasuk kelompok pemikir teologi rasional. Kesimpulan ini ditemukan Yunan dengan bantuan sistematika masalah kalam yang ditulis Harun Nasution, guru besar IAIN Jakarta yang bertindak sebagai promotor Yunan, pada bukunya Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Di buku itu Harun mensistematikan masalah kalam menjadi delapan kelompok. Yakni: kekuatan akal, fungsi wahyu, free will dan predestination, konsep iman, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, keadilan Tuhan, perbuatan Tuhan, dan sifat-sifat Tuhan. Sistematika ini, menurut Yunan, memiliki kelebihan. Antara lain pada kemampuannya untuk menampung permasalahan-permasalahan yang terdapat dalam kalam. Di samping itu, ia tidak terikat dengan salah satu aliran kalam tertentu, sehingga memungkinkan untuk diterapkan pada masalah-masalah kalam yang terdapat dalam Tafsir Al-Azhar. Analisa terhadap ayat-ayat yang dikelompokkan ke dalam delapan persoalan kalam di atas pada Tafsir Al-Azhar membawa Yunan pada kesimpulan yang lebih khusus: Hamka sealiran dengan Mutazilah salah satu paham dari teologi rasional yang bila disebut mengundang konotasi negatif. Sebab, paham ini oleh mayoritas muslim dianggap "mempertuhankan akal". Tapi persamaan ini hanya terbatas pada enam masalah kalam yang terakhir. Sedangkan dalam soal "kekuatan akal dan fungsi wahyu", pemahaman Hamka berbeda dengan Mutazilah. Dalam masalah kalam ini, Hamka, menurut Yunan, sepaham dengan kelompok Maturidiyah Bukhara, salah satu aliran teologi tradisional. Akal, bagi Hamka, hanya mampu mengetahui adanya Tuhan serta mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk. Sementara itu, dalam soal mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan serta kewajiban melakukan yang baik dan meninggalkan yang jahat, yang dalam pandangan Mutazilah dapat dijangkau oleh akal, oleh Hamka hal ini hanya dapat diketahui melalui pertolongan wahyu dari Tuhan. Tetapi Hamka bukanlah seorang yang taklid. Justru sebaliknya, ia menolak sikap yang dianggap melemahkan umat ini. Ia, dalam hal ini, tetap menempatkan akal pada posisi yang penting dalam diri manusia. Dengan akallah manusia dapat mengungkapkan berbagai rahasia alam yang tersembunyi. Dengan akal pula manusia mempunyai kecerdasan yang menjadi nilai dan pertimbangan dalam menjalani kehidupan ini. Sikap menolak taklid ini, tulis Yunan, membuat Hamka menjadi pemikir bebas yang tidak terikat pada salah satu mazhab dalam Islam. Ini tercermin dari sikapnya yang sering berbeda pendapat dengan keputusan-keputusan yang dikeluarkan Majelis Tarjih Muhammadiyah, meskipun ia sendiri adalah salah seorang tokohnya. Julizar Kasiri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus