Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Prinka, Gambar, dan Tata Rupa

Ia salah seorang yang getol mengkampanyekan seni gambar. Juga pelopor hadirnya "seni" ke tata rupa majalah berita.

27 Desember 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NAMA S. Prinka selalu mengingatkan saya pada gambar. Ia termasuk dalam kelompok alumni Seni Rupa ITB yang sejak pertengahan 1970-an getol memopulerkan karya gambar (karya seni rupa dua dimensional yang bermedium bukan cat). Kelompok ini termasuk lulusan angkatan pertama Jurusan Desain Grafis Seni Rupa ITB (jurusan ini didirikan oleh A.D. Pirous pada 1970). Kenapa gambar perlu dikampanyekan? Ada apa dengan gambar?

Dalam dunia seni rupa kita, istilah gambar dan lukisan sudah lama dipakai, sejak sebelum berdiri sebuah perkumpulan yang disepakati sebagai awal bergeraknya seni rupa modern Indonesia. Itulah Persatuan Ahli-ahli Gambar In-donesia (Persagi), didirikan oleh pelukis S. Sudjojono, beberapa guru gambar, serta penggambar reklame bioskop pada 1937 di Jakarta. Anehnya, dimulai dengan perkumpulan yang mengacu pada "gambar", seni rupa Indonesia kemudian didominasi oleh lukisan. Istilah "lukisan" itulah yang digunakan dalam berkomunikasi (lisan maupun tulisan) bila orang menunjuk pada karya dua dimensional bermedium cat minyak (atau kemudian acrylic). Gambar disisihkan. Tapi mengapa Sudjojono (1914-1986) waktu itu memilih kata "gambar" dan bukan "lukis"?

Ada dua kemungkinan. Di masa sebelum lahir Persagi, istilah gambar dan lukisan digunakan dengan maksud serupa. Masing-masing istilah tak menunjuk pada ciri yang khas. Atau, Sudjojono dan teman-teman ingin membatasi kegiatan perkumpulan ini hanya pada yang lazim kita sebut sekarang ini sebagai "seni lukis". Besar kemungkinan kata "lukis" di tahun 1930-an itu masih dipahami sebagaimana yang diartikan dalam Kamus Jawa Kuna Indonesia (L. Mardiwarsito, Nusa Indah, 1981). Kata anglukis dalam kamus tersebut diartikan: menggambar, juga mengukir. Malah, dalam Bausasra Jawa-Indonesia (S. Parwiroatmodjo, PT Gunung Agung, 1981), kata nglukis lebih luas artinya: "melukiskan, menggambarkan, menggubah, membuat syair, dan mengarang."

Bila kemungkinan kedua ini yang terjadi, belum ada yang menjelaskan kenapa kata "gambar" yang menunjuk pada seni rupa dua dimensional kemudian tersingkirkan oleh kata "lukis" yang punya banyak makna itu. Membaca sejumlah tulisan di sejumlah majalah, terutama tentang seni rupa, di tahun 1950-an, kuat kemungkinan bahwa kata "gambar" dan "lukis" digunakan untuk maksud serupa. Ada kalanya kata "gambar" dipakai untuk menunjukkan bahwa sebuah karya seni rupa dua dimensional kurang bermutu.

Kampanye S. Prinka dan kawan-kawan (antara lain T. Sutanto, Priyanto S.) lebih hendak mencairkan dominasi kata "lukis" yang selalu mengacu pada karya rupa dua dimensional bermedium cat minyak. Mereka ingin agar dalam dunia seni rupa kita "gambar" menjadi hidup, sering dipamerkan, diminati masyarakat. Gambar di sini mengacu pada karya rupa dua dimensional dengan medium yang non-cat minyak (tinta dan pena, tinta dan kuas, cat air, potlot, arang, dan sebagainya).

Dan mereka tak hanya menciptakan karya gambar untuk pameran. Ada kampanye bentuk lain yang mungkin tak mereka sadari: "pameran" di majalah dan surat kabar. Itulah karya-karya yang berupa ilustrasi, kartun, karikatur, tipografi, tata letak. Semua itu, termasuk elemen visual dalam media cetak, mengandung unsur gambar. Di tangan para seniman rupa tersebut, dengan kesadaran estetik dan pengetahuan yang dimilikinya, elemen-elemen media cetak itu dikembangkannya dengan kreatif.

Tabloid mingguan Mahasiswa Indonesia (Bandung) di awal Orde Baru termasuk pelopor dalam memasukkan dengan kreatif elemen-elemen tersebut dalam tata rupanya. Tata rupa tabloid ini sudah berbeda jauh dengan surat kabar yang pernah diterbitkan di Indonesia sebelumnya. Kemudian di Jakarta, 1966, lahir majalah sastra Horison, yang tata rupanya digarap oleh Djufri Tanissan, perupa yang kemudian banyak bekerja di tata artistik film. Unsur gambar dalam tata rupa Horison sangat disadari terutama karena Djufri Tanissan bekerja sama dengan pelukis Zaini. Meski tata rupa Horison terasa statis, majalah ini jauh lebih mencerminkan kedekatannya dengan dunia seni rupa dibandingkan dengan majalah sastra sebelumnya, Sastra, terutama dilihat dari karya-karya gambar yang dimuat.

Kedekatan Sastra dan Horison pada dunia seni rupa sangat bisa dimaklumi karena dua majalah itu adalah majalah kesenian. Ketika majalah Tempo terbit, Maret 1971, tata rupa digarap oleh Djufri Tanissan. Tapi Djufri hanya membuat master design, selanjutnya tata rupa majalah ini digarap oleh mereka yang berlatar belakang pendidikan atau berpengalaman dalam grafika. Ketika itu Tempo seperti juga majalah-majalah lain: datar, tanpa kejutan. Sekitar enam tahun kemudian S. Prinka bergabung di majalah berita mingguan ini dan tata rupa Tempo pun berubah.

Prinka tak hanya membuat desain dasar, tapi juga langsung ikut menanganinya sehari-hari. Ketika itulah antara isi berita dan penyajian dipertimbangkan. Ada halaman-halaman yang dibiarkan "konservatif", ada yang digarap seolah Prinka mengerjakan karya seni rupa. Namun, yang "konservatif" pun sesekali memberikan kejutan: ada foto, misalnya, yang dibuang latar belakangnya (cut out).

Yang digarap bak mengerjakan karya seni rupa adalah halaman-halaman laporan utama, resensi, dan features. Judul tulisan tak hanya menggunakan huruf-huruf yang sudah tersedia, kadang judul itu ditulis tangan. Bahkan pernah Tempo menurunkan judul bukan dalam huruf latin, melainkan huruf kanji: itulah ketika cover story itu tentang meninggalnya Kaisar Hirohito.

Sudah barang tentu sebagaimana kodrat media massa, tata rupa itu sedikit-banyak merupakan hasil kerja sama. Prinka tak bekerja sendiri, ada sumbangan ide dari para wartawan, dan tentu saja pemimpin redaksi. Dengan kata lain kebebasan seperti menggarap karya rupa pribadi di sini terbatas. Justru dalam keterbatasan itulah kreativitas Prinka terasa memberikan sentuhan hingga halaman demi halaman tak hanya enak dibaca dan perlu, juga enak dilihat.

(Terbukti kemudian, ketika Tempo dibredel dan sebuah pameran gambar kulit muka diadakan, juga dibesarkan dan dibingkai beberapa halaman berita, terutama halaman resensi. Ternyata halaman-halaman itu terlihat seperti karya seni rupa juga.)

Apalagi gambar sampul majalah. Sebelum Prinka bergabung dengan Tempo, gambar sampul majalah dikerjakan oleh para perupa dari Sanggar Bambu (Hardiyono, Mulyadi W., antara lain), perkumpulan perupa yang didirikan di Yogyakarta pada 1959, yang pindah ke Jakarta. Ketika itu perpaduan antara isi laporan utama dan bentuk gambar sudah tentu diusahakan, namun pada hemat saya sampul-sampul itu masih lebih cenderung ke seni rupa daripada sebuah sajian yang mestinya juga kuat bau jurnalistiknya.

Prinka-lah kemudian, mungkin karena sistem kerja yang melibatkan redaksi, yang memadukan dengan baik antara seni gambar dan isi berita. Editing gambar kadang idenya datang dari redaksi. Sebuah gambar yang sudah bagus namun kurang mengandung berita bisa saja harus diubah setelah Prinka mendengarkan saran dari redaksi. Gambar suasana perkelahian yang sudah oke, namun kurang mencerminkan berita, misalnya, kemudian ditambah tulisan atau gambar gedung yang disebut-sebut dalam berita.

Memang, dari survei pembaca yang diadakan Tempo , diketahui bahwa pembaca membeli majalah bukan terutama karena gambar sampul, melainkan topik yang ditampilkan. Namun, suatu ketika perupa Sudjojono pendiri Persatuan Ahli-ahli Gambar Indonesia itu memuji-muji sampul Tempo sebagai "punya sentuhan seni". Katanya, kira-kira begini: "Coba, Dik, sobek sampul itu, kasih bingkai, saya jamin enak dilihat seperti lukisan."

Tak terpikir oleh saya Sudjojono sekadar basa-basi karena sedang saya wawancarai untuk dimuat di Tempo. Pelukis ini bukan tipe orang yang suka berbasa-basi.

Ia lalu menunjukkan bagaimana putih kertas membantu menonjolkan gambar figur (kalau tak salah waktu itu ia memegang Tempo bersampul gambar RA Kartini yang memang latar belakangnya putih).

Semua ini menurut saya adalah karya Prinka—baik ketika ia menggambar sampul sendiri maupun ide diorderkan pada pelukis lain. Sebagai redaktur artistik, dialah yang kemudian menentukan apakah gambar Deng Xiaoping lukisan Dede Eri Supria dimuat sepenuhnya atau wajah itu lebih di-close-up dan karena itu ada bagian yang harus dipotong. Pertimbangan Prinka bukan sekadar untuk memperoleh gambar yang bagus, melainkan agar gambar itu komunikatif: lebih dikenal, memberi ruang untuk banner, dan sebagainya.

Prinka, salah seorang yang getol mengkampanyekan seni gambar itu, telah mendahului kita. Ia boleh dibilang pelopor dalam memasukkan "seni" ke dalam tata rupa majalah berita agar halaman demi halaman juga enak dilihat.

Bambang Bujono, pengamat seni rupa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus