Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sekelompok orang berkumpul di sebuah ruang di Hotel Westin, Nusa Dua, Bali, Minggu subuh dua pekan lalu. Mereka berjaket kuning dan berwajah letih. Sorot mata mereka menahan geram.
Beberapa orang mengulurkan tangan kepada Akbar Tandjung, yang baru saja gagal mempertahankan kedudukannya sebagai Ketua Umum Partai Golkar.
"Maaf, Bang, kami sudah bekerja semaksimal mungkin, tapi..., " kata salah satu di antara mereka. "Nggak apa-apa. Kita sudah berupaya," kata Akbar sambil menepuk bahu lawan bicaranya.
Akbar sedang didera kepahitan yang dalam. Ia yang gagal merebut kemenangan dalam pertarungan menggapai kursi Ketua Umum Partai Golkar. Dalam pemungutan suara dini hari itu ia hanya mendapat 156 suara—kalah dibanding Jusuf Kalla yang mengantongi 323 suara. Kawan yang selama ini rapat mendukung, satu per satu hengkang. Setidaknya, 78 suara pro-Akbar "loncat pagar" saat pemilihan tahap kedua digelar.
"Situasi sebenarnya bisa di-handle kalau pimpinan sidang tegas. Banyak orang luar yang masuk ruang sidang," kata seorang pengurus Golkar pro-Akbar.
"Lho kenapa bisa begitu? Keamanan berarti tak jalan dong," kata Akbar sambil menatap Muslihin Dahlan, salah satu panitia.
"Ada yang berusaha memalsukan ID card, Bang," jawab Muslihin.
Akbar menggeleng-gelengkan kepala. "Itu yang tidak kita harapkan. Mereka itulah yang teriak-teriak saat saya berpidato menenangkan peserta. Padahal, peserta Munas kan menerima pertanggungjawaban saya."
"Memang, Bang," kata Muslihin. Ia lalu menyebut hadirnya seorang anggota DPR non-Golkar yang selama ini dikenal mendukung Jusuf Kalla.
Hening sebentar.
Beberapa saat kemudian, Abdul Gafur memasuki ruangan. Kedatangan Gafur yang malam itu memimpin sidang membuat mata beralih. "Duduk sini, Bang," ajak Akbar sambil menepuk kursi kosong di sebelahnya. Gafur mendekat.
Akbar menggulung lengan kemejanya. Jaket kuning telah lama ia tanggalkan. Sebentar kemudian, Akbar menyembur: "Kenapa sih tadi tidak tegas saja. Soal verifikasi, diketuk saja. Selesai, kan?" Akbar mempersoalkan proses verifikasi ketua umum yang dipandangnya bertele-tele.
Gafur menyanggah." Wah, nggak bisa. Kalau saya terusin situasi bisa chaos."
"Chaos kan bisa saja dibikin-bikin," anggota Golkar yang lain menyeletuk.
Akbar menyahut lagi. Kali ini ia mempertanyakan mengapa Abdul Gafur tak tegas menolak saat posisi wakil ketua diusulkan kubu Kalla. Posisi ini dibuat untuk menampung Agung Laksono—kawan karib Akbar yang kemudian hengkang.
"Lho kan sudah. Ketentuannya kan bilamana perlu?" jawab Gafur.
"Bang Gafur," kata Akbar, "Di negeri mana pun, nggak ada klausul `bilamana perlu'. Kalau memang wakil ketua umum itu menjadi satu posisi yang dibutuhkan di organisasi, ya sebut saja posisi wakil ketua umum. Kalau nggak, ya nggak usah."
Gafur diam. "Saya jadi nggak ngerti mau Abang gimana?" Nada suara Akbar meninggi. Semua hadirin terdiam.
Pembicaraan itu terhenti ketika sejumlah wartawan cetak dan televisi memasuki ruangan. Gafur beringsut pergi dari tempat duduk. Agun Gunandjar Sudarsa dan Ferry Mursyidan Baldan, dua orang pendukung Akbar, beringsut dan berpamitan kepada Krisnina Maharani, istri Akbar. "Saya pergi dulu. Nggak tahan saya melihat banyak Brutus di sini," kata Agun kepada Tempo.
Anda tidak akan bergabung dengan Kalla? Mungkin sebagai penasihat?" tanya wartawan kepada Akbar. "Tidak. Biarlah saya seperti ini saja. Kan sudah saya bilang, kalau saya menang, paket saya adalah Pak Wiranto (sebagai Ketua Dewan Penasihat). Tapi kalau yang menang Jusuf Kalla, ya paketnya Surya Paloh."
***
TAK mudah bagi Akbar menerima kekalahan. Lama ia dikenal sebagai politisi piawai. Sejak belia tak ada pekerjaan lain yang ditekuni lelaki kelahiran Sibolga itu kecuali menjadi politisi. Aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan Laskar Arief Rachman Hakim ini pernah menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI). Kariernya menanjak mulai 1974 tatkala dia masuk Golkar. Setelah itu, segenap posisi diraupnya. Dari Ketua Umum Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), Wakil Sekjen Partai Golkar, hingga sampai menjadi Ketua Umum Partai Beringin itu.
Di parlemen, kariernya juga mengkilap. Sejak 1977, Akbar tercatat sebagai pimpinan Fraksi Karya Pembangunan DPR. Beberapa kali menjadi salah satu pimpinan DPR dan MPR dalam berbagai periode politik hingga akhirnya situasi politik pasca-Pemilu 1999 menjadikannya Ketua DPR 1999-2004. Di pemerintahan, setidaknya ada empat kali Akbar menjadi menteri: tiga di masa Soeharto dan sekali di era Habibie.
Karier politik Akbar nyaris mati di masa akhir Soeharto. Tapi ia lincah menggeliat. Akbar memilih bergabung bersama Ginandjar Kartasasmita dan 14 menteri lainnya meninggalkan kabinet Soeharto.
Lalu dewa-dewa seperti tak pernah berhenti berpihak padanya. Atas sokongan Presiden B.J. Habibie dan Wiranto, Akbar terpilih menjadi Ketua Umum Golkar dalam Munas Luar Biasa 1998. Tugasnya tak hanya merombak Golkar menjadi partai pembaruan, tapi juga mempertahankan organisasi dari badai politik, termasuk menghadapi dekrit Presiden Abdurrahman Wahid untuk membubarkan Golkar pada 2002. Tugas lainnya adalah memenangkan kembali Golkar yang kalah, sekaligus menjadi pesakitan kasus korupsi.
Hingga usianya yang hampir 60 tahun Akbar tak pernah berubah haluan. Ia tak pernah menjadi "tukang insinyur"—sebagaimana titel yang ia dapat dari Universitas Indonesia.
Kini semua habis sudah: Akbar bukan Ketua Umum Partai Golkar, bukan pula anggota DPR. Ia bukan siapa-siapa lagi.
***
YANG paling menyakitkan Akbar dalam kekalahan ini adalah pengkhianatan Agung Laksono, koleganya yang kini Ketua DPR.
"Saya ini kurang apa sama Agung? Kok dia bisa begitu sama saya?" kata Akbar seperti ditirukan salah satu kawan dekatnya. Agung naik menjadi Ketua DPR berkat buah kerja Akbar sebagai Ketua Koalisi Kebangsaan, koalisi yang menggabungkan Golkar dengan PDIP dan sejumlah partai kecil lainnya.
Antara Akbar dan Agung memang terikat kesepakatan. Akbar akan mendukung pencalonan Agung sebagai Ketua DPR, sebaliknya Agung berjanji akan menyokong pencalonan Akbar sebagai Ketua Umum Partai di Munas Golkar. Tapi kesepakatan yang disaksikan orang-orang dekat mereka tak dituangkan dalam perjanjian hitam atas putih.
Akbar menepati janjinya. Lalu, sebagai tanda kasih, Agung dan istrinya mendatangi Akbar di Hotel Mulia, posko pemenangan Koalisi Kebangsaan. Pasangan itu menabik kepada Akbar dan berjanji akan memberi sokongan pada Akbar dalam Munas di Bali. Tapi kenyataan berkata lain. "Agung memang keterlaluan," ujar orang dekat Akbar ini.
Tak percaya Agung akan mencalonkan diri menjadi ketua Golkar, Akbar mengundang juniornya itu ke rumahnya di kawasan Kebayoran Baru lima hari sebelum Munas digelar. Di ruang tamu, Akbar bertanya perihal niat Agung untuk mencalonkan diri. Ia mengingatkan Agung soal kesepakatan mereka.
"Gung, kita kan sudah sepakat, Anda akan mendukung saya di Munas. Kok sekarang maju sendiri?" tanya Akbar.
"Saya didorong teman-teman, Bang," jawab Agung.
Mendung menggelayut di wajah Akbar Tandjung. "Ingat Gung, persahabatan itu lebih penting dibandingkan mencari jabatan."
Agung diam saja.
Sejak itu, antara Akbar dan Agung terbentang jarak. Ia tak pernah terlihat di rapat-rapat resmi panitia persiapan Munas. Padahal, sebagai ketua materi persidangan, Agung wajib hadir. Mereka tak lagi bertemu sampai di arena Munas, ketika Akbar menyindir. "Kalau-kalau saja (Agung) mau mengubah niatnya untuk tidak maju dalam pencalonan," ujarnya. Tapi Agung sudah bulat hati.
***
Pagi itu, di mata Akbar, Bali berubah menjadi pulau muram durja. Di ruangan mewah lantai empat Hotel Westin, puluhan orang dibekap kepedihan. Wajah-wajah muram menyesaki ruangan. Sebagian duduk termenung, sebagian lagi berdiri dengan mata memerah. Di sudut-sudut, para perempuan sibuk mengusap air mata. Beberapa lainnya tak bisa menahan isak.
Akbar Tandjung duduk menenggelamkan dirinya di pojok, di sebuah sofa warna krem. Matanya menerawang, bibirnya mengatup. Secangkir teh panas yang diteguknya tak lagi memberi tenaga. Ia melirik Nina, istrinya, yang duduk terdiam di sampingnya, mengapit tas dengan mata berkaca-kaca.
Di samping Akbar dilihatnya pengurus Golkar Rambe Kamarulzaman menghela napas berat. Lurus, pada kursi di depannya, Rully Chairul Azwar duduk melorot. Demikian pula Ferry Mursyidan Baldan dan Ade Komaruddin. Mereka berdiri di pojok dengan muka memerah.
"Sudahlah kawan-kawan, kita sudah melakukannya dengan optimal," Akbar memulai pidatonya. Puluhan orang menyimak. "Saya tidak apa-apa. Kalah itu biasa dalam politik. Kita kalah karena mereka all out dari delapan penjuru mengeroyok kita. Mereka memang tangguh."
Serangan delapan penjuru yang dimaksud Akbar adalah persekutuan delapan tokoh, yakni Wakil Presiden Jusuf Kalla, Ketua Dewan Perwakilan Daerah Ginandjar Kartasasmita, Ketua DPR Agung Laksono, pengusaha Surya Paloh, Menteri Koordinator Perekonomian Aburizal Bakrie, mantan Pangkostrad Letjen (Purn) Prabowo Subianto, Ketua The Habibie Center Muladi, dan Sri Sultan Hamengku Buwono X. Merekalah para "komandan lapangan" yang sepakat menyokong Jusuf Kalla.
Krisnina sebenarnya sudah punya firasat tentang kekalahan Akbar. "Semuanya ini sudah saya duga. Bang Akbar akan kalah karena lawannya terlalu besar," katanya kepada Tempo. Tapi untuk membesarkan hati suaminya, Nina memilih diam saja. Ia merasa Akbar dikepung. "Lawannya terlalu berat dan keroyokan," ujarnya.
Firasat itu semakin jelas ketika pada Sabtu malam, sehari sebelum pemilihan, peserta Munas yang sebelumnya menerima pertanggungjawaban Akbar dengan standing ovation tiba-tiba balik menyerang.
Pimpinan sidang Abdul Gafur tak bisa lagi mengendalikan rapat. Akbar maju ke podium untuk mendinginkan suasana. Tapi bukannya suasana teduh yang didapat, Akbar malah disoraki. "Turun, turun! Anda kini sudah demisioner," begitu bunyi sorak yang terdengar.
Nina tahu suasana tak mendukung suaminya. Sejak persidangan dimulai, ia tak mau bergeser sedikit pun dari Akbar. Setiap tahap pemilihan, ia mengusap punggung sang suami.
Lengan Akbar digenggamnya erat hingga acara usai. Sepanjang jalan menuju kamar, meski petugas keamanan memintanya berpisah dari Akbar yang dikerubuti wartawan, ia tetap menggandeng suaminya. Tapi ia bukan perempuan tanpa rasa. Ketika tahu suaminya kalah, air mata pun tumpah. Nina laksana berubah menjadi dahan kering.
***
JAM dinding menunjuk angka 7.30 waktu Indonesia bagian tengah. Ruangan itu berangsur-angsur sepi. Ririn, sekretaris pribadi Akbar, sibuk meminta pelayan menyiapkan sarapan pagi. Beberapa politisi perempuan Golkar membantunya menata meja makan.
Sambil menyeka air mata, Krisnina bangkit dari kursi dan membuka pintu beranda. Angin dingin bertiup.
Akbar menggulung lengan kemeja kotak-kotak yang ia kenakan. Tak ada percakapan. "Saya pingin istirahat. Saya mau ke Amerika menengok anak," katanya pada Tempo. Karmia Krissanti, 16 tahun, putri kedua Akbar, memang tercatat sebagai siswi High School Corvallis, Oregon, AS. Beberapa politisi Golkar yang masih ada di situ manggut-manggut.
"Bagaimana rencana karier setelah ini?" tanya Tempo. Akbar menggeleng. "Entahlah. Terjun ke politik, saya kira sudah tak mungkin. Saya kan sudah selesai di Golkar. Jadi, kita lihat nanti sajalah," katanya.
Mendengar jawaban suaminya, mata Nina kembali berkaca-kaca. Di luar, kabut belum sepenuhnya pupus. Di Nusa Dua, pagi terasa begitu pahit.
Widiarsi Agustina, Jobpie Sugiharto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo