Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pagi-pagi sekali kesibukan sudah membekap ruang kerja Kapolda Metro Jaya, Inspektur Jenderal Firman Gani, dua pekan lalu. Tak seperti biasanya, di ruang kerja Pak Kapolda sudah duduk beberapa petinggi Polda Metro Jaya. Mereka adalah Kepala Biro Logistik Kombes Bambang Kuncoko, Kepala Bidang Keuangan Kombes Mutiara Hanum, selain Firman sendiri. Hari itu mereka menyambut tamu penting: Kepala Inspektorat Pengawasan Umum (Itwasum) Polri, Komisaris Jenderal Binarto. Dalam pertemuan selama dua jam, Binarto meminta penjelasan ketiganya perihal asal-usul dana pembangunan gedung Detasemen 88 Antiteror.
Hasilnya? Masih gelap. Tak ada secuil informasi resmi dari kepolisian soal hasil pemeriksaan penting tersebut. Divisi Humas Polri, yang biasanya ceplas-ceplos kepada para wartawan, menutup diri. Wakil Kepala Divisi Humas Polri, Brigjen Soenarko D. Arnanto, menyatakan hasil pemeriksaan Irjen Firman Gani masih disimpan di laci Inspektorat Pengawasan Umum Polri. "Kami tak tahu hasilnya," ujar Soenarko.
Pemeriksaan Irjen Firman Gani berawal dari pembangunan gedung Detasemen 88 Antiteror di Markas Polda Metro Jaya. Gedung berlantai 23 itu—gedung tertinggi yang akan dimiliki Polri—sejak awal September 2004 lalu mulai dibangun oleh kontraktor PT Hutama Karya. Gedung mewah berlantai granit dan marmer itu akan dilengkapi dengan area parkir mobil lima lantai. Tak cuma itu, dua auditorium berkapasitas seribu orang akan melengkapi gedung. Total biaya diperkirakan Rp 660 miliar. Dalam kontrak kerja, pelaksanaan proyek ambisius ini direncanakan rampung dalam tempo satu setengah tahun.
Persoalan meruyak karena anggaran pembuatan gedung Detasemen 88 Antiteror sebenarnya belum turun. Menurut hasil penelusuran Tempo, anggaran dari Mabes Polri untuk proyek ini belum ada. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2004 dan 2005 untuk Polri tak tercantum proyek pembangunan gedung Detasemen 88 Antiteror. Tapi, Firman Gani tak menemui kesulitan mendapat dana. Saat memulai pelaksanaan proyek, Firman menyebut banyak warga masyarakat yang menyumbangkan uang pribadinya secara sukarela. Mereka adalah "hamba Tuhan" yang peduli dengan keamanan negara. Soal nama-nama penyumbang, Firman tak mau mengungkapkannya. "Ini seperti menyumbang pembangunan masjid. Mereka tak mau disebut namanya," ujar Firman.
Tapi, kisah para dermawan miliaran itu mengherankan anggota Komisi III DPR, Djoko Edhi S. Abdurrachman. Di mata politisi Partai Amanat Nasional ini, ada yang tak beres dalam proyek pembangunan gedung Detasemen 88 Antiteror itu. Belakangan, Djoko mengaku mendapat informasi bahwa Kapolda Firman Gani memperoleh dana haram. "Saya dengar sumber dananya dari para cukong judi di Jakarta," tutur Djoko kepada Tempo. Kabarnya, sejak proyek gedung itu dimulai, setoran para cukong judi makin membengkak. Sebagai imbalannya, ujar Djoko, Polda Metro Jaya tak akan mengusik bisnis para bandar judi di Jakarta.
Meski sadar telah melempar bola panas, Djoko mengaku tak asal bicara. Djoko mengatakan telah mengkonfirmasikan soal setoran cukong judi ini. Saat bertemu dengan Kapolri Jenderal Da'i Bachtiar, ia sempat menanyakan kebenaran berita tersebut. Hasilnya, "Soal judi urusan Kapolda Metro Jaya," kata Da'i Bachtiar seperti ditirukan oleh Djoko Edhi.
Pekan lalu, setelah pemeriksaan oleh Kepala Inspektorat Pengawasan Umum Polri, Firman Gani "meralat" ucapannya. Firman menyatakan sumber pembiayaan pembangunan gedung Detasemen 88 Antiteror sepenuhnya dari negara, lewat anggaran Mabes Polri. "Dananya baru turun dari Mabes Polri sebesar Rp 75 miliar," katanya. Soal pemeriksaan oleh Inspektorat Pengawasan Umum, ia mengaku hanya untuk mengecek kepantasan biaya pembangunan gedung. Tak ada sangkut-pautnya dengan rumor asal-usul dana untuk pengerjaan proyek.
Soal dana judi? "Tak ada dari judi. Itu dari anggaran Polri," kata Firman Gani.
Tapi bola panas telanjur menggelinding kencang. Djoko Edhi S. Abdurrachman dan beberapa anggota Komisi III DPR yang lain akan memanggil Kapolda Metro Jaya pada awal Januari 2005. Mudah-mudahan di awal tahun misteri "hamba Tuhan" itu bisa terungkap.
Setiyardi, Nurlis E. Meuko, dan Yophiandi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo