Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Puisi bagi Reformasi

Para pejabat dan seniman membacakan puisi perlawanan dalam peringatan 20 Tahun Reformasi. Puisi yang keras, menyentil untuk berefleksi.

11 Mei 2018 | 00.00 WIB

Para pejabat dan seniman membacakan puisi perlawanan dalam peringatan 20 Tahun Reformasi. Puisi yang keras, menyentil untuk berefleksi.
Perbesar
Para pejabat dan seniman membacakan puisi perlawanan dalam peringatan 20 Tahun Reformasi. Puisi yang keras, menyentil untuk berefleksi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

...Ada orang memakai topi/Ada orang memakai peci/Ada yang memakai dasi/Ada pula yang berbedak dan bergincu/Kalau sedang berkaca/menikmati diri sendiri/para politisi suka memakai semuanya itu/Semua politisi mencintai rakyat/Di hari libur mereka pergi ke Amerikadan mereka berkatabahwa mereka adalah penyambung lidah rakyat…

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baris-baris puisi di atas dibacakan oleh Bupati Kabupaten Bekasi Neneng Hassanah Yasin dan Bupati Pakpak Barat, Sumatera Utara, Remigo Yolando Berutu. Mereka berduet membacakan puisi berjudul Politik itu Adalah karya W.S. Rendra tersebut. "Semogatidak ada yang tertampar dengan puisi ini," ujar Remigo, sebelum membacakan puisi ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Neneng dan Remigo adalah dua di antara sejumlah pejabat, politisi, dan selebritas yang membaca puisi-puisi bernada kritis di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa malam, 8 Mei lalu. Selain mereka, ada Ketua DPR Bambang Soesatyo, Ketua MPR Zulkifli Hasan, Ketua KPK Agus Raharjo, Menteri Perikanan dan Kelautan Susi Pudjiastuti, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Menteri Tenaga Kerja M. Hanif Dhakiri, serta Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo.

Ada pula aktor-aktris seperti Morgan Oey, Reza Rahadian, Sha Ine Febriyanti, dan Lukman Sardi. Acara baca puisi merupakan salah satu mata acara peringatan 20 Tahun Reformasi yang dihelat Tempo bekerja sama dengan DPR. Selain itu, ada pentas musik, pameran foto, dan diskusi. Dan ini mungkin pertama kali masyarakat bisa melihat pejabat membacakan puisi-puisi perlawanan yang ditulis para penyair seperti Rendra dan Wiji Thukul.

Bambang Soesatyo dan Zulkifli mengawali pembacaan puisi dengan nukilankarya W.S. Rendra yang berjudulSajak Bulan Mei 1998 di Indonesia.Puisi ini sangat bersejarah karena dibacakan langsung oleh W.S. Rendra di Gedung DPR ketika diduduki mahasiswa pada 18 Mei 1998.Puisi itu, antara lain, berbunyi: Aku tulis sajak ini di bulan gelap raja-raja/Bangkai-bangkai tergeletak lengket di aspal jalan/Amarah merajalela tanpa alamat/Ketakutan muncul dari sampah kehidupan/Pikiran kusut membentuk simpul-simpul sejarah…

Menteri Susi dengan suaranya yang ngebas dan cukup ekspresif membacakan karya Wiji Thukul, Tembok dan Bunga.Wiji menggunakan metafora bunga sebagai lambang perjuangan melawan penindasan. //Seumpama bunga kami adalah bunga yang tak Kau hendaki tumbuh/Engkau lebih suka membangun rumah dan merampas tanah//Seumpama bunga kami adalah bunga yang tak kau hendaki adanya/Engkau lebih suka membangun jalan raya dan pagar besi//...

Menteri Eko juga membacakan puisi Wiji Thukul berjudulSajakSuara. Sajakini mengajak kita untuk berani bersuara bila menyaksikan ketidakadilan.Baris-baris sajak itu, antara lain, berbunyi: sesungguhnya suara itu tak bisa diredam/mulut bisa dibungkam/namun siapa mampu menghentikan nyanyian bimbang/dan pertanyaan-pertanyaan dari lidah jiwaku/suara-suara itu tak bisa dipenjarakan/di sana bersemayam kemerdekaan/apabila engkau memaksa diam/siapkan untukmu: pemberontakan!

Ketua KPK Agus Rahardjo membacakan puisi karya Wiji Thukul yang berjudul Tanah. Sebelum membaca puisi, ia berkata bahwa reformasi telah melahirkan ketetapan MPR untuk menciptakan MPR yang bersih. Dari ketetapan MPR itu, salah satunya dibuat undang-undang tentang KPK dan UU Tipikor. "Saya ingin berpesan kepada siapa yang ingin membubarkan KPK, berarti mengkhianati semangat reformasi," ujarnya.

Yang tak kalah garang adalah puisi yang dibacakan Hanif Dhakiri yang berjudul Pengantin Garis Depan (Sajak Seorang Mahasiswa kepada Kekasihnya). Puisi itu ditulis Hanif pada 1993, jauh sebelum reformasi. "Mohon maaf kalau agak keras, tapi begitulah saat itu," ujar Hanif, yang kemudian membacakan puisinya dengan sangat ekspresif.

Menteri Retno Marsudi membacakan sajak cukup panjang karya Sapardi Djoko Damono yang berjudul Dongeng Marsinah. Marsinah adalah buruh di Sidoarjo yang tewas dibunuh karena memperjuangkan haknya. Bunyinya, antara lain, Di hari baik bulan baik, Marsinah dijemput di rumah tumpangan/Untuk suatu perhelatan/Ia diantar ke rumah siapa/Ia disekap di ruang pengap/Ia diikat ke kursi/Mereka kira waktu bisa disumpal….

Nada perlawanan yang memperlihatkan krisis ekonomi dan kebobrokan pemerintahan juga kental dalam puisi yang dibacakan para selebritas. Misalnya puisi Baju Barukarya Joko Pinurbo yang dibacakan oleh Morgan Oey dan PuisiNyanyian Abang Becakoleh Reza Rahadian karya Wiji Thukul.

Salah seorang kurator puisi, Kurniawan, menjelaskan bahwa puisi yang dipilih terkait dengan reformasi, baik sebelum maupunsesudah reformasi. "Puisi-puisi itu yang menyuarakan reformasi, kritik terhadap pemerintah, dan krisis ekonomi. Kami pilih yang populer dibacakan para demonstran. Isinya pedas," ujarnya.

Menurut dia, tantangannya adalah memilih dan mencocokkan puisi dengan pembacanya karena sebagian adalah para pejabat, bukan seniman. Menariknya, para pejabat juga tidak alergi terhadap puisi perlawanan. "Seperti Ibu Retno, kami pilihkan nukilan cuma empat baris. Tapi beliau malah mau baca utuh soal Marsinah yang cukup panjang," ujarnya.

Pemimpin Redaksi Majalah Tempo Arif Zulkifli mengatakan puisi-puisi tersebut dipilih tim kurator dari beberapa penyair, seperti Rendra, Wiji Thukul, Sapardi Djoko Damono, Joko Pinurbo, Mustofa Bisri, dan Remy Sylado. Puisi-puisi itu pada era Orde Baru mungkin akan dilarang dibacakan karena isinya menantang. "Puisi yang akan dibacakan kesannya keras, tapi itulah karya para penyair pada era menjelang reformasi," ujar Arif, dalam sambutannya.

Malam itu bukan hanya puisi. Penonton juga dihibur oleh Jerinx dari grup Superman Is Dead dan Marjinal dengan lagu-lagu bertema perlawanan. Sebagian penonton ikut menyanyi. Mereka mengangkat lagu-lagu yang selama ini hanya dinyanyikan saat para mahasiswa berdemonstrasi, seperti Di Bawah Topi Jerami dan Darah Juang. Selain itu, mereka menyanyikan lagu tentang penolakan terhadap reklamasi dan perjuangan Marsinah. DIAN YULIASTUTI

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus