Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Puisi di Hari Kemerdekaan

Sejumlah penyair dan tokoh publik membacakan puisi tentang Indonesia. Merawat puisi sekaligus jiwa nasionalisme.

22 Agustus 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sutardji Calzoum Bachri dalam Malam Apresiasi Puisi 2019 di Auditorium Abdurrahman Saleh, RRI Jakarta, Sabtu malam lalu. DOK.RRI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kami tidak menulis di atas kertas kosong
Kami tidak mengguratkan kata-kata di atas kertas hampa makna
Kami menulis di atas tulisan
Kami tulis puisi kami di atas teks Proklamasi Sukarno-Hatta
Di atas larik dan bait Sumpah Pemuda
Di atas keseluruhan ruh dan jiwa yang ditulis Tuhan lewat ayat dan kitab-kitab-Nya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sutardji Calzoum Bachri membacakan puisi berjudul Menulis itu dengan suara agak serak dan intonasi agak cepat di Auditorium Abdurrahman Saleh, RRI Jakarta, Sabtu malam lalu. Memakai topi dan jaket, ia tampil energetik. Suaranya terkadang terdengar seperti menyanyikan puisi yang ditulis pada tahun lalu itu, sementara pada waktu yang lain dia melafalkannya dengan nada suara rendah dan tinggi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada malam yang bertepatan dengan peringatan hari ulang tahun kemerdekaan RI itu, Sutardji tampil mempesona. Tepuk tangan berkali-kali menggema. Selama sekitar 20 menit, ia membacakan sejumlah puisi, di antaranya Tapi, Tanah Air Mata, La Noche de Las Palabras, Jadi, dan Wahai Pemuda Mana Telurmu. Apa gunanya merdeka/Kalau tak bertelur/Apa gunanya bebas/Kalau tak menetas?//Wahai bangsaku/Wahai pemuda/Mana telurmu?...

Selain membacakan puisi karyanya sendiri, Sutardji membacakan puisi Aku karya Chairil Anwar. Puisi itu dibacakan dengan gaya menyanyi, yang diawali dengan meniup harmonika. Dia juga sempat menyanyikan lagu Nissa Sabyan: Abtahiya Wassalam (Deen Assalam). "Kemerdekaan itu kosong. Artinya, harus diberi makna, baru berisi. Merdeka saja tidak cukup," kata Sutardji ketika ditanya pembawa acara tentang arti merdeka bagi seorang sastrawan.

Dalam acara Malam Apresiasi Puisi 2019 itu, tampil sejumlah penyair dan tokoh. Pembacaan puisi diiringi oleh musikus Dwiki Dharmawan dan diselingi dengan lagu-lagu yang dibawakan oleh penyanyi Debora. Selain Sutardji Calzoum Bahri, D. Zawawi Imron, Yenny Wahid, Sandiaga Uno, dan Direktur Utama LPP RRI Mohammad Rohanudin ikut tampil dalam acara itu.

Rohanudin, menurut D. Zawawi Imron, menulis puisi sejak muda. "Tiga tahun belakangan ini ia kembali bergairah berpuisi," ujar Zawawi kepada Tempo sebelum acara dimulai. Zawawi dan Rohanudin sama-sama berasal dari Madura. Ketika muda, Rohanudin mengaku belajar menulis puisi dari Zawawi. "Saya belajar menulis puisi dengan Pak Zawawi," ujar dia.

Malam itu, Rohanudin menampilkan empat puisi. Dua puisi dibacakannya langsung, satu dinyanyikan oleh penyanyi Debora, dan satu lagi ditampilkan dalam bentuk rekaman video saat Rohanudin membacakan puisi dalam Konser Kebangsaan di Bali, akhir 2018.

Puisi berbentuk rekaman video itu berjudul Jangan Ada Rasa Lain Selain Aroma Indonesia, yang antara lain berbunyi: Karena Indonesia adalah tarian bali/Wanita jelita berkulit sawo matang/Gemulai di antara kerlipan mahkota emas/Dan kilauan kemban warna-warni/Yang diterbangkan hanya dari jari tangannya/Menebar cinta Bali

Adapun Zawawi membacakan puisi panjang berjudul Keroncong Air Mata. Puisi itu antara lain berbunyi: Bismillah awal alkisah/Sebuah negeri kaya yang gemah ripah/Serangkai kepulauan/Yang rahim ombaknya menyimpan dahaga, rindu, dan mutiara/Kalau di situ ada orang bertanya:/"Dimanakah janji hari esok sembunyi?"//

Sebelumnya, Yenny Wahid membacakan puisi berjudul Rumah. "Puisi ini ditulis oleh adik saya, Inayah Wahid," ujar dia. Yenny ditemani putrinya yang berusia 9 tahun, yang menyanyikan lagu Indonesia Tanah Air Beta sebagai pengiring sebelum Yenny berpuisi. Indonesiaku adalah rumah/Untaian pulau, gunung, dan sawah/Dijalin rapi oleh samudra/Yang membentang luas hingga cakrawala/

Sementara itu, Sandiaga Uno antara lain membacakan puisi berjudul Indonesia Tumpah Darahku karya Muhammad Yamin. Sandiaga pun melafalkan puisi itu: Bersatu kita teguh/Bercerai kita runtuh//Duduk di pantai tanah yang permai/Tempat gelombang pecah berderai/

Berbuih putih di pasir terderai/Tampaklah pulau di lautan hijau/Gunung-gunung bagus rupanya/Dilingkari air mulia tampaknya/Tumpah darahku, Indonesia namanya…

Ketua panitia Malam Apresiasi Puisi, Enderiman Butar Butar, mengatakan acara ini diselenggarakan untuk menjaga, merawat, mengembangkan, dan menumbuhkan minat generasi muda untuk mencintai puisi. "Untuk menanamkan jiwa nasionalisme dan rasa memiliki persatuan dan kesatuan untuk NKRI," ujar Kepala RRI Jakarta ini. Pentas puisi ini, menurut dia, sudah beberapa kali diadakan. Dalam waktu dekat, acara serupa akan digelar di Surabaya. MUSTAFA ISMAIL

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus