Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mustofa W. Hasyim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
YANG DATANG DI BUKIT
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yang datang di bukit. Maghrib siapa?. Menyeret bayang-bayang. Siang. Betapa ranjau. Menjadi jejak. Janji. Wajah yang dibasuh embun. Mencari uap sunyi untuk dilagukan. Rindu pada Subuh meniti mimpi. Butir-butir doa berjatuhan di lantai malam.
Sebutlah namamu, siapa saja. Katakan apa maksudmu datang ke bukit sunyi ini? Mencari diriku atau mencari dirimu sendiri dengan menatap bayang-bayang tersisa? Mengapa hidup harus mencari bukan dicari? Apakah kau sudah siap dengan pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-jawaban?
Bukit ini tidak pernah pergi dan mengembara. Yang bergerak mendekat dan menjauh hanya kenangan. Riwayat batu yang dulu terendam lautan purba, dengan kerang mungil yang berubah kapur, musim gempa dan bunga karang mengering membentuk lukisan rumit seperti awan bergolak oleh badai.
Datanglah untuk yang pertama kali berziarah ke sini, kau akan menemukan kemurnian waktu. Atau datanglah untuk yang terakhir kali ketika pepohonan dan rumput menunggu musim untuk dibangkitkan setelah api menyiksa dan menghabiskan bekas tangan dan kaki manusia di sekujur tubuh bukit ini.
Atau kau datang tanpa waktu dan tanpa tanggal, tentu tanpa catatan luka dan harapan? Sanggupkah kau memikul beban semesta seberat ini? Jangan berlagak jadi malaikat kalau engkau manusia biasa. Engkau memerlukan nafas dan cahaya mata untuk sekadar melangkah, memeriksa kemungkinan-kemungkinan.
Bukit ini, kemungkinan-kemungkinan, menunggu dengan setia.
2020
Agung Wicaksana
Di Kedai Kok Tong
Sebelum cerita-cerita itu mengendap
dan tak kau temui siapa yang memulainya
Telah aku katakan padamu
Mereka merupakan kita yang masuk untuk
membanting piring dan menetak cangkir
mendebam meja ini dengan pitam menanjak
Mereka anggap kita memeras latak
lalu membalurkannya pada sigaret dalam stoples kaca
sebagai hangus pohon-pohon mereka
Adapun mereka yang lain, yang bukan merupakan kita,
menimbun pundi ke arah sungai
lantas memblokade jalan pulang
biar dingin perut-perut, agar tambun semata kembung
Tersiar ke segala penjuru,
kemakmuran menaungi seisi kampung
Ajaklah ke kedai ini
Julurkan karpet lembut yang kau rajut
dari kulit seekor lembu. Walau ketakutanmu seperti gembala
hendak diseruduk domba-dombanya
Sebelum musim-musim menjadi uap yang dibumbungkan
lubang-lubang penyaring
Sajikan setangkup roti tawar
dengan madu lebah liar yang masih kau tangkar
Seumpama terbentang tali tambang
sejatinya kau tidak memperebutkan ujung atau pangkal
Setelahnya akan kau temukan mereka yang merupakan kita
: Penanam kopi menyirami kebunnya
bukan dengan air mata. Pemanggul benih
menyeruput hangat secangkir kopi tanpa
merundukkan punggung seraya telapak tangannya menengadah
Di Siantar yang tak pernah purna
kau menemuiku bagai janur menggulung
Mereka papah diriku, memendam senyumku
sebagai lekuk yang melekat pada sisi cangkir
Ragaku menyerbuk robusta
Seduhlah demi luruh segala luka
yang berkunjung ke kedai kita, padamu telah kupercaya
2020
Mustofa W. Hasyim, kelahiran Yogyakarta, 17 November 1954, adalah Ketua Studio Pertunjukan Sastra (SPS) Yogyakarta. Buku puisinya, antara lain, Pidato yang Masuk Surga.
Agung Wicaksana lahir di Surabaya, Jawa Timur, 15 September 2000. Buku puisi mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, ini bertajuk Fanatorium.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo