Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua puluh delapan bingkai lukisan goresan bolpoin itu bak urutan sebuah cerita dengan fokus utama tubuh renta dan rumpun bambu. Di urutan berikutnya, obyek lukisan beralih pada gergaji dan bendho (sabit besar) membelah batang-batang bambu yang dipotong tiap empat buku. Selanjutnya lelaki tua dengan tatapan mata tajam menganyam iratan bambu itu menjadi sebuah keranjang bunga.
Perupa Joko Pramono mengakui bahwa lukisan berjudul Sarkalam Series yang dia pamerkan di Visma Gallery Surabaya pada 2-17 Desember 2016 itu mengisahkan pahit getir sosok Sarkalam, warga Kelurahan Jeruk, Kecamatan Lakarsantri, wilayah pinggiran Surabaya. Lelaki 83 tahun itu, kata Jokpram—begitu perupa 41 tahun itu akrab disapa—menjadi penganyam bambu sejak zaman Belanda untuk menopang hidup.
Kerajinan tangan itu dia jual ke Pasar Kembang, yang terletak di tengah Kota Surabaya, dengan berjalan kaki. Namun Sarkalam kian terdesak. Selain rumpun bambu di kampungnya semakin sedikit karena lahannya dijadikan permukiman, keranjangnya tergeser barang serupa dari plastik dan lebih praktis. "Saya meminjam kisah Sarkalam. Kalau lukisan ini ada yang laku, hasilnya kami bagi dua," ujar Jokpram, Ahad, 4 Desember 2016.
Jokpram mengaku mulai tertarik menggunakan bolpoin sejak 1998. Lulusan sekolah seni di Surabaya itu awalnya pelukis kanvas. Namun, dalam proses pencarian identitas, Jokpram menemukan kecocokan pada bolpoin. "Saya merasa menemukan ciri khas setelah pindah ke bolpoin," ujarnya.
Perupa asal Surabaya itu 1 dari 16 seniman yang memamerkan karya dalam pameran berjudul "Regh Uregh" tersebut. Selain dia, ada Anis Kurniasih, Ari Wuryanto, Aris Prabawa, Gilang Nuari, Hanura Hosea, Indarto Sukmono, Kara Andarini, Luna Dian Setya, Made Wianta, Melati Suryodarmo, Michael Binuko, Oik Wasfuk, Rega Ayundya Putri, Ugo Untoro, dan Usman Supriadi. Total ada 120 karya yang dipajang.
Pemilik Visma Gallery, Irawan Hadikusumo, menuturkan, pameran dengan medium bolpoin baru pertama kali itu diselenggarakan di Indonesia. Gagasan menggelar pameran, kata dia, terlontar 10 bulan lalu saat ia sedang berdiskusi dengan kurator Hendro Wiyanto. Menurut Irawan, bolpoin adalah suatu medium yang jarang diamati dan dicermati dalam seni rupa. "Kami lalu mencari perupa yang selama ini pure konsisten memakai bolpoin," ujar Irawan.
Irawan mengaku tak menyangka dalam proses mencari seniman bolpoin itu mendapat kejutan-kejutan tak terduga. Misalnya, dia menemukan seniman senior di Bali, Made Wianta, dan Ugo Untoro, yang telah lama aktif mencorat-coret dengan bolpoin. Ia juga bertemu dengan Melati Suryodarmo, seniman performance terkemuka yang menggunakan bolpoin untuk membuat studi-gambar ide-ide pertunjukannya.
Kejutan berikutnya ialah saat perupa-perupa Indonesia yang menetap di luar negeri, Hanura Hosea (Koln, Jerman) dan Aris Prabawa (Lismore, Australia), juga mengirimkan karya. Mereka ternyata tetap bereksperimen menggunakan bolpoin. Dan gambar bolpoin mereka tak kalah hebat dibanding gambar mereka di kanvas. Aris Prabawa, misalnya. Dia dikenal dulu melukis isu kemanusiaan tapi dengan cara menarik. Sering ia menampilkan sosok amorf, antara binatang melata, burung, dan manusia. Dalam pameran ini, ia menyajikan enam karya. Tiga di antaranya bertema militer, berjudul Dwi Fungsi, Masalah Utama, dan Ruwet Kepala.
Anggota kelompok seniman Taring Padi pada 1998 itu menggambarkan sosok-sosok militer sebagai agen utama kekuasaan ataupun individu dengan kerunyaman hidupnya. Tema sosial-politik yang digambarkan Aris, menurut Hendro Wiyanto, adalah pusat perhatian kolektif tandingan terhadap hegemoni. "Dengan medium bolpoin, saya lebih bebas mengeksplorasi ide. Hasilnya juga lebih detail," kata Aris.
Aris mengatakan tema-tema militerisme yang dia tuangkan dalam lukisan tidak datang tiba-tiba. Sejak masuk Institut Seni Yogyakarta pada 1995, ia telah menggaungkan isu ketidakadilan oleh pemerintah Orde Baru, khususnya hegemoni militer di segala bidang. "Bersama kawan-kawan seniman, saya melawan antidemokrasi itu dengan musik dan gambar," ucapnya.
Aris berujar pernah punya pengalaman buruk dengan tentara pada 1997. Ketika itu dia sedang bermain musik bertema kritik sosial bersama teman-temannya di kampus Universitas Pembangunan Nasional Yogyakarta. Tiba-tiba belasan tentara naik panggung dan membubarkan acara. Aris mengaku dipukuli wajahnya hingga berdarah-darah. "Saya diselamatkan panitia," ujar laki-laki yang sejak 2002 menetap di Australia itu.
Setelah pindah ke Australia, Aris tetap menyuarakan isu tentang kemanusiaan dan kerusakan lingkungan melalui gambar. Hal itu terlihat dalam salah satu karya yang dipamerkan berjudul Menyambung Hidup. Aris memvisualisasinya dengan perahu kayu kecil yang dijejali imigran. Di atas perahu tersebut melintas rombongan ribuan burung yang bermigrasi ke tempat lain. "Di Australia, isu tentang imigran dan lingkungan hidup sangat luar biasa," ujarnya.
Selain menampilkan seniman yang telah malang-melintang di dunia seni rupa, pameran "Regh Uregh" menghadirkan perupa bolpoin muda, Rega Ayundya Putri, 27 tahun, mahasiswa strata dua seni rupa Institut Teknologi Bandung. Berbeda dengan karya lain yang berpigura, Rega memajang lukisannya di atas Canson berukuran 150 x 70 sentimeter tanpa bingkai. "Saya menggambar pakai bolpoin standar yang murahan," katanya.
Rega menuturkan, butuh waktu tiga bulan untuk menyelesaikan dua lukisan berjudul To Internally and Beyond #3 dan #1. Menurut dia, lukisan dengan guratan-guratan rumit dan njlimet itu ialah visualisasi dari foto mikroskopik organ tubuh manusia. "Kalau di-zoom, buat saya di dalam tubuh manusia itu terdapat sekumpulan ornamen," ujarnya.
Rega mengimbuhkan, sejak kuliah strata satu di kampus yang sama, dia mengaku sering secara spontan menggambar pola seperti itu. Dalam pengayakan literatur obyek selanjutnya, Rega merasa menemukan referensi bahwa apa yang dia corat-coret secara spontan itu ternyata mirip ornamen tubuh manusia. "Dari situ saya kembali ke dalam dengan mengulangi sesuatu yang paling primitif: garis-garis ornamen yang ada di tubuh manusia," tuturnya.
Hendro Wiyanto menilai citra gambar Rega membawa manusia kepada dunia renik, mata rantai, dan citra molekular yang tidak kasatmata. Bagi Rega, kata Hendro, obyek bawah laut, organisme mikro, dan foto mikroskopik organ tubuh manusia adalah rujukan visual yang tidak terbatas.
Menurut Irawan Hadikusumo, seni rupa bolpoin sebenarnya bukan hal baru dan asing dalam kancah seni rupa dunia. Dalam perjalanannya ke Amerika Serikat belum lama ini, Irawan menemukan dua buku yang mengupas khusus tentang the art of ballpoint di toko buku Barnes & Noble dan Harvard Book Store. Pencarian kurator juga menemukan beberapa karya gambar maestro Sudjojono yang menggunakan bolpoin. "Sebenarnya media-media pinggiran ini potensial sekali, tapi jarang diamati dan dicermati dalam seni rupa," ujar Irawan. KUKUH S. WIBOWO
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo