Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GEMPA bumi di Kabupaten Pidie Jaya, yang menewaskan hampir seratus orang pekan lalu, sekali lagi menunjukkan kita tak siap menghadapi bencana yang mengintai setiap saat. Sebagai negara kepulauan yang diapit dua samudra, sekujur Indonesia menyimpan banyak potensi bencana alam: letusan gunung berapi, tsunami, gempa bumi.
Penanggulangan bencana, karena itu, semestinya diberlakukan secara nasional. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana telah memerintahkan pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Lembaga pemerintah nonkementerian ini punya data berjibun untuk bekal memetakan potensi bencana alam di tiap daerah.
Kabupaten Pidie Jaya di Aceh termasuk wilayah tengah provinsi itu yang jauh dari laut. Tsunami dahsyat pada 2004 memberikan pelajaran bahwa pengetahuan akan bencana ini merupakan hal terpenting agar menumbuhkan kesiapan untuk menghadapinya. Tapi yang terjadi, fokus pada tsunami, lupa bahaya lain yang tak kalah dekat: gempa.
Pada 1967, Kabupaten Pidie Jaya diguncang gempa dengan kekuatan dan episentrum yang tak jauh berbeda dengan lindu pekan lalu, yakni magnitudo 6,2. Semestinya data ini memberikan peringatan yang cukup agar kita mewaspadainya. Gempa terjadi akibat pergeseran lempeng bumi. Ini bisa diperkirakan pergerakan dan benturannya secara ilmiah.
Meski mustahil memperkirakan dengan akurat kapan lempeng itu berbenturan, pemerintah dan masyarakat seharusnya bersiap jika tubrukan antarlempeng itu terjadi. Yang bisa kita lakukan adalah mencegah lebih banyak korban. Salah satu cara adalah dengan sosialisasi, mengajari khalayak di sana bila gempa benar terjadi.
Di Aceh, sejak tsunami 2004, pengetahuan tentang tsunami dan cara menghadapinya telah masuk kurikulum. Namun, seperti penelitian Program Magister Kebencanaan Universitas Syah Kuala pada 2014, pelajaran tentang bencana belum diterapkan menyeluruh. Sekolah dasar hingga menengah atas telah memberikan muatan lokal tentang bencana tapi tak terintegrasi dalam seluruh mata ajar.
Hanya beberapa sekolah yang menerapkannya. Dalam penelitian tersebut tergambar siswa yang diajari menghadapi bencana punya pengetahuan cukup dan kewaspadaan tinggi terhadap tsunami atau gempa bumi. Hal sebaliknya terlihat di sekolah yang tak memberikan pelajaran ini.
Ini terjadi karena kewaspadaan terhadap bencana bukan menjadi program nasional. Pemerintah tak mewajibkan sekolah memberikan pelajaran tambahan mengenai hal ini, dan tak mencantumkannya dalam kurikulum yang wajib ada dalam semua pelajaran di pendidikan dasar. Di Banten, BNPB bahkan baru mengimbau sekolah memasukkan bencana dalam pelajaran.
Dengan otonomi, pemerintah mendelegasikan kewajiban ini kepada pemerintah daerah. Walhasil, pengetahuan akan bencana dan kesiapan menghadapinya tidak merata di seluruh Indonesia. Undang-Undang Penanggulangan Bencana memang mencantumkan pengetahuan dan pendidikan ini sebagai hak masyarakat, tapi tak ada penjelasan spesifik dan lebih operasional agar hak tersebut terpenuhi.
Undang-undang ini lebih berfokus mengatur penanggulangan bencana setelah kejadian. Saatnya Dewan Perwakilan Rakyat memikirkan untuk merevisinya agar penanggulangan bencana dimulai sejak dalam pikiran: kewaspadaan setiap orang untuk menghadapinya. Jangan sampai kita baru sadar dan memetik pelajaran setelah banyak nyawa melayang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo