Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Amnesti Pajak Hilang Fokus

Pemerintah mesti konsisten dalam membidik target amnesti pajak. Perlu dicari cara lain untuk mengatasi defisit anggaran.

12 Desember 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMERINTAH sebaiknya menegaskan prioritas dalam menjalankan program amnesti pajak. Jika sasarannya adalah mereka yang memarkir dana di luar negeri—seperti semula dicanangkan—seharusnya pemerintah tak perlu memperluas target ke pengusaha menengah dan kecil, seperti belakangan gencar dipidatokan.

Sampai berakhirnya periode pertama pengampunan pajak pada akhir September lalu, sebetulnya Kementerian Keuangan boleh menepuk dada. Dengan uang tebusan hingga pekan lalu mencapai Rp 100 triliun (berdasarkan surat setoran pajak), deklarasi harta Rp 3.991 triliun, dan repatriasi Rp 137 triliun, Presiden Joko Widodo tak berlebihan ketika mengatakan program pengampunan pajak kita "paling sukses dalam sejarah dunia".

Tapi itu tak cukup. Fakta lain menyebutkan bahwa kepesertaan dalam program itu masih rendah: baru 2,5 persen dari total sekitar 20 juta wajib pajak. Presiden berharap perolehan pada periode kedua, yang berakhir bulan ini, bisa melonjak. Untuk itu, dia bertekad terus berkeliling ke tengah masyarakat untuk mengkampanyekannya.

Harapan itu bisa dimaklumi jika dikaitkan dengan target total uang tebusan sebesar Rp 165 triliun dan repatriasi sekitar Rp 1.000 triliun. Yang tak sepenuhnya jelas adalah prioritas pemerintah: menyelamatkan anggaran atau mengamankan neraca pembayaran. Satu dari dua hal inilah yang menentukan target mana yang paling masuk akal dikejar: uang tebusan atau dana yang dipulangkan.

Bagaimanapun, dua hal itu berbeda substansinya dan tak bisa dicapai bersamaan. Berharap jumlah uang tebusan yang besar artinya dana yang diparkir di luar negeri tak bisa sepenuhnya dipulangkan. Begitu pula sebaliknya.

Berharap pada repatriasi, kampanye program semestinya diarahkan pada para pemilik dana yang disimpan di luar negeri, bukan kalangan usaha menengah dan kecil. Yang juga penting disadari: kalaupun jumlah dana yang dibawa pulang bertambah besar, instrumen investasi belum sepenuhnya bisa menyerap dana segar itu. Kita tahu, "uang tak mengenal kebangsaan". Pemilik uang akan sungkan membawa dana ke dalam negeri bila instrumen investasi tak disediakan pemerintah.

Jika pemerintah secara realistis hanya bisa berharap pada bertambahnya uang tebusan, yang harus dipikirkan ulang adalah apakah angka Rp 165 triliun memang bisa dicapai atau tidak. Periode kedua tinggal dua pekan lagi. Melihat tren yang datar-datar saja sejak akhir September lalu, lonjakan tebusan di saat-saat terakhir seperti pada periode pertama tampaknya jauh panggang dari api.

Sejauh ini jumlah uang tebusan memang sudah tercapai 60 persen, dan masih ada waktu hingga Maret tahun depan. Tapi supaya anggaran sepenuhnya aman, dan politik tak terguncang-guncang, ada baiknya pemerintah mulai memikirkan cara lain untuk menambal defisit.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus