Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Noda tinta! Ada noda tinta di tangan kananmu!
Ucapan terkejut sang istri yang tahu bahwa di tangan suaminya ada bercak tinta pada akhir pementasan drama Suara-suara Mati di Teater Salihara, Jakarta, Kamis dua pekan lalu, sesungguhnya adalah clue. Kalimat itu adalah kunci. Melalui kalimat tersebut, penonton bisa langsung terperenyak dan sadar bahwa kematian bayi dalam rumah tangga suami-istri itu bukanlah akibat kecelakaan yang tak sengaja. Bayi itu dibunuh. Tapi keseluruhan suasana yang terbina sejak awal kurang sanggup menggumpalkan "adegan tinta" itu menjadi klimaks penyingkap.
Naskah Manuel van Loggem, Suara-suara Mati, dikenal betul oleh Slamet Rahardjo. Naskah mengenai sebuah keluarga yang terundung konflik karena selama setahun kehilangan bayi ini disajikan Slamet dengan muka-muka baru Teater Populer. Ia sendiri berperan sebagai suami; sementara istri: Artasya Sudirman; sahabat: Jack Rachadian; dan pengantar pos: Eduwart Manalu.
Ini adalah cerita suami-istri yang merasa tiap malam didatangi tangisan bayi. Penonton mendengar tangisan dan suara ketukan-ketukan pintu. Suara-suara itu sebenarnya tidak ada, hanya dalam pendengaran istri (ketukan-ketukan pintu ini malam itu dilakukan kru Teater Populer, tapi terasa terlalu keras; seolah-olah bukan suara tangan, melainkan pukulan barang ke pintu). Bayi sendiri dimaksudkan oleh Manuel van Loggem sebagai orang keempat, tokoh yang tidak tampak tapi "menghantui" batin dan pikiran suami-istri tersebut.
Ini sejatinya drama psikologis. Namun terpeleset sedikit bisa menjadi suatu drama yang mengarah ke semihoror. Arwah bayi dan ketukan atau suasana ruang tamu bisa diseram-seramkan. Tapi tentu itu tak terjadi dalam penyutradaraan sutradara sekaliber Slamet. Naskah realis Manuel van Loggem ini sendiri bisa menjadi mudah bila dialog para pemainnya yang mengarah ke kematian bayi dapat ditangkap problematikanya sejak awal. "Bukankah, kata dokter, anak itu mati lemas karena mukanya tertelungkup bantal?" kalimat sang suami di pertengahan drama ini, misalnya, bila senyampang saja didengar penonton, bisa menyebabkan konteks hilang.
Karakter sang istri adalah seorang perempuan muda yang merasa bersalah karena dikejar menjadi penyebab kematian bayinya. Ia menganggap dirinya lalai membiarkan anaknya terbekap bantal. Maka, tiap kali mendengar ketukan (halusinasi), ia selalu gugup, kehilangan kontrol, dan kemudian limbung tanpa arah. Ketukan-ketukan pintu dan suara tangis bayi itu menjadikannya seseorang yang dikejar-kejar dosa. Masalahnya, permainan Artasya Sudirman tidak memperlihatkan bagaimana ia adalah perempuan yang dikejar-kejar perasaan bersalah. Yang tertangkap hanyalah kepanikannya.
Dan munculnya Jack Rachadian, yang memerankan sahabat, bisa menambah bingung bagi penonton yang tak menangkap sejumlah clue penting sedari awal. Jack muncul di panggung dengan memainkan stik kayu. Entah kenapa sosok sahabat ini oleh Slamet Rahardjo diperagakan demikian (adakah ini diasosiasikan dengan ketukan pintu?). Sahabat adalah tokoh vital, karena dialah orang ketiga. Bayi yang mati itu adalah anak hasil perselingkuhan antara dia dan sang istri.
Cuma, disayangkan, dialog dan interaksi yang dilakukan antara Artasya dan Jack tidak membawa kita ke sebuah asosiasi bahwa pernah terjadi hubungan perselingkuhan antara sang istri dan sahabat sampai melahirkan bayi. Intonasi dan artikulasi dialog Artasya dan Jack sama keras dan karakternya ketika Artasya berbicara dengan Slamet Rahardjo. Seolah-olah tidak ada yang ditutupi atau disembunyikan antara sang istri dan sahabat. Seolah-olah tidak ada rahasia di antara mereka.
Sang istri dikisahkan sengit dan emosional melihat lelaki yang pernah berselingkuh dan memberinya anak itu datang ke rumah. Ia menuduh lelaki itulah yang selama ini menulis surat misterius tanpa nama kepadanya. Surat itu datang secara teratur lewat pos, yang kemudian dibawa seorang bujang (tukang kebun) ke dalam rumah (entah kenapa cara berjalan bujang aneh, seperti dikarikaturalkan).
Surat yang datang terus-menerus selama setahun itu pada intinya memberinya cap sebagai pembunuh. Surat-surat itulah yang makin meyakinkannya bahwa memang betul dialah yang menewaskan bayi. "Surat-surat dari kau! Alangkah sedihku bahwa surat-surat itu dari satu-satunya orang yang sebenarnya dapat menolongku."
Yang baru dari penggarapan adalah ilustrasi gerak tari dan adanya video mapping. Tokoh istri sesekali melepaskan segala ketertekanannya dengan cara menari. Ilustrasi gerak yang ditata Elly Luthan memang membuat pertunjukan ini lebih menarik. Dengan gerak, sang istri seolah-olah melepaskan seluruh beban batinnya. Set yang mengandaikan ruang interior itu juga dilengkapi gantungan kain dari langit-langit. Penonton mungkin bertanya-tanya, hal itu untuk apa, karena sejak awal tak terlihat fungsinya. Ternyata itu untuk sorot wajah bayi. Secara estetis menarik. Tapi baik gerak tari maupun video bayi sesungguhnya hanya sampiran.
Selama pertunjukan, Slamet Rahardjo menyeret-nyeret kakinya. Ia menampilkan akting seorang suami yang terkena stroke. Tubuhnya lumpuh sebagian. Yang normal hanya tubuh sebelah kiri. Di meja, ia menulis menggunakan tangan kiri, karena tangan kanannya tidak berfungsi. Selama satu tahun ia mencoba menulis dengan tangan kiri dan mengatakan tulisannya jelek, karena memang tidak terlahir kidal.
Tapi, tatkala sang istri menemukan ada tinta di tangan itu, terbukalah bahwa kelumpuhan yang diderita suaminya itu hanya pura-pura. Terbongkarlah bahwa selama ini sang suamilah yang menulis surat. Dia menulis surat dengan tangan kanan. Tinta itu adalah bukti. Dia ingin bertubi-tubi meneror istrinya sendiri. Menyiksa dengan mengatakan bahwa sang istri pembunuh bayi. Dia mau menyakiti batin istrinya tanpa ampun, sebagai pembalasan atas rasa cemburunya.
Slamet Rahardjo bermain bagus. Kemunculan lagi Teater Populer ini perlu disambut dengan bahagia. Slamet berhasil berperan sebagai seorang suami yang muram, orang tua dengan watak yang ingin selalu dikasihani. Tapi di akhir itu belum jelas benar bahwa cacatnya hanya muslihat. Setelah ketahuan tangan kanan sang suami bertinta, tangan kanan itu bergerak, menuding sang istri dan sahabat. Tangan yang selama ini dikatakannya lumpuh ternyata normal. Seharusnya itu membuat kita langsung blesss... bahwa dialah ternyata sang pembunuh bayi. Tapi ending itu tidak membekas. Seno Joko Suyono, Moyang Kasih Dewimerdeka
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo