Ruang di lantai tiga adalah bagian paling "angker" dari kantor Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara. Di lantai teratas gedung bergaya kolonial itu, di Jakarta Pusat, anggota Komisi menanyai para pejabat negara yang diduga terlibat korupsi.
Setelah para hakim kasus Manulife dan Gubernur Jakarta Sutiyoso, kini tak kurang dari 32 pejabat menunggu giliran dipanggil. "Bila bukti penyelewengan itu cukup, Komisi akan menyerahkan berkasnya ke Kejaksaan Agung dan kepolisian," kata Yusuf Syakir, Ketua Komisi.
Ibarat ketel air, komisi yang bertugas memberantas korupsi di kalangan penyelenggara negara ini memang sudah mengepul dan mendenging-denging. Pekan lalu mereka juga menetapkan tenggat paling akhir bagi anggota dewan legislatif (DPR/MPR) untuk mengembalikan formulir daftar kekayaan: yakni 5 September pekan lalu. "Bila tidak terkumpul seminggu setelah deadline, kami akan mengadukan mereka ke polisi," kata Abdullah Hehamahua, Ketua Subkomisi Legislatif.
Abdullah memang punya alasan untuk geram. Sejak formulir dibagikan Maret 2001, hingga minggu lalu masih ada 155 anggota legislatif pusat yang belum mengembalikan lembaran itu. "Alasan sibuk jelas mengada-ada, karena formulir sudah dibagikan sejak satu setengah tahun lalu. Masa, mengisi 32 lembar saja nggak bisa," katanya.
Menurut Syakir, toleransi bagi anggota dewan sudah lebih dari cukup. "Seharusnya mereka sudah mengumpulkan formulir yang dibagikan pada pertengahan tahun 2001," katanya. Komisi, menurut Syakir, juga sudah memberikan tiga kali peringatan, yang terakhir bulan lalu. Toh, tidak mempan juga. "Saya hanya menjalankan undang-undang. Jika peraturan itu mewajibkan pejabat melaporkan kekayaan dan orangnya menolak, saya harus mengadu ke siapa? Kan ke polisi." Syakir memiliki dasar hukum, yakni Pasal 216 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang perbuatan melawan hukum.
Menurut Abdullah, anggota DPR/MPR yang membandel sama saja melanggar ketetapan MPR tentang penyelenggara negara yang bersih, yang dibuatnya sendiri pada 1998. Ketika dibuat, ketetapan itu dipandang sebagai salah satu tonggak penting pemberantasan korupsi—praktek yang sangat lazim pada zaman Soeharto.
Pernyataan Abdullah dan Syakir memang keras. Tapi benar-benar beranikah komisi itu melaporkan para pembandel ke polisi? Masih harus ditunggu pekan ini. Tapi, suatu hal yang pasti, komisi ini belum melaporkan satu pun pejabat yang sudah diperiksanya di lantai "angker" kantor mereka. Syakir memang mengakui bahwa komisinya tidak terlalu bergigi. "Bahkan ada orang yang mengusulkan agar komisi ini dibubarkan."
Kerja komisi beranggotakan 35 orang ini memang sangat berat. Komisi itu diresmikan Presiden Abdurrahman Wahid pada Januari 2001 dan akan berakhir usianya pada 2005. Mereka bertugas memeriksa tak kurang dari 60 ribu daftar kekayaan penyelenggara negara. Sasarannya adalah mendata kekayaan presiden dan wakilnya, menteri, gubernur, bupati, jaksa, pejabat badan usaha milik negara dan daerah, serta anggota DPR pusat maupun daerah.
Komisi yang dibentuk atas dasar undang-undang itu sebenarnya jelas memiliki landasan hukum. Apabila terdapat kejanggalan dalam daftar kekayaan, Komisi harus melaporkan ke kejaksaan atau polisi. Namun, pada kenyataannya, komisi ini tidak mendapat rasa hormat yang layak. Dua bulan setelah komisi ini membagikan 9.000 formulir, misalnya, kertas isian yang dikembalikan tidak mencapai 6 persen atau hanya 500 lembar. Bahkan setelah enam bulan, baru 10 persen yang dikembalikan.
Tugas berat, tidak dihargai, dan kemampuan tempur pun lemah. Komisi ini hanya memiliki sedikit anggota. Bandingkan dengan komisi serupa di Singapura, yang memiliki anggota 1.200 orang. Kewenangan badan antikorupsi di Hong Kong dan Singapura pun besar, termasuk bisa memerintahkan bank untuk membeberkan rekening pribadi pejabat dan menyadap telepon pejabat yang dicurigai. Sedangkan komisi di Indonesia hanya berwenang mencatat kekayaan dan menanyai pejabat.
Padahal, dari komisi itulah sebenarnya citra Indonesia sebagai negeri paling korup sedunia bisa diperbaiki. Benarkah memberantas korupsi di Indonesia adalah usaha yang sia-sia belaka?
Bina Bektiati, Arif Kuswardono, Priandono (Tempo News Room )
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini