TULISAN William Embang dalam Rubrik Komentar, TEMPO No. 31 Thn.
VIII, 30 September 1978, tentang bis air yang kurang cocok untuk
kondisi perairan (sungai) di Kalimantan, menarik perhatian.
Sebab Riau pun, dengan kondisi perairan (terutama sungai)
seperti yang kita dapati sekarang ini, akan menghadapi masalah
dan hambatan yang kurang lebih tak banyak bedanya. Malah pada
beberapa hal di perairan (sungai) tertentu di Riau kehadiran bis
air ini terasa "menggelikan".
Menurut buku petunjuk yang dikeluarkan LLSADF Riau, dan
dibagi-bagikan ketika meresmikan pemakaian bis air itu di
Pekanbaru bulan Agustus lalu, ada tiga jaringan perjalanan yang
akan ditempuh bis air kita yang molek itu:
A. Sungai Rokan dengan rute Sinaboi, Bagansiapi-api hingga Pasir
Pengaraian di pedalaman, pp.
B. Sungai Siak dengan rute Pekanbaru, Okura, Perawang, Buatan,
Siak, barangkali juga hingga ke Selat Panjang dan Bengkalis, pp.
C. Sungai Inderagiri dengan rute Taluk Kuantan, Rengat,
Tembilahan hingga ke Pasir Ringgit (Air Molek) pp.
Kemudian mari kita telaah hambatan yang akan dihadapi:
Ad. A. Sepanjang pengetahuan saya, Sungai Rokan bukanlah sungai
yang dapat dilayari sambil bersiul-siul oleh jenis kendaraan air
semacam bis yang 200 juta ini hingga ke pedalaman. Sebab:
1. Alur sungai yang selalu berpindah-pindah terutama di bagian
muara, sebagai akibat air pasang yang membawa lumpur yang entah
dari mana itu. Proses ini telah terjadi puluhan tahun. Alur
sungai tidak saja berpindah-pindah dalam jarak waktu tertentu,
tetapi juga kian menyempit dan daratan kian beringsut ke laut.
Pelabuhan Bagansiapiapi terkepung daratan-daratan baru ini dan
hanya bisa didekati ketika pasang penuh.
2. Sering terjadi pendangkalan (kerapkali kekeringan) terutama
sekali di pedalaman.
3. Kotor, tidak saja permukaan tetapi terlebih-lebih
simpang-siur dan silang sengketa tonggak di bawah air.
Bila rute mau dipertahankan, barangkali hanya terbatas pada
jaringan pelayaran: Sinaboi, Bagansiapiapi, Tanah Putih, Rantau
Bais, Rangau, Si Arang-Arang hingga ke Pujut. Sedang dari Pujut
hingga ke pedalaman (Pasir Pengaraian) baru bisa dilayari bis
air yang sekaligus juga ampibi: sewaktu-waktu bisa mengeluarkan
"roda" dan melacak dasar sungai yang dangkal/kering.
Tetapi pun kalau rute itu disunat, bukan kesulitan selesai.
Tambang (ongkos) terlalu tinggi: sekitar Rp 6000 s/d 8000.
Umumnya penumpang perahu bermotor (jenis kendaraan air yang
selama ini beroperasi di sepanjang sungai) adalah pedagang yang
dikenal sebagai "pedagang berbelok", pedagang kecil yang berjaja
pada hari-hari pekan di negeri-negeri yang saya sebut di atas.
Mereka barangkali lebih baik menumpang perahu bermotor yang
setia mengangkut mereka selama ini -- bukan saja bisa duduk,
tetapi bisa pula meluruskan badan dengan santai. Kalau begitu
keadaannya, bukankah bis kita yang 200 juta ini akan mengalami
kerugian terus-menerus.
Ada rute yang menarik -- ini kata saya saja -- yakni Dumai,
Senaboi, Bagansiapiapi, Pulau Halang, Tg. Kubu, Panipahan, pp.
Tapi saya ragu apakah bis kita mampu bersaing dalam masalah
tambang dengan perahu brmotor, yang sudah menjalani rute itu
dengan hanya Rp 1000 s/d Rp 2000 (Dumai-Bagansiapiapi) -- di
samping ada pula yang hanya membayar dengan mengucapkan "hallo"
saja.
Sedang pada ad.B persis seperti yang ditulis Saudara William
Embang dalam komentarnya. Sebab di Bagansiapiapi dan Pekanbaru
pun ada industri kapal kayu dan perahu bermotor.
Ad.C. Pada rute Taluk Kuantan-Rengat, orang lebih baik naik bis
beneran. Cepat dan hemat. Sedang Rengat-Tembilahan, bis air ini
akan bersaing dengan speed boat.
EDIRUSLAN PE AMANRIZA
Jl. Sudirman 163
Pekanbaru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini