WAKTU gong pertama berbunyi, deretan lilin yang memagari pentas
dinyalakan. Diiringi dentaman gong besar yang menyerakkan bunyi
bergetar merobek-robek pada buntutnya, muncullah Nyai Roro
Kidul. Di belakangnya menguntit 2 inang. Dengan pakaian
gemerlapan, kain terjurai panjang di antara ke dua kaki --
seperti busana arja (Bali) -- ia melangkah dari sudut arena ke
tengah. Sanggulnya menjulang seperti mentimun raksasa. Sudah
jelas maunya bikin suasana serem.
Inilah pertunjukan Ratu Kidul produksi PLT Bagong Kussudiardjo,
Teater Arena TIM, 7 dan 8 Juni yang lalu. Dengan penonton yang
padat, pertunjukan pendek itu digiring lagu-lagu dari tangan
Bagong sendiri serta konconya Muhardi. Bunyi yang terdengar
adalah kombinasi Jawa, Bali serta juga pukulan gendang Sumatera
Barat. Yang paling menonjol adalah, musik tidak lagi merupakan
ilustrasi yang berjalan sendiri. Musik sudah berkurang statusnya
hanya menjadi elemen pergelaran. Karenanya yang menonjol adalah
segi-segi dramatiknya dalam memberi suasana.
Basuki Abdullah
Cerita yang digarap memang menampilkan keseraman dan
keromantisan sang Nyai. Kali ini ia berhadapan dengan Sutawijaya
dalam peristiwa Babat Alas Mentaok. Kekera,san Ratu Kidul yang
misterius itu,pun asmaranya yang menggebu-gebu, dapat imbalan
yang lumayan dari sang pahlawan. Sutawijaya sempat memberikan
pantulan yang hangat buat penguasa laut selatan itu.
Tetapi pada akhir lakon, seorang lain telah muncul mendampingi
Sutawijaya, sehingga ratu yang aduhai tetapi terus-menerus
melotot sepanjang pertunjukan itu - jadi penasaran. Dengan
diiringi para pengikutnya, ia pun menghampiri Sutawijaya yang
sedang memeluk sang dara. Lalu Bagong cepatcepat muncul.
Pertunjukan itu selesai dengan titik yang terkatung-katung.
Dari segi penggarapan, Bagong telah berusaha mendramatisir
setiap adegan. Busana Ratu Kidul dibikinnya begitu rupa mewah,
seperti lukisan Basuki Abdullah kalau sedang memuja cewek.
Sementara Sutawijaya dan pemain-pemain lain, termasuk para
penabuh, bertelanjang dada. Ratu Kidul ditonjolkannya dengan
mematoknya secara masif - sementara pemain lain berseliweran
membuat fokus-fokus kecil. Ini taktik seorang pelukis yang
sedang berusaha melukis potret diri.
Bagong menghadapi para pemai:nnya tidak seperti dahulu lagi.
Sekarang ia amat rasionil. Jasmani para penari, tangan mereka,
pundak, jari, kaki, tidak lagi memiliki identitas pribadi.
Bagong memanfaatkannya secara visuil, untuk mendapat efek-efek
gambar yang memiliki berbagai variasi. Dari sana ia getarkan
irama, ia garap ruangan sehingga selamanya ada kejutan-kejutan
kecil yang mengalir terus-menerus sampai akhir lakon. Ia
kombinasikan unsur-unsur tari Jawa dan Bali serta juga Sumatera
Barat, sesuai dengan watak jenis tari itu -- untuk mengisi
suasana-suasana yang sedang berkembang. Eksploatasi ini dalam
perhitungan memang klop. Bagong memang tampak lincah,
bervariasi, cerdik. Tetapi tidak merasuk, tidak dalam.
Kombinasi
Halusnya tari Jawa tidaklah akan muncul dengan meluruh, kalau
bagianbagian yang lebih dinamis dioperkan pada tari Bali.
Sebaliknya, gemuruhnya tari Bali tidak akan memberi pesona lebih
dari keributan biasa, kalau tidak dilanjutkan pula dengan
mengikuti geraknya pada bagian-baian di mana pukulan riuh rendah
itu melembut, dan lenggok-lenggok.
Dengan kata lain, kesan. tempelan meski sudah tidak sekasar
"gado-gado", dalam pergelaran kali ini, masih belum diselesaikan
Bagong. Para penari memang yakin-yakin. Mereka telah berusaha
menyelesaikan tugas dengan sungguh-sungguh, serta memiliki
stamina yang baik. Adegan ke adegan berlangsung rapih. Tetapi
Bagong cenderung membatasi penampilan untuk tetap atraktif
semata.
Kombinasi pakaian yang gemerlapan pada Roro Kidul dengan
semangat tari modern pada kelompok-kelompok yang bertaburan di
seluruh arena, masih memiliki jarak. Keseraman yang mencuat dari
tokoh Ratu Kidul bukanlah keseraman yang dimuntahkan oleh
suasana, tetapi keseraman yang ditonjol-tonjolkan. Dengan tubuh
yang tegang, ratu ini berusaha menunjukkan keagungan, kemolekan,
keangkaraan dan sebagainya. Penggarapan karakter dengan cara
seperti ini sudah amat bertentangan dengan kemerdekaan jiwa yang
dipakai Bagong untuk menciptakan gruping-gruping di permukaan
arena. Tokoh Ratu :Kidul jadi kosong dan kehilangan misteri.
Yang ada hanya sebuah patung yang ingin ditakuti.
Bagong memiliki imajinasi yang baik. Ia pun gemar bekerja.
Pertunjukannya mengalir lancar. Ada keterbukaan diri untuk
mencoba. Ini terbantu oleh penggarapan lampu dari tangan
Roedjito. Hanya rupa-rupanya ia terlalu dikejar waktu.
Barangkali malas untuk menukik lebih jauh. Tetapi siapa tahu
juga ada ketakutan untuk mencelup secara total. Kalau-kalau
nanti tidak komunikatif. Kita mengerti, di samping berusaha
mencari, Bagong juga bertugas menjaga kesenangan penggemarnya.
Putu WijAya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini