TEMPO 12 Maret '77, persoalan Sdr Syamudin dan Chaerul Anam,
Kebetulan mereka satu daerah, kenal baik, dan saya sedikit
banyak mengikuti persoalannya sejak permulaan.
Memang masalah tersebut sangat menarik perhatian masyarakat
Banjarnergara dan Wonosobo, khususnya daerah Batur/Dieng.
Penangkapan atas diri Kepala Desa Bakal (Sdr. Asrori), yang
kemudian setelah 8 hari ditahan dilepaskan, sudah dari awalnya
menarik. Soalnya:
I. Apakah pihak Kejaksaan Banjarnegara begitu saja menahan Sdr.
Asrori, begitu ada laporan Sdr. Syam dan Anam, tanpa terlebih
dahulu diselidiki kebenarannya? Dan baru setelah diperiksa
ternyata laporan itu tidak benar kemudian Sdr. Asrori
dilepaskan?
Kalau demikian alangkah ceroboh dan gegabahnya tindakan
Kejaksaan tersebut. Padahal besar kecilnya, Sdr. Asrori adalah
seorang kepala desa yang kalau dikenakan tahanan harus seizin
Bupati KDH. Apakah tindakan penahanan itu tidak dapat dikatakan
sewenang-wenang dan melanggar hak-hak asasi warganegara Republik
Indonesia yang ber-Panca Sila ini?
II. Tetapi seperti termuat dalam TEMPO, Sdr. Asrori telah
mengakui perbuatan yang dilaporkan Sdr. Syam dan Chaerul di
depan jaksa yang memeriksanya. Kalau begitu halnya, lalu ada apa
sebenarnya? Apalagi kemudian kedua orang itu ditahan - karena
dianggap membuat laporan palsu. Padahal seingat saya (yang
benar-benar terjadi) apa yang dilaporkan Sdr. Syam dan Anam itu
betul adanya, setidak-tidaknya sebagian besar adalah betul.
Misalnya:
1). Soal bantuan dari Proyek Jamur Dieng sebesar 2 juta rupiah.
Tadinya Sdr. Asrori diam-diam saja. Baru setelah dilaporkan dan
ia keluar dari tahanan uang itu disetorkan kepada Bupati KDH.
Sudah tentu mengganti uang 2 juta tersebut bagi Sdr. Asrori
bukan soal, karena dia memang kaya raya. Tapi bagaimana nasib
uang 2 juta itu seandainya tidak ada laporan Sdr. Syam dan Anam?
2). Soal pajak jiwa (pajak kepala) yang tidak ada peraturannya.
Juga benar.
3).Soal uang IPEDA yang dipungut dari rakyat. Perlu dijelaskan
bahwa sebagian besar rakyat Desa Bakal malahan tidak tahu berapa
harus membayar IPEDA dalam bentuk uang. Karena Sdr Asrori
menentukan IPEDA dalam bentuk tembakau sekian eler, yang sudah
tentu kwalitasnya diambil yang baikbaik saja, yang kalau dinilai
dengan uang harganya akan berlipat-lipat dari IPEDA yang
sebenarnya.
4). Soal penganiayaan terhadap beberapa penduduk Desa Bakal,
misalnya terhadap Sdr. Mardolah dan Sdr. Darso. Memang tidak
oleh Sdr. Asrori pribadi sebagai Kepala Desa tetapi oleh
adik-adiknya: Sdr. Kambali, rakyat biasa (adik ipar), Sdr.
Sudjirno, Bau Desa (adik kandung), Sdr. Ali Saehu, Polisi Desa
(adik kandung). Adalah sepengetahuan dan atas perintah Asrori
sebagai kakak dan sebagai Kepala Desa, dan dilakukan di pendapa
kelurahan. Bisa saja ia mungkir, tapi kenyataannya demikian.
5). Soal pemotongan uang sewa tanah atas tanah-tanah rakyat Desa
Bakal yang disewa oleh Pabrik Jamur Dieng. Memang betul. Dan
Sdr. Anam sendiri adalah salah seorang korbannya.
Memang mungkin ada hal-hal yang dilaporkan secara tidak tepat,
tetapi sebagian besar adalah betul. Sehingga menurut pendapat
saya tidak tepat kalau dikatakan laporan palsu. Mungkin yang
dianggap palsu itu surat laporannya, karena rakyat Desa Bakal
hanya tinggal cap jempol saja. Sedang isinya, yang menyusun dan
menulis/mengetik adalah Sdr. Syam dan Anam.
Tetapi hal itu adalah wajar, karena rakyat sendiri buta huruf,
paling-paling hanya mengeluh saja di belakang. Tak ada yang
berani berbuat apa-apa menghadapi kepala desa yang kaya raya dan
sangat besar pengaruhnya, tetapi sangat kejam. Untung ada Sdr.
Syam dan Anam yang berani jadi pelapor dalam melakukan kontrol
sosial, meskipun akhirnya harus meringkuk dalam penjara
Nusakambangan selama 2 tahun.
Selama perkara diperiksa di Pengadilan, memang kedudukan Sdr.
Syam dan Anam sangat sulit. Mereka dalam tahanan, tidak bisa
berhubungan dengan dunia luar, tidak bisa mengumpulkan
saksi-saksi dan fakta-fakta untuk memperkuat laporan mereka.
Sebaliknya Saudara Asrori. Begitu keluar dari tahanan, dan Syam
& Anam masuk tahanan, terus mengadakan intimidasi kepada rakyat
Desa Bakal: siapa yang berani membela Syam dan Anam akan
mengalami nasib yang sama.
Itu membuat rakyat Bakal tidak ada yang berani berkutik, apalagi
menjadi saksi yang membela Syam dan Anam. Sedang Sdr. Asrori
bisa mempengaruhi saksi-saksi yang semuanya orangnya sendiri.
Tiap sidang datang berbondongbondong dengan colt, sampai dua
colt penuh semua atas biaya Sdr. Asrori.
Ada juga saksi-saksi yang ingin berkata sebenarnya di Pengadilan
karena sudah disumpah. Tetapi sampai di rumah mereka selalu
mengeluh. Karena di Pengadilan, kalau akan bicara yang benar,
terus dibentak-bentak hakim yang memeriksanya, bahkan ada yang
diancam akan ditahan. Sehingga mereka terpaksa memberi
keterangan yang tak benar, yang dikehendaki Hakim.
Yang sangat mengherankan: Sdr. Asrori sudah tahu sebelum
perkaranya di putus, bahwa Sdr. Syam dan Anam akan dihukum dua
tahun. Dan betul juga: Syam dan Anam diputus dua tahun penjara.
Redaksi yang terhormat. Rakyat rindu kepada kebenaran dan
keadilan. Tetapi cita-cita itu rupanya masih jauh. Pemerintah
menganjurkan adanya kontrol sosial tetapi kontrol terhadap
kepala desa saja sebagai imbalannya dua tahun penjara - di
Nusakambangan. Apalagi kontrol terhadap pejabat yang lebih
tinggi. Siapa orangnya yang berani?
Berbahagialah mereka yang bertempat tinggal di kota besar
lakarta, yang dekat dengan wartawan-wartawan yang berani. Ada
LBH, ada Klinik Hukum sehingga hak-hak asasi dan martabat
manusia masih dihargai. Bagaimana nasib kami yang hidup di
pelosok-pelosok terpencil, yang jauh dari semua itu, dan yang
kedinginan selalu merindukan hangatnya Hukum yang berlaku di
Negara Hukum yang sama-sama kita cintai ini?
ALIE HANAN
Jalan Raya Banyumas
Banjarnegara
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini