Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Refleksi dari si pembentuk opini

Penulis : sjahrir jakarta : gramedia pustaka utama, 1992 resensi oleh : adrianus mooy

2 Januari 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENULIS mengenal pengarang buku ini sejak ia menjadi mahasiswa, di mana penulis menjadi dosen ekonometri di Universitas Indonesia. Waktu itu ia sangat aktif dalam pelbagai kegiatan mahasiswa sehingga ia lebih dikenal sebagai aktivis mahasiswa ketimbang mahasiswa yang belajar ekonometri. Sejak masa itu, hingga kemudian ia pulang dari Harvard dengan gelar PhD, tak banyak ia menulis. Tetapi tiga tahun setelah ia kembali dari Harvard University hingga sekarang (1986-1992), ia telah menulis 6 buku, menjadi editor untuk 6 buku, dan memberi kontribusi karangan dalam 11 buku, serta menulis kata pengantar untuk 4 buku. Dengan tingkat produktivitas yang demikian, tak terlalu berlebihan untuk menyatakan bahwa penulis buku ini adalah salah seorang public opinion builder dalam masyarakat Indonesia. Refleksi Pembangunan adalah bukunya yang terakhir (keluar Desember 1992) dan sekaligus buku yang paling mungil (101 halaman) dibandingkan dengan buku-bukunya yang terdahulu. Namun, sesuai dengan judulnya, buku ini mengungkapkan suatu perspektif tentang ekonomi Indonesia dalam kurun masa yang cukup panjang, dua setengah dekade. Buku tersebut mendeskripsikan transformasi struktural dalam peABrekonomian Indonesia, suatu yang jarang ditelaah dengan mendalam. Buku ini memuat 16 tabel, 13 tabel pada Bab I khusus membahas transformasi struktural dalam struktur ekonomi Indonesia. Membaca tabel-tabel tersebut adalah membaca perubahan dalam ekonomi Indonesia yang hampir statis (1951-1966/1967), di masa awal-awal kemerdekaan, secara kontras bisa dibedakan dengan perubahan-perubahan dari 1968-1992, di zaman Orde Baru. Beberapa catatan mengenai tabel dapat dikemukakan di sini. Transformasi struktural secara nyata menunjukkan perubahan dalam distribusi output sektoral (tabel 3 dan tabel 4). Bahkan untuk tahun 1991, merupakan pertama kalinya dalam sejarah perekonomian Indonesia, sektor industri melampaui sektor pertanian sebagai sektor yang paling besar kontribusinya sebagai ''share'' dari Produksi Domestik Bruto. Tapi distribusi tenaga kerja sebagai ''share'' pada total angkatan kerja masih menunjukkan dominannya sektor pertanian (tabel 7). Tampaknya ada salah cetak di tabel 7, karena bila untuk 1971 hingga 1987 total tenaga kerja dari 4 sektor (pertanian, industri pengolahan, perdagangan, dan jasa) mencapai 100%, tetapi untuk 1988 - 1990, jumlahnya kurang dari 100%. Pembahasan penulis tentang ketidakadilan, kemiskinan, dan transformasi struktural menarik untuk ditelusuri. Bukan saja terdapat perubahan positif yang lebih dari ''signifikan'' dari kelompok miskin, tapi perubahan dan perbaikan lebih menonjol di desa daripada di kota. Pemuatan perbaikan kondisi kaum miskin bukan saja dilihat dari metode-metode yang selama ini dikenal (seperti PQLI) atau Indeks Mutu Hidup dan Gini Coefficient, tapi juga dengan menghitung besar head count index, poverty gap index dan distributionally sensitive index (tabel 13 berikut penjelasannya). Dalam tiga indeks itu tampak bahwa di desa, kesenjangan lebih cepat diperbaiki dibandingkan dengan di kota. Penulis tampaknya, untuk sebagian, dipengaruhi oleh pemikiran dari Amartya Sen, guru besar dari Harvard, dalam melihat kemiskinan. Di sini pembahasan kemiskinan melampaui pendekatan dan metodologi yang selama ini digunakan membahas masalah kemiskinan. Terlepas dari setuju atau tidak pada pemikiran yang dilontarkan dalam buku ini, entitlement adalah konsep yang menarik. Sementara itu ulasan di buku ini tentang peran demokratisasi dan hubungannya dengan pemberantasan kemiskinan, dengan mengambil contoh perbandingan antara Cina dan India, adalah analisa yang belum dikenal dalam ilmu ekonomi konvensional. Upaya penulis untuk memasukkan unsur nilai dalam analisanya adalah upaya yang legitimate, namun seperti dinyatakan penulis sendiri, ini bukanlah pendekatan yang konvensional. Buku kecil ini juga memuat dua kasus, yaitu program Inpres dan fenomena konglomerat. Kasus Inpres secara nyata meninggalkan jejaknya dalam perbaikan kebutuhan pokok dari masyarakat Indonesia. Adalah menarik melihat ulasan penulis yang konsern terhadap prospek program Inpres ini dengan melihatnya dari kendala anggaran. Di masa PJPT (Pembangunan Jangka Panjang Tahap) II, persoalan pemberantasan kemiskinan dan kesenjangan ekonomi tetap menjadi prioritas kebijaksanaan. Tetapi adanya kendala anggaran memang tak terhindari, sehingga penajaman prioritas anggaran dan efisiensi serta efektivitas penggunaan anggaran menjadi semakin perlu dipertajam. Pada bagian penutup ada hal strategis yang diungkapkan penulis. Ini mengacu pada pengembangan sistem ekonomi yang efisien dan tetap peka pada nasib kaum miskin. Inilah barangkali hal yang memerlukan pemikiran ulang yang tak kalah pentingnya dibandingkan dengan transformasi struktural dalam struktur ekonomi Indonesia. Dalam hal ini pengalaman dari negara-negara Eropa Timur dan bekas Uni Soviet, yaitu dicapainya industrialisasi dengan mengabaikan efisiensi pada sistem ekonomi, adalah pengalaman mahal yang pantas dicatat. Indonesia selama PJPT I berhasil melaksanakan transformasi struktur produksi seperti dengan jelas ditunjukkan buku ini. Selama PJPT II perbaikan sistem ekonomi sebagai sistem ekonomi pasar yang terkendali (definisi yang disumbangsarankan oleh ISEI, Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia) tampak mengalami kemajuan, terutama sejak deregulasi ekonomi yang dilancarkan sejak tahun 1983 dan 1988 hingga sekarang. Tapi perbaikan yang lebih lanjut diharapkan terjadi pada PJPT II. Buku kecil ini menjelaskan tantangan dan kendala yang dihadapi bangsa Indonesia untuk mencapai sistem ekonomi yang efisien dan peka pada nasib kaum miskin. Adrianus Mooy Penulis adalah Gubernur Bank Indonesia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus