PEREMPUAN DI TITIK NOL Penulis: Nawal el-Saadawi Penerbit: Yayasan Obor Indonasia, Jakarta, 1989, 155 halaman ADALAH seorang Firdaus. Seperti perempuan Mesir lainnya yang merupakan anggota strata terbawah masyarakat, Firdaus berteriak dalam diam. Anak (perempuan) petani miskin di Mesir memang hanya boleh bermimpi menghabiskan hidupnya dengan mengumpulkan kotoran ternak, menjunjung pupuk di atas kepala, dan memanggang roti. Firdaus ditertawakan ketika menyatakan keinginannya untuk sekolah di Al-Azhar, karena itu "hanya untuk kaum pria saja". Ia hanya boleh tertegun ketika jari-jari pamannya menjelajahi selangkangannya. Ia hanya bisa menahan napas setiap kali pamannya menindih tubuhnya. Dan ia harus berterima kasih ketika paman dan bibinya menyodorkan Syeikh Mahmoud untuk menjadi suaminya. Bagi Firdaus yang berusia 19 tahun mendapathan suami seperti Syeikh Mahmoud, yang sering memukuli seluruh badan istrinya dengan sepatu atau tongkat, mesti dianggap sebagai anugerah, karena "laki-laki yang memahami agama itulah yang suka memukul istrinya". Firdaus melarikan diri, dan kehidupan selanjutnya bak gabus diombang-ambingkan samudra. Mula-mula ia jatuh ke tangan Bayoumi, lelaki yang belakangan memperlakukannya sebagai pemuas nafsu belaka. Selanjutnya, dari Sharifa, Firdaus belajar menentukan kapan ia bisa melepas atau mempertahankan tubuhnya bagi lelaki mana saja, sehingga ia merasa telah lahir kembali, sementara Sungai Nil dan warna pepohonan tetap sama. Namun, Firdaus akhirnya sadar bahwa seluruh hidupnya adalah akumulasi pemberontakannya yang hanya bisa dikemukakan dengan diam. Pada akhirnya dia bisa meledak marah sambil mencabik-cabik uang yang diberikan seorang pangeran Arab yang baru saja menikmati tubuhnya. Dia merasa sekaligus telah mencabik muka ayah, paman, dan semua lelaki yang telah mengajarinya "menjadi dewasa sebagai pelacur". Seluruh isi buku ini adalah kemarahan dan dendam Firdaus (baca: perempuan). Kemarahan Firdaus adalah kemarahan Nawal el-Saadawi. Pengarang feminis Mesir ini mendengarkan kisah Firdaus di penjara, beberapa jam sebelum ia dieksekusi karena dituduh membunuh germonya. Nawal el-Saadawi sendiri seorang dokter yang dipecat oleh departemen kesehatan karena pandangan feminisnya dianggap merugikan pemerintah. Ia mencurahkan kenyataan patriarkisme di negaranya melalui mulut Firdaus. Toh Nawal merasa dirinya kecil di hadapan Firdaus, yang menolak grasi presiden. Firdaus menganggap hukuman mati untuknya adalah sebuah kebebasan. Di dalam diamnya, Firdaus telah menunjukkan pemberontakannya. Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini