HARI-HARI BERLALU Oleh: Taha Husain Penerbit: PT Dunia Pustaka Jaya, Jakarta, 1985, 652 halaman JARANG sekali kita mendengar orang buta berhasil meraih gelar tertinggi akademis. Berbeda dengan Taha Husain, yang lahir di Maghargha, Mesir, pada 1889, yang dapat melampaui suatu prestasi yang sulit dicapai oleh mereka yang bernasib malang seperti dia. Taha lahir dari sebuah keluarga sederhana. Ayahnya, seorang yang taat kepada agama, dan cenderung sufi, dengan segudang amalan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Taha sejak kecil menderita sakit mata. Obat mata tradisional, yang diberikan ibunya setiap malam menjelang tidur, ia rasakan amat perih dan bagai dibakar. Pada usia tiga tahun mata Taha tak tertolong lagi. Ia menjadi buta total, dan sengsara. Tapi sang ayah selalu mencoba mendidik anaknya. Taha disekolahkannya pada sebuah madrasah untuk menghafal Quran. Dan, hasilnya sangat mengagumkan. Pada usia sembilan tahun, Taha telah dipanggil Syaikh -- gelar bagi penghafal Quran di Mesir. Gelar ini di Mesir bukan gelar main-main. Seorang yang dipanggil Syaikh akan mendapatkan penghormatan ritual yang luar biasa. Kisah Taha itu ditulisnya sendiri dalam autobiografi berjudul Al-Ayyam -- diterjemahkan oleh Ali Audah dengan menarik. Dalam buku ini juga ditampilkan keadaan budaya Mesir serta lingkaran pemahaman terhadap agama Islam. Taha juga mengkritik sistem pendidikan di Al Azhar habis-habisan. Padahal, universitas itulah yang menempanya menjadi orang terhormat di masyarakat Mesir. Jalan hidup Taha sama sekali bukan seperti cita-cita ayahnya: "Kau kujadikan tukang mengaji Quran di tempat-tempat kematian dan di rumah-rumah orang," kata sang ayah sebelum mengirim Taha ke madrasah. Memang, seorang buta di Mesir biasanya hanya mendapatkan penghidupan dari jasa mengaji itu. Tapi Taha mendobraknya. Bahkan ia belajar ke Prancis. Ia pulang dari negeri itu dengan gelar, dan seorang istri, wanita Prancis. Kepulangan Taha merupakan mutiara berharga bagi Mesir, karena ia mengubah sistem pendidikan di Mesir. Dan, sampai sekarang, nama Taha Husain begitu melekat di lubuk hati orang Mesir, sebagai tunanetra yang membuka mata negeri itu. Musthafa Helmy
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini