TELEVISI DAN PRASANGKA BUDAYA MASSA
Penulis : Veven S.P. Wardhana
Penerbit : PT Media Lintas Inti Nusantara, 2001
Pengantar : Ashadi Siregar
APA YANG terjadi dengan televisi setelah Mei 1998? Reformasi acarakah? Reformasi pemberitaankah? Di masa pemerintahan Orde Baru, negara memang sudah mengontrol media massa melalui berbagai regulasinya. Namun, media industrial mempunyai logika dan aturan mainnya sendiri yang tidak selalu bisa disubordinasikan terhadap kehendak negara. Pada beberapa sisi, arah perkembangan industri media mungkin lebih dipengaruhi oleh struktur politik otoritarian Orde Baru. Namun, pada sisi yang lain bisa jadi kaidah dan mekanisme pasar yang lebih menentukan.
Buku Televisi dan Prasangka Budaya Massa ini setidaknya mendukung asumsi itu. Problem-problem yang muncul dalam media televisi pada saat-saat akhir era Orde Baru lebih menunjukkan dinamika media yang telah menjadi instrumen industri kapitalis. Apa dan bagaimana acara-acara yang mesti diproduksi dan ditayangkan televisi lebih ditentukan berdasarkan korelasinya dengan permintaan pengiklan dan apa yag diklaim sebagai "selera khalayak".
Namun, para pengelola televisi ternyata kerepotan dalam merespons tuntutan-tuntutan media televisi yang telah menjadi entitas komersial itu. Mereka harus mempersiapkan sekian banyak mata acara untuk mengisi jam siaran yang semakin hari semakin panjang.
Maka, merebaklah tayangan-tayangan yang serba impor, opera sabun India, Amerika Latin, Cina, ataupun Barat. Kalangan production house, yang berusaha memproduksi sinetron-sinetron sendiri, juga sulit menghindari kecenderungan "mencangkok" format dan logika cerita ala operasi sabun. Ketika sampai pada titik ini kebutuhan televisi belum terpenuhi juga, dilakukanlah pemutaran ulang acara-acara yang sudah disiarkan (rerun).
Tanpa banyak didasari khalayak pemirsa, sebagian besar sinetron, dan juga mata acara yang lain, yang ditayangkan televisi swasta sebenarnya "serupa tapi tak sama". Judul boleh berbeda, aktor boleh berganti, tapi format cerita, logika kisah, plot, penokohan, dan setting cerita sesungguhnya seragam (hlm. 373-374). Sulit menemukan sinetron yang benar-benar menampilkan hal-hal yang baru dan inovatif, kecuali beberapa drama televisi lokal yang digarap dengan serius.
Kondisi ini tak menjadi lebih baik ketika terjadi perubahan situasi politik pasca-pergantian pemerintahan Mei 1998. Pergeseran dari state regulation menuju market regulation dalam industri media tidak selalu berkorelasi dengan kebebasan publik men-dapatkan keragaman isi dan kemasan dalam pasar bebas informasi dan hiburan.
Justru ketika state regulation sampai pada titik nadirnya, simbiosis antara kepentingan pemodal televisi dan para pengiklan nyaris tak mengalami halangan dalam menentukan hijau-kuningnya tayangan televisi, tanpa memperhatikan kepentingan publik sebagai konsumen.
Pada titik ini, jangan berharap banyak pada kreativitas industri televisi. Maksimalisasi produksi acara televisi semakin menenggelamkan para pekerja televisi ke dalam rutinitas produksi. Yang terjadi terutama sekali bukanlah adu kreativitas, melainkan lagi-lagi adu cepat antartelevisi swasta untuk me-rerun tayangan-tayangan favorit, serta kompetisi antar-production house dalam membuat ulang cerita lokal popular, memproduksi sinetron-sinetron yang serba standar dan cepat.
Para pengelola broadcast dan pihak kreator acara televisi cenderung bersikap pragmatis, mau serba gampangan dan serba cepat. Perilaku mereka dalam memproduksi acara televisi tak ubahnya perilaku pe-dagang: maunya cepat untung banyak dengan modal sedikit.
Pada sisi pemberitaan media televisi, juga relatif belum ada kemajuan berarti. Jurnalisme televisi kita belum mengalami perkembangan penting selain keberanian memunculkan berita-berita tajam dan sensasional. Namun, perubahan ini bukan semata-mata refleksi dari kebebasan berpendapat dan berekspresi, melainkan sebagai strategi untuk mendongkrak rating sebuah acara guna menarik minat pengiklan.
Pada akhirnya, buku ini tidak hanya menunjukkan betapa centang-perenangnya kreativitas dalam industri televisi komersial kita, tapi juga terjadinya pergeseran prasangka dominan dalam budaya massa kita. Di era Orde Baru, budaya massa didominasi oleh prasangka negara dan masyarakat tentang sejumlah pengaruh negatif media (televisi), antara lain mengikis rasa nasionalisme, membangkitkan simptom kekerasan, dan menebarkan budaya Barat yang tidak sesuai dengan budaya Timur. Namun, belakangan, yang terjadi adalah prasangka para pengelola dan praktisi televisi yang menganggap bahwa pemirsa dapat dininabobokan dengan tayangan-tayangan yang serba "cangkokan", seragam, standar, miskin improvisasi dan kreasi baru.
Agus Sudibyo—analis media
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini