Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SAYA pertama kali bertemu Roeslan Abdulgani pada November 1944 di Surabaya. Waktu itu saya masih 18 tahun, dan Cak Roeslandemikian dia biasa dipanggil30 tahun. Ceritanya, dari Jakarta saya, bersama Chaerul Saleh dan Sukarni, datang ke Surabaya untuk bertemu pemuda-pemuda di sana.
Cak Roeslan adalah pendiri Perkumpulan Indonesia Muda yang selalu mengkritisi kebijakan politik orang-orang Jepang. Karena itu, gerak-geriknya selalu diintai kaki tangan Jepang, yang kebanyakan orang Indonesia, yang juga pernah bekerja untuk Belanda di Politieke Inlichtingen Dients (PID).
PID merupakan dinas rahasia politik yang selalu memberi laporan yang mengakibatkan ditangkapinya pejuang-pejuang Indonesia. Pa-da pertemuan pertama itulah saya langsung terkesan mendengar ceramah Cak Roeslan.
Dia tidak percaya pada janji Jepang yang akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Sebab, Jepang semakin hari semakin kuat menekan rakyat. Romusha atau kerja paksa terjadi di mana-mana.
Rakyat juga dipaksa menanam pohon jarak untuk digunakan sebagai bahan bakar pesawat terbang. Pagar besi setiap rumah harus dibongkar dan besinya disumbangkan untuk membuat perlengkapan perang.
Ketika terjadi pertempuran melawan Jepang di Surabaya, saya ditunjuk mengatur pemakaman pemuda-pemuda yang menjadi korban. Dalam upacara pemakaman inilah saya selalu meminta Cak Roeslan memberikan wejangan.
Karena seringnya saya minta, Cak Roeslan pun bertanya-tanya. Dia sempat mengira saya ini asli Aceh. Baru belakangan dia tahu saya dari Banda Naira serta menjadi anak angkat Hatta dan Sjahrir.
Hubungan kami semakin dekat setelah itu. Saya semakin mengenal dia. Semasa perang melawan Inggris, banyak sekali gagasan yang ia lontarkan untuk mempertahankan tanah air.
Pada saat terjadi pertempuran hebat antara pemuda pejuang dan pasukan Inggris, ada sejumlah wartawan Inggris yang ditahan pemuda. Para pemuda itu tidak bisa membedakan wartawan dari perwira Inggris. Berkat ide Cak Roeslan, akhirnya para wartawan itu bisa dibebaskan.
Dia menyadari betul arti tindakannya itu. Berita tentang perlawanan pemuda terhadap tentara Inggris harus diwartakan agar diketahui negara-negara lain.
Dalam peristiwa terbunuhnya Jenderal Mallaby di Surabaya, Cak Roeslan dan saya berada dalam satu mobil. Ketika itu terjadi pertempuran hebat. Mobil yang kami tumpangi terbakar dan kami melompat keluar, langsung mencebur ke Kali Mas.
Saat itulah saya baru tahu: dia tidak bisa berenang. Ketika sudah berada di dalam sungai, Cak Roeslan baru bilang, "Des, saya tidak bisa berenang. Tolong pegang saya." Untunglah air sungai hanya sedada.
Begitu banyak kenangan yang saya lewati bersamanya. Bagi saya, Cak Roeslan bukan hanya seorang teman, tapi sudah seperti kakak. Sebagai manusia, saya sadari betul dirinya memiliki kekurangan dan kesalahan. Tapi saya yakin, sikap dan jiwa patriotismenya tidak pernah luntur.
Cak Roeslan pernah mengumpulkan tokoh-tokoh yang terlibat dalam pertempuran 10 November untuk datang ke Surabaya. Pertemuan ini kemudian menjadi rutin, setiap 10 November. Yang datang ke pertemuan tersebut berombongan naik kereta api dari Jakarta ke Surabaya.
Pada awalnya, lebih dari enam gerbong mengangkut pejuang-pejuang itu ke Surabaya. Tapi lama-kelamaan jumlah gerbong semakin menyusut karena banyak yang meninggal. Pada 1999, hanya ada satu gerbong dengan 16 pejuang. Sedangkan pada 2000 tinggal delapan orang. Jumlah itu semakin berkurang dengan kepergian Cak Roeslan.
Pejuang itu kini telah pergi. Bangsa ini juga telah kehilangan salah satu putra terbaiknya. Sebelum wafat, dia sempat menyampaikan harapan. Pemerintah harus terus memerangi korupsi. "Itu juga perjuangan," katanya.
Des Alwi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo