Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Meluruskan atau Menghapus

Rancangan kurikulum pendidikan baru tak menyebut PKI terkait dengan peristiwa Madiun dan Gerakan 30 September.

4 Juli 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LEWAT Kurikulum Pendidikan 2004, kisah kelam peristiwa 30 September 1965 seakan terkubur di lumbung sejarah. Peristiwa Madiun 1948 juga dihapus dari literatur bagi siswa sekolah dasar hingga sekolah menengah umum itu.

Maka, muncullah protes dari berbagai penjuru. Yusuf Hasyim, pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur, menyemburkan kemarahannya. "Ini bukan kelalaian teknis, tapi gerakan sistemik orang-orang yang menghendaki kebangkitan PKI di Indonesia," katanya.

Ia menyodorkan fakta bahwa buku sejarah itu menyebut pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia dan PRRI Permesta dengan gamblang, namun tak secuil pun menyenggol Partai Komunis Indonesia (PKI). Maka, pekan lalu Pak Ud—demikian panggilan akrabnya— menggalang tokoh-tokoh Islam ke DPR.

Mereka meminta wakil rakyat mendesak pemerintah agar membatalkan kurikulum baru itu. Kalangan ahli sejarah juga berbunyi. Setelah melihat Rancangan Kurikulum 2004 itu, sejarawan Taufik Abdullah mengaku tersinggung lantaran sejumlah jejak penting bangsa raib.

Tak cuma PKI, tapi juga kata-kata "revolusi", "perang kemerdekaan", dan—ini yang paling penting—Proklamasi 17 Agustus 1945. "Terus terang, saya naik pitam," katanya. Proklamasi, kata dia, adalah batas yang tegas dalam sejarah Indonesia yang merupakan fakta tak terbantahkan.

Menurut Taufik, tugas sejarawan adalah merekonstruksi fakta-fakta sejarah, bukan menghapusnya. Ia sepakat bahwa selama Orde Baru anggota PKI dan keluarganya mengalami perlakuan tidak adil. Namun, "Janganlah hal itu membuat kita menutupi kebenaran."

Pada masa reformasi, banyak kelompok yang menuntut pelurusan sejarah yang konon banyak dimanipulasi Soeharto. Maka, Menteri Pendidikan Nasional waktu itu, Juwono Sudarsono, menggandeng Taufik Abdullah dan Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI).

Taufik dan kawan-kawan pun merambah ke beberapa daerah. Dalam pertemuan dengan para guru SMP dan SMA, mereka menanyakan langsung topik-topik kontroversial yang menjadi masalah para guru di dalam mengajar. Jawabannya, antara lain: peristiwa G30S/PKI, Serangan Umum 1 Maret, dan Timor Timur.

Maka, diputuskanlah menulis ulang buku sejarah untuk siswa SD hingga SMA dengan pendekatan fakta. Misalnya, dalam peristiwa 30 September ada fakta tujuh jenderal yang terbunuh, Letnan Kolonel Untung yang mengumumkan Dewan Jenderal, PKI yang menyatakan memiliki Biro Khusus, Soekarno yang pergi ke Pangkalan Udara Halim Perdanakusumah, dan seterusnya.

Sayang, program penulisan ulang buku sejarah itu tak berlanjut. Yang muncul kini justru rancangan kurikulum baru yang menghilangkan PKI dari halaman buku sejarah. Apakah hal ini menggembirakan para bekas anggota PKI dan keluarganya yang selama Orde Baru ditindas habis-habisan? Tidak juga.

"Ini belum pelurusan sejarah, tapi lumayan kebohongannya mulai dikurangi," kata Ribka Tjiptaning Proletariyati, penulis buku Aku Bangga Jadi Anak PKI. Menurut dia, semua kisah pemberontakan PKI yang didengungkan bukanlah sejarah, melainkan cerita. Itu pun hanya satu versi. "Semua sejarawan waktu itu berpihak pada kekuasaan," ujar anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan itu.

Menanggapi keriuhan ini, Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo menyatakan Kurikulum Pendidikan 2004 ini cuma uji coba yang belum dinyatakan layak. Menurut Kepala Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional, Sugiyanto, untuk kurikulum 2004 pemerintah baru menilai buku matematika, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris untuk SMP dan SMA.

Itu pun baru di tahap penilaian teknis, belum dilaporkan ke Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dan menteri, apalagi disosialisasi. Sugiyanto menjelaskan, lantaran belum ada acuan buku untuk kurikulum baru, ada pemerintah daerah yang memilih buku sendiri.

Penerbit pun ada yang mengeluarkan buku yang mengacu pada kurikulum 2004, yang untuk diterbitkan memang tak memerlukan izin Departemen Pendidikan Nasional. Karena itu, segala protes yang mengakibatkan buku itu mesti ditarik dari peredaran pun bukan wewenangnya, melainkan urusan Kejaksaan Agung.

Andari Karina Anom, Mawar Kusuma (TNR), Dwidjo Maksum (Jombang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus