TITIEK Puspa adalah sejenis industri. Selasa pekan lalu ia
merayakan ulangtahunnya dengan sebuah pesta sekitar Rp 1,5 juta
di- Hotel Indonesia Sheraton, Jakarta. Sampai tengah malam.
Paginya ia menerima wartawan untuk wawancara. Begitu selesai, ia
ke airport untuk naik pesawat ke Surabaya. Sambil menunggu
pesawat ia masih harus memberikan wawancara lain. Di Surabaya ia
mengadakan pertunjukan untuk amal. Dari Surabaya ia terbang ke
Medan untuk sebuah show dana lagi. Juga malam berikutnya. Dan
Senin minggu ini, setelah sehari istirahat di Jakarta, ia ke
Surabaya sekali lagi. Kali ini rencanaya buat di sana sebulan.
Ia harus menyelesaikan film Inem seri ke-II dengan sutradara
Nyak Abbas Akub.
Dalam proses itu ia mungkin bergerak untuk menyusun sebuah
lagu.
Siapa tahu. Lagu ciptaannya kini telah lebih dari 300 buah.
Tak ayal lagi dialah komponis wanita Indanesia yang paling
banyak tercatat karyanya sepanjang sejarah - mungkin sejak
sebelum zaman Majapahit. Bahkan mungkin ia penggubah lagu
paling produktif melebihi siapapun selama sederet dasawarsa
ini. Yang jelas, di hari-hari ini, para penyanyi bagaikan antri
menunggu lagu dari Titiek - suatu hal yang tak dialami komponis
lain.
Malam itu, di Ramayana Room Hotel Indonesia, ia mengenakan gaun
tipis merah jambu, dengan rambut dililitkan ke atas. Sahabatnya,
para bintang panggung dan film dan penyanyi, yang tiba bagaikan
silih berganti, memberinya ciuman. Sebuah band dari hotel
mengantarkan tamu (antara lain Ali Sadikin dan nyonya)
menghampiri hidangan yang untuk tiap orang dihitung Rp 4.700
itu. Sesudah itumereka duduk. untuk meng ikut,i acara kocak buat
Titiek.
Menjelang jam 22.00, didampingi anaknya Petty (17 tahun) dan
Ella (15 tahun, Titiek Puspa memotong kue. "Terima kasih
teman-teman . Usia saya sudah-40 tahun. Usia yang sudah semakin
tua. Setua ini pula, teman-teman, saya berbahagia. Tapi jangan
tingalkan saya ya....
Suaranya yang tersohor itu, alto, husky, memberat-mendayu dan
dengan main-main di sana-sini, terdengar di pengeras suara.
Siapa bisa meninggalkan Titiek, setidaknya sekarang? Tak banyak
wanita - apalagi bintan -- yang berani merayakan ulang-tahunnya
yang ke 40 dengan begitu penuh gebyar. Tak banyak wanita yang
pada moment itu begitu yakin bahwa ia tak akan dilupakan orang.
Lima tahun yang lalu ia pernah berfikir bahwa ia akan berhenti
menyanyi setelah 40 tahun. Tapi hari itu Titiek Puspa nampak
belum pada titiknya. Dengan tinggi 167, berat lebih kurang 59
kilo, ia -- yang dipanggil "Tante" oleh para penyanyi mutakhir
-- masih sexy, senang, sukses, sibuk.
"Ia masih jam 12.00 siang," komentar sutradara Nyak Abbas Akub,
"belum surut ke sore."
Sudarwati, anak mantri kepala kesehatan yang baru berumur 3
takun, terkena tipus dan kemudian malaria. Ayahnya, Toegeno
Poespowidjojo, seperti banyak orang Jawa lain, mencoba
menyelamatkan anak ftu dengan mengganti namanya. Si bocah jadi
Soemarti. Tapi tahun-tahun tetap suram bagi keluarga priyay
kecil itu. Di masa pendudukan Jepang, di tahun 1944, di kota
Semarang yang panas itu, si Soemarti - sambil bersekolah di
sekolah dasar kelas dua - berjualan air teh dan peyek.
Setelah beberapa kali berpindah ke pelbagai kota di Jawa
Tengah', keluarga Toegeno akhirnya menetap di Temanggung sampai
Soemarti kelas V sekolah dasar. Baru pertengahan tahun 1948
Marti diindekoskan di Magelang.
Dari Temanggung, orang tuanya tiap bulan cuma bisa mengirim uang
pas-pasan. Untuk baju, Marni biasa punya akal: bajunya yang
usang dirombak, modelnya ia disain lagi di kertas koran, lalu
diselesaikannya jahitan dengan tangan. Makanan pun sangat
terbatas. Pagi, siang dan malam hanya nasi gudeg dengan secuil
tahu atau ibu tempat numpang itu memasak yang lain, itu berarti
pesta. Suatu hari Marni melihat ibu itu menggoreng sesuatu yang
terlihat enak: mungkin tempe, mungkin hati. Lapar, ia sambar.
Ternyata yang dikunyahnya trasi goreng.
Ia selalu membawa gula enau yang seperti kue merah ke sekolah.
Gula Jawa itu biasanya ia barter dengan singkong rebus bekal
teman-temannya. Suatu ketika sepotong gula jawa tertinggal di
laci kelas. Paginya semut membanjiri ruangan. Soemarti disetrap
guru, ia harus berdiri di luar kelas.
Tapi cerita di sini tak berarti cuma sedih. Anak gadis itu
nakal, hampir seperti anak lelaki. Ia tomboi yang bisa urakan.
Soemarti suka mengejar kereta api yang tengah berjalan. Atau
nongkrong di dahan pohon, nyanyi. Atau waktu disetrap guru di
luar kelas - pergi ke warung pak penjaga sekolah. Kalau punya
uang, ia disetrap sambil jajan pecel.
Komponis Titiek bagi para penyanyi lain, bagaikan seorang
penjahit tenar. Mereka pada datang ke rumahnya, kadang seperti
hampir berebut, minta dibikinkan lagu. Menurut cerita penyanyi
Nona Anna Ade Manuhutu, Titiek punya stok lagu yang disimpan
dalam sebuah buku khusus. Penyanyi yang datang ke rumahnya
tinggal pilih mau lagu yang mana. Selain si penyanyi boleh
membolak-balik buku ciptaannya, Titiek juga sedia menerima
pesanan. Kalau sedang mujur, si pemesan bisa menunggu hanya dua
sampai tiga hari saja. Kemudian dia sudah bisa menerima barang
yang diinginkan.
Titiek sendiri tahu betul nampaknya, lagu apayang pas untuk
penyanyi mana. Lagu Bing - yang ditulisnya dengan mata basah di
atas kantong tempat muntah di pesawat terbang ke Bangka,
beberapa jam setelah Bing Slamet meninggal - tidak diberikannya
kepada penyanyi Eddy Silitonga. "Karakter Eddy tidak sarna
dengan karakter lagu itu," kata Titiek. Lagu itu pun keluar
lewat bibir Grace Simon.
Mus Mualim, suarni dan pendamping musiknya dalam penciptaan,
mengatakan bahwa pengenalan Titiek terhadap karakter dan warna
suara penyanyi yang berbedabeda sangat baik. "Kalau yang pesan
Hetty, pasti yang keluar not-not dan warna untuk Hetty,"
katanya.
Menurut Hetty Koes Endang sendiri, sampai sekarang "Tante
Titiek" sudah dua kali khusus mencipta untuk dia: Kepergiannya
dan Tamatnya Sandiwara, yang direkam lewat Musika Studio.
Pemenang Festival Lagu pop '77 ini menyatakan banwa Kepergiannya
selesai semingu sebelum festival, sengaja di buatkan Titiek
atas permintaannya.
Namun tidak selalu memang bahwa Titiek sendiri yang mehentukan
siapa penyanyi buat lagunya. Ade Man ltu misal'nya,
menongkrongi Sendiri Lagi. Tapi transaksi antara penyanyi yang
direkam oleh perusahaan seperti Remaco memang lazimnya
ditentukan perusahaan itu. Remaco ternyata kemudian menyerahkan
lagu itu ke Trio Bimbo, yang juga memintanya. Dan Sendiri Lagi
pun dinyanyikan suara berat Acil, dengan sedikit variasi gaya
mandolin Napolitan pada musik.
Remaco menyerahkannya pada Birnbo karena harg jual Bimbo lebih
tinggi. Tapi Ade Manuhutu sendiri, meski mungkin rada kecewa,
sadar betul soal kecocokan dirinya buat lagu-lagu Titiek. "Tante
Titiek selalu tahu warna penyani. Misalnya lagu Jatuh Cinta.
Mana kena itu pada saya? Bisa berantakan kalau saya yang
nyanyi," kata Ade jujur.
Ciptaan Titiek yang, dinyanyikannya adalah Masa Remaja. Mungkin
karena ada keluguan dalam suara Ade, mungkin, karena
pra-kematangan teknik yang tak cukup lincah untuk bermain-main
dalam diri Manuhutu, Jatuh Cinta pun jatuh ke Eddy Silitonga.
Dengan enak.
LAGU itu pertama kali diperkenalkan Titiek sendiri via acara
musiknya di TVRI sekitir 5 bulan yang lalu, dengan iringan
gitar Ireng Maulana. Tapi seperti dikatakan Ferry Iroth dari
Remaco, "jeleknya bukan main". Agaknya karena gitar Ireng untuk
itu rada "onder" sedang Titiek sendiri - seperti yang tak jarang
terjadi - agak "over" bertingkal dalam diksi dan ritme.
Lewat Eddy Silitonga, Jatuh Cinta jadi hit yang hot. Ia bukan
saja merupakan selingan yang hangat dari koleksi Eddy yang agak
jadi monoton oleh loloran sedih. Dengan bekal suara Eddy yang
sebenarnya bening, lagu yang kaya akan variasi dan hidup warna
lucunya itu menonjol ke puncak. Jatuh Cinta mungkin ciptaan
Titiek terbaik, dan terlaris.
Berapa anda dapat untuk sebuah lagu, mbak Titiek? "Penghargaan
produser rekaman sekarang ini," jawabnya setengah berteka-teki,
"baru seperempat dari honor normal." Para penyanyi yang pernah
mendapatkan lagunya mengancar-ancari. Harga karya Titiek untuk
sekali masuk studio rekaman bergerak antara Rp 200 - 300 ribu.
Besar atau kecil adalah nisbi. Sebagai bintang film Titiek kini
mungkin bisa mencapai lebih 5 x dari jumlah itu buat satu film.
Tapi pengarang lagu Widuri, misalnya, Adriadi yang baru muncul,
hanya dapat Rp 25.000. "Nasib pengarang lagu memang jelek," kata
Mus Mualim.
Soemarti, punya seorang sahabat, Rahayu namanya. Si Yayuk kini
jadi isteri seorang pegawai tinggi Dep. Perhubungan, di Jakarta.
Di Semarang - kira-kira seperempat abad yang lalu - Marti dan
Yayuk bersekolah bersama di sebuah SMP di bagian timur kota.
Mereka naik sepeda bersama, ribut di kelas berama dan
bisik-bisik bersama. Suatu hari ibu Yayuk mendapati ada yang
aneh pada kaki Soemarti. Kaki itu menggembung, dan bila dipijit
meninggalkan bekas yang dalam Kesimpulannya: Marti kena
beri-beri. Ibu itu pun membawa sahabat anaknya ke dokter. Tiap
kali Marti datang ke rumah diberinya kacang ijo rebus.
Mungkin karena skala prioritas Marti dalam pembelanjaan/agak
lain. Gadis yang dalam usianya kini gemar berpuasa ini waktu itu
juga lebih suka pada pakaian. "Kalau terima uang kiriman, "
kata salah seorang kakaknya mengingat masa lalu itu, "ia lebih
suka membeli bahan baju. Dia lebih baik nggak makan dari pada
nggak punya pakaian."
Sudah mulai genit, barangkali. Lulus dari SMP di tahun 1954,
Marti dan Yayuk memasuki Sekolah Guru Taman Kanak-Kanak (SGTK)
di Lempongsari, Semarang. Agak berandal juga "Kaladalam ulangan
Inggeris kami nggak bisa menjawab' cerita Yayuk kemudian,
"gurunya kami lempari surat - diajak nonton film." Si guru
terkadang mau.
Titiek Puspa - peraaya atau tidak -- adalah komponis do-re-mi.
Proses penciptaanya bisa cepat dan tiba-tiba. Lagu Bing selesai
di dalam pesawat Bouroq 15 menit. Anaknya, Petty, bercerita
tentang bagaimana ibunya mengarang lagu: "Dari WC mama kadang
berteriak -- minta pulpen dan kertas."
Kadang, waktu menghadapi tamu, Titiek minta permisi sebentar:
dalam kepalanya berkecarnuk sebuah bahan nyanyian, dan ia perlu
cepat-cepat mencoretkannya ke kertas. Di kertas yang tersedia
itu ia guratkan fragmen lagu yang menghinggapinya, dalam bentuk
not angka. Ia rupanya tidak sip dengan not balok. Dan not angka
itu, dalam bentuknya yang petama, juga tanpa tanda-tanda
lengkap.
Biasanya ia menyusun lagunya dalam keadaan rumah hening Hampir
sebagian besar dituliskannya pada dua buku besar - ukuran
kwarto, asli tertulis pulpen hitam.Sebagian lagi tersel ar pada
sobekan-sobekan ketas. Pada kejadian yang tak terlalu luar
biasa, penulisan liriknya diselesaikannya antara 3 yang pernah
dialaminya, selesai ia menutup sebuah pertunjukan di sebuah kota
di Sulawesi di awal Juli 1976.
Seorang wanita lacur tengah malam mendatangi tempat Titiek dan
rombongan menginap. Di dalam kamar, empat mata, mereka
berbicara. Wanita itu menumpahkan segala kegetirannya. Ia
bercerita tentang keinginannya untuk hidup seperti wanita lain.
Ia bercerita juga tentang kemustahilannya yntuk mendapatkan
cinta dari laki-laki ("kalau toh ada yang mencintai, ternyata
mereka sudah beristeri," kata Titiek mengungkapkan kembali). Ia
juga berkisah tentang bagaimana ia, untuk mengalamatkan hidup,
harus berbuat melebihi kemampuan. Pendeknya, sebuah thema
penderitaan, yang agaknya umum terdapat dalam dunia lampu
merah. "Wanita itu nangis di pangkuan saya," tutur Titiek. "Tak
tahan saya mendengar kisahnya. Dan di kamar itu kami bertangisan
sampai pagi."
Kepada wanita itu pulalah sebuah lagunya iapersembahkan. Lagu
itu, selesai 1 Juli 1977, berjudul Kupu-Kupu Malam. Ketika masuk
rekaman yang dinyanyikannya sendiri, judulnya diganti jadi Dia
Ingin Hidup. Dan Titiek memakai nama samaran Harius.
Ada yang benci dirinya
Ada yang butuh dirinya.
Ada yang berlutut menyintanya
Ada pula yang kejam menyiksa dirinya
*
Ini hidup wanita si Kupu Kupu Malam
Bekerja bertaruh seluruh jiwa raga
Bibir senyum kata halus merayu memanja
Kepada setiap mereka yang datang
*
Dosakah yang dia kerjakan
Sucikah mereka yang datang
Kadang dia tersenyum dalam tangis
Kadang dia menangis di dalam senyuman
*
Tiga dari empat bait syair itu tak akan membikin kita
tercengang. Seperti kebanyakan lirik nyanyian populer Indonesia,
di sana tak cukup "imager" yang orisinil, tak ada daya buat
menimbulkan lukisan yang hidup dan segar. Tapi Kupu-Kupu Malam
toh menarik. Berbeda dari lagu Titiek yang lain, ambillah Cinta
yang meluap deraskan "perasaan" dengan banir kata-kata hebat,
KupuKupu Malam pemiliki kesederhanaan dan kontrol.
Namun lebih dari itu adalah isinya, dan cara Titieh menyampaikan
isi itu sendiri: ada simpati, yang nampaknya tidak
dibikin-bikin. Ada semacam pertanyaan yah menggugat - tapi
dalam lagu itu disuarakan tanpa lengkung atau lengkihg suara.
Cukup degan nada yang hanyamengulangi baris bait petama:
"Dosakah yang dia kerjakan ? "
Mungkin tanpa disadarinya sendiri, Titiek telah masuk ke dalam
sesuatu yang kontroversial - seperti Rendra dalam Nyanyian
Angsa: sebuah pembelaan bagi pelacur, yang oleh moral umum
dikutuk . Maka Wienaktoe, pengamat musik yang cukup terkenal
itu, memberikan pujian: "Titiek makin mantap." Ia khusus
menyebut bahwa dengan Kupu-Kupu Malam, Titiek tak cuma berkisar
pada perkara cinta melulu, tapi juga "kehidupan sosial di
sekelilingnya." Untuk yang "tidak-cinta melulu" Wienaktoe
menyebut pula operette Idul Fitri Titiek.
Sebenarnya sejak dulu komponis yang berpendidikan Sekolah Guru
Taman Kanak-Kanak ini memang tak cuma menggeletar dengan cinta
doang. Ada sebuah album Titiek, diiringi kelompok band
Puspasari. Piringan hitam itu berisi 10 lagu. Tapi yang
menonjol dari kumpulan belasan tahun yang silam itu adalah Minah
Gadis Dusun dan Pantang Mundur.
Namun keduanya dibuat dalam masa "semangat Revolusi", tatkala
lagu cinta dengan lenguhan nafas bak dalam Sinyo Dendy pasti
bakal kena pelotot PKI, PNI, NU dan segenap anggota Front
Nasional. Maka maklumlah, jika ada yang kurang "tulen" di dalam
Pantang Mundur, betapapun merdunya. Mungkin yang "sosial"
dalam Kupu Kupu Malam lebih terasa wajar: compassion seorang
wanita kepada wanita lain yang penderitaannya tak bisa
dikisahkannya kepada seorang lelaki.
NAMUN pada dasarnya, Titiek Puspa adalah penghibur, bukan
komentator sosial. Ia biasa mendukung apa yang sudah disenangi
umum. Begitulah, hari-hari ini, setelah Benyamin S., setelah
penyanyi dang dut Latief, Titiek Puspa juga sedang menyelesaikan
pesanan lagu tentang pungli. Katanya: "Liriknya akan saya bikin
tidak terlalu keras. Saya harus hati-hati dong."
Kakak Soemarti, Gatot Sumarno, berbicara tentang adiknya: "Dia
suka bersiul. Siulannya kayak siulan anak lelaki dewasa.
Pokoknya di rumah siulannya maut." Ternyata sebelum lulus dari
SMP cewek yang suka bersiul dan siulannya maut ini jadi juara
pertarna nyanyi se-Semarang. Lagu yang dibawakannya: Bakhtera
Laju, yang pelan dan - mungkin cocok buat dia -- memberi peluang
untuk mendayu-dayu. Marti cuma diiringi piano, bas betot dan
sebuah drum. Cuping hidungnya mulai berkembang bangga setelah
itu.
Dan tiba-tiba, gadis yang suka main drama dalam peran laki-laki
ini, berubah nama jadi Titiek Puspa. Usul datang dari si Yayuk.
"Namamu jelek, ganti saa dengan Titit. " Waktu itu mereka belum
tahu "titit" bisa berarti lain di Jakarta - tapi alhamdullah
tidak jadi dipakai huruf "t" terakhir itu di sana. Malah yang
hampir jadi Titit segera jadi Titiek. Ditambah Puspa, ringkasan
nama keluarga Poespowidjojo.
Hampir setahun kemudian, Septern-. ber 1954, Titiek Puspa jadi
juara ke-II Bintang Radio jenis hiburan tingkat daerah RRI
Semarang. Mau jadi Penyanyi terus? Kakaknya yang perempuan,
Toeti, tak senang. Bapaknya takut kalau Soemarti, eh, Titiek,
jadi penyanyi betul. "Kalau kamu jadi penyanyi muka bapak mau
ditaroh di mana?" begitu cerita Titiek Puspa tentang reaksi
bapaknya, di zaman ketika penyanyi dianggap berada di luar garis
keterhormatan.
Tapi Gatot Soemarno, kini 44 tahun dan bekerja di sebuah PT di
Jalan Batuceper, Jakarta, punya pikirnya praktis. Ia dukung niat
adiknya, "daripada ia lari kepada hal-hal yang tidak baik." Tapi
di malam ulangtahun ke 40 Titiek itu, Yang gemerlap dan penuh
lagu serta ketawa, Gatot berkata: "Yah, saya nggak tahu kalau
dia mau jadi begini. " Ia menatap berkeliling.
Di tahun 1961 seorang pengawa rekaman Bali Record berkata
kepad Titiek Puspa: "Kalau nyanyi jangan pakai kembang-kembar
segala --lurus saja seperti penyanyi hiburan itu." Titiek"
terus saja pakai kembang-kembang dan lagu Batak yang
dinyanyikannya, Indada Siruiton, juga lagu Mochtar Embut Esok
Malam mau Kujelang dan Di Sudut Bibirmu, dengan cepat jadi
laku.
Ada suatu dorongan untuk tidak lurus-saja pada cara nyanyi
Titiek, yang juga tercermin dalam lagunya. Ia memberi liuk yang
berani pada lagu yang secara sopan diucapkan penyanyi lain.
Orang lain mendesir, Titiek mendesau. Orang lain menggunakan
bunyi "r" tanpa etek, Titiek mendobel bunyi itu jadi "rrr".
Sayang, hawa panas yang terasa dari ekspresi lagu-lagu Titiek,
seperti hawa rokok yang terus-menerus diisapnya bila mencipta,
bisa berlebihan. Lagu Tangis dan Cinta yang dinyanyikan' Eddy
Silitonga Insya Allah akan menolong remaja dari gigitan
"ccinnttaa". Tapi Eddy Silitonga terlanjur terdengar seperti
anak tiri dalam film Indonesia . . .
Betapapun, Titiek membuktikan bahwa pada dasarnya tak banyak
yang berubah dalam sentimentalitas unsur yang melariskan
lagu-lagu Indonesia sejak sejumlah tahun ini.
Sentimentalitas umum itu berada di semua umur. Mungkin akarnya
bisa dicari pada nyanyian rakyat Pasundan Dandarggula dan
Maskumambang di Jawa, atau kesayuan bunyi saluang di Minangkabau
atau kepada lagu rakyat Batak. Mungkin dari sini bisa ketahuan
bahwa roc, Country music, hanya melintas sementara. Mungkin
warna dasar musik kita kini dan kelak lebih dekat ke chansons
Perancis daripada ke swing Amerika. Tapi itu tentu baru dugaan.
Komponis, penyanyi dan publik Indo nosia masih terus mencoba
pelbagai variasi.
Titiek Puspa adalah tauladan yang jelas. Ia, di tahun 1957
pernah membawakan lagu lagu Melayu bersama O.M. Bukit Siguntang.
Tapi di tahun yang sarna ia merekam Papaya Cha Cha di'
Lokananta. Di hari kemudiannya ia bisa menciptakan nyanyian gaya
dangdut Hidupku Untuk Cinta -- yang populer sampai ke
tempat-tempat pelacuran. Tapi ia juga menulis operette dan
mencoba itu dalam film Bawang Merah. Hasilnya agak terlalu
Barat bagi kuping Indonesia.
Di samping itu, ia mencoba melintasi batas umur. Titiek belum
perlah men cipta untuk Duo Kribo Ahmad Albal dan Ucok, - yang
"keras"?, kata orang -- tapi ia menyaikan lagu untuk grup
penyanyi cewek remaja Arya Yunior. Judulnya Ciuman Pertama.
Menurut Anny Arifin, 18 tahun, dari grup itu, mereka memang
yang pesan kepada Titiek.
A. Riyanto, pencipta dan pemain terkemuka dari Favourite Group,
memuji lagu itu. "Syairnya ringan, bebas dan berani mengutarakan
segalanya?" katana. Bahkan lanjut pencipta yang berumur 34 dan
agak pemalu itu Ciuman Pertama "lincah, dan agak nakal
"mungkin pencerminan pribadi Titiek. "Malahan bila
dibandingkan dengan pencipta generasi yang lebih muda, Titiek
lebih berani," kata Ryanto.
Itu tak berarti bahwa Titiek, yang juga mencipta lagu buat
anak-anak Adi Bing Slamet, Santi Sardi din Debby (binti Oma
Irama), akan berhasil jadi pencipta untuk remaja di masa-masa
mendatang.
Titiek, tentu saja, bukan tanpa kegagalan.
Bintang Radio berpendar-pendar di tahun 50-an. Gelar itu diincar
oleh tiap calon penyanyi. Titiek Puspa dari Semarang tak pernah
mencapainya. Ia datang ke Jakarta di tahun 1954, untuk seleksi
nasional. Tapi yang diperolehnya hanya tanda tangan Bing Slamet
dan perkenalan dengan Syaiful Bachri almarhum.
Mulai tahun 1958 ia masih tetap mondar-mandir Semarang -
Jakarta. Tapi di RRI Jakarta ia bertemu dengan Zainal Ardi,
kepala seksi siaran. Mereka menikah setahun kemudian. Suami
isteri baru ini menetap di rumah keluarga Titiek di Jl. Raden
Saleh. Di tahun 1960 lahir Petty Tanjungsari. Dua tahun kemudian
Ella Puspasari. Beberapa saat setelah melahirkan anaknya yang
pertama, ia mencoba mengikat kontrak sebagai penyanvi kelab
malam Hotel Des Indes yang kini sudah dihancurkan itu dan jadi
Duta Merlin. Tapi baru beberapa malam, Titiek berhenti. "Saya
tak mau," kata Titiek kemudian, "sebab tiap habis nyanyi selalu
didekati oom-oom, saya jadi risi. "Di belakang panggung Titiek
menangis.
TANGIS Titiek masih panjang. Zainal, suaminya, berangkat ke
Jerman Barat untuk belajar di tahun 1964. Titiek kemudim main
dalam film, membintangi Minah Gadis Dusun - dari lagunya sendiri
- di bawah sutradara Waldi. Filmnya yang lain di bawah Usmar
Ismail adalah Di Bawah Cahaya Gemerlapan. Dan di antara
gemerlapan itu pula Titiek harus menghadapi krisis tergawat
dalam hidupnya Glamor, gebyar dan gemerlap menarik banyak orang
ke dunia uang dan kekuasaan. Dan Titiek pun dihubung-hubungkan
dengan Direktur Bank Sehtral Jusuf Muda Dalam. Pergolakan
terjadi di tahun 1965 - 1966. JMD jatuh, ia dijadikan salah saru
target kemarahan orang yang selama itu tertekan politik dan
ekonomi.
"Rasanya dulu sedih sekali," Titiek kini mengenang semua itu.
"Saya harus menghadapinya sendirian, sementara suami di luar
negeri".
Pulangnya sang suami toh akhirnya tak menyelesaikan kesatuan
rumah tangga. 1968, Zainal Ardi dan Titiek Puspa bercerai.
Hubungan mereka kemudian masih tetap baik. Ketika ulangtahun
yang ke 40 itu bapak si Petty dan si Ella ikut datang. Tapi
sejarah rumah tangga Titiek baru bisa berangkat lagi setelah
1970: ia menikah dengan Mus Mualim.
Musikus ini waktu itu juga sudah menduda, dengan anak tiga.
Mus, seumur, memang bukan orang baru dalam kehidupan Titiek.
Sejak tahun 1963 Mus Mualim-lah yang mengajarnya dalam
komposisi - dengan suaranya yang pelan, tubuhnya yang jangkung
besar dan kecakapan musiknya yang dikaguni Titiek.
Setelah mereka menikah, dan Mus menambahkan anaknya Noi ke dalam
keluarga baru itu, Mus tetap sebagai pendamping kerjanya.
Rumah di Jalan Sukabumi itu terasa sempit sekarang dengan 12
nyawa di dalamnya. Di depannya ada sebuah Mercy, sebuah Corolla
dan sebuah Fiat. Tapi rumah itu rasanya selalu terbuka, santai
tapi ramah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini