Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Seni yang Memprovokasi

Handiwirman menyajikan sisa-sisa kehidupan sehari-hari. Serpihan plastik, karet gelang, dan botol selai diolah sekenanya. Adakah ini sebuah karya seni?

30 Januari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA berbagai benda yang cukup aneh di Galeri Lontar. Beberapa gumpal kecil kapas bernoda, seikat rambut, plastik yang ditisik, sepotong kayu, beberapa kantong kain berisi perca, dan beragam obyek lainnya terpajang sebagai karya seni.

Seorang perupa muda asal Yogyakarta meragukan jati diri benda-benda yang dipamerkan itu. Ini menyimpang dari kelaziman karya seni pada umumnya.

Karya-karya Handiwirman menunjukkan bahwa kita tak dapat menetapkan sesuatu sebagai karya seni hanya dengan sekadar melihatnya. Jika tak ada tanda-tanda yang menyertainya, seperti kehadirannya di ruang galeri dan perangkat pendukung pameran, niscaya sulit bagi kebanyakan pemirsa untuk dapat menerima kehadiran benda-benda tersebut sebagai karya seni, apalagi jika karya-karya tersebut terletak di luar ruang galeri.

Sesungguhnya karya-karya Handiwirman tidak terlalu mengejutkan seperti kebanyakan karya seni masa kini yang kerap merepresentasikan rasa "ngeri" yang saat ini melanda masyarakat Indonesia. Mungkin keraguan terhadap karya Handiwirman adalah pada penampilannya yang remeh-temeh, yang seadanya.

Obyek temuan yang digunakan lebih banyak berupa sisa-sisa kehidupan sehari-hari yang sepele seperti rambut, benang, serpihan plastik, karet gelang, botol selai, dan perca yang kemudian diolah sekenanya. Bagaimana mungkin, misalnya, karya yang berjudul Tersudut, yang menampilkan sepotong kayu temuan seukuran kepalan tangan yang dililit oleh ikatan karet gelang, bisa dianggap sebagai karya seni? Beberapa kanvas yang tersaji pun memberikan gambaran yang meragukan, apakah coreng-moreng dan garis-garis canggung yang membentuk figur manusia itu dibuat oleh tangan seorang seniman?

Tetapi, apakah ada suatu keharusan tertentu agar sebuah garapan visual bisa dianggap sebagai karya seni? Arthur Danto, seorang filsuf seni ternama dari Amerika, menyebut situasi seni saat ini sebagai the end of art karena tidak ada lagi kepastian pengertian seni—berbeda dengan pada masa kejayaan modernisme. Sebagai konsekuensinya, makin banyak seniman yang muncul dan semakin beragam gagasan dan penampilan seni, yang sering disebut sebagai pluralisme.

Maka, setiap kecenderungan, setiap karya, sah untuk dinyatakan oleh pembuat dan pendukungnya sebagai karya seni. Saat ini, setiap perbincangan seni segera dihadang oleh cairnya beragam pendapat dan pemikiran sehingga sulit untuk sampai pada kesimpulan. Hal ini bisa dilihat sebagai hal yang menguntungkan karena membuka peluang pengembangan pemikiran seni rupa di Indonesia. Justru yang berbahaya adalah ketika timbul usaha untuk meniscayakan pengertian seni, dan memaksakan keniscayaan tersebut sebagai nilai yang berlaku.

Dalam hal ini, harus diakui bahwa Handiwirman telah mendapatkan pengakuan tersebut. Tentunya pengakuan tersebut muncul karena kekuatan karya Handiwirman cukup orisinal dalam peta seni rupa kontemporer di Indonesia.

Penampilan dan pengerjaan yang seolah apa adanya, yang tak mencitrakan apa-apa, justru menjadi kekuatan karya Handiwirman. Pertama, karya-karyanya secara tidak langsung seperti membangun sinisme terhadap "keagungan" dan "kedalaman" seni. Karena itu, sang seniman juga menjaga agar karya-karyanya tidak mudah untuk dikategorikan—sebagai patung, instalasi, atau lukisan. Agaknya, hal itu yang menyebabkan kurator pameran ini menggolongkan karya Handiwirman sebagai "obyek". Kedua, kehadiran obyek-obyek yang tidak memiliki citra yang pasti justru memberi peluang terbangunnya interpretasi lebih lanjut. Hampir semua karya Handiwirman mampu membangkitkan asosiasi yang berbeda dari setiap pengamat.

Yang menarik, sesuai dengan pengakuannya, Handiwirman justru amat menikmati pengolahannya sebagai pengalaman artistik yang menyenangkan. Walaupun berkesan seadanya, karya-karya tersebut disusun melalui proses panjang dan perjalanan perenungan yang lama dan melelahkan, yang disebut oleh kurator pameran tersebut, Asikin Hasan, sebagai "jalan sulit". Untuk itu, acungan jempol perlu diberikan bagi Galeri Lontar, yang telah berani mengambil jalan sulit dengan memamerkan karya-karya yang menyempal dari kecenderungan umum. Sayangnya, penampilan karya-karya Handiwirman di Galeri Lontar menjadi kurang optimal karena karya-karya seperti itu menghendaki ruang yang bersih dan perfek serta tata cahaya yang baik.

Asmudjo J. Irianto (pengamat seni rupa)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus