Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Pelangi Memenuhi Cakrawala

Dwijo Sukatmo memamerkan komposisi warna. Ia identik dengan pelangi.

30 Januari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PAMERAN TUNGGAL VII
Karya:Dwijo Sukatmo
Tempat:Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki, Jakarta
DWIJO adalah pelangi. Dalam 10 tahun terakhir ini, tampaknya, belum ada seorang pelukis yang secara sadar menggeluti komposisi warna sebagai ekspresi keseniannya yang paling personal seperti Dwijo Sukatmo. Memamerkan 44 lukisan dengan akrilik di atas kanvas—20 di antaranya tergolong besar—ia mendendangkan optimisme hidup. Bagai lukisan klasik Cina atau Jepang, sejumlah karyanya digelar tanpa bingkai, kecuali pada dua sisi kanvas, di atas dan di bawah, sebagai penguat. Ia semakin mantap akan komposisi warna sebagai pernyataan sikap hidupnya. Judul-judul lukisannya menandai suatu tempat di Timur Tengah, Yordania dan Palestina, yang dikunjunginya, yang sebenarnya tak perlu benar. Menikmati karyanya, katakanlah, seperti menikmati es krim, apa pun nama es krim itu. Kesedapannya yang menggoyang lidah adalah segala-galanya.

Judul-judul yang menghubungkan dengan nama-nama seperti Amman, Petra (gedung yang dipahat di dinding pegunungan, tempat Steven Spielberg dengan film serinya, Indiana Jones, melakukan syuting), Nebo, Madaba, Jerusalem, Bethlehem, dan Masjidil Aqsha merupakan obsesi seseorang yang sudah sejak kecil menggeluti Mahabarata dan Ramayana. Dan Dwijo menganggap ada benang merah yang menghubungkan tanah tempat jejak rasul menapak dengan jejak Pandawa melawan Kurawa di medan peperangan Kurusetra dalam Baratayuda. Lukisan macam apakah itu dengan judul Ketika Bismo Gugur dengan Suasana Sekeras Petra? Apalagi jika dikembalikan pada lukisannya sebagai perwujudan bentuk. Murni sebagai jajaran warna. Sungguh, Dwijo tidak memerlukan judul untuk semua lukisannya karena semuanya adalah pelangi. Apakah ada yang lebih indah dari pelangi ketika sapuan berbagai warna yang melengkung di atas air terjun atau danau itu seolah khusus disuguhkan kepada mata dan hati kita?

Ia berterus terang terpikat oleh karya-karya para futuris, misalnya Umberto Boccioni, Giacomo Balla, serta Robert dan Sonia Delauney, yang karya-karyanya disebut bagai berpacu dengan waktu. Cara ungkap Dwijo pada karyanya terkadang tampak bagai langkah percepatan, waktu yang berjalan, dan perubahan gerak yang simultan. Namun, Dwijo sesungguhnya asyik mengurai warna dari prisma. Terdiri atas bidang-bidang kecil yang tumpang-tindih, garis yang samar-samar, dan warna-warna yang berselang-seling, merah-biru-hijau-violet-oranye-kuning, karyanya merupakan komposisi yang tak ada habis-habisnya. Dari sini tampak Dwijo khusus menekuni kekuatan warna dan menampik yang lain dari bentuk itu. Apa saja yang muncul di depan matanya tidak lain adalah susunan warna, seperti anak kecil yang belajar melukis dengan hanya menaruhkan berbagai warna sekenanya di atas kertas gambarnya.

Bentuk-bentuk figuratif yang sekilas membayang—manusia, binatang, ataupun wayang kulit—tidak menyapa kita. Sedangkan masalah-masalah sosial yang ia coba munculkan lewat metafora tokoh-tokoh binatang—rajawali, badak, gajah, keong, kuda—dapat dilihat sebagai nuansa. Bagaimana mungkin memberi judul untuk sebuah pelangi? Yang menarik juga adalah 23 lukisannya yang tanpa spanram, menjuntai dari langit-langit gedung merambah lantai, hingga seolah tak terganggu amat jika lukisan itu terinjak penonton. Ia sempat mendemonstrasikan kualitas kanvasnya yang dikerjakan oleh istrinya. Ia meremas kanvasnya, dan lukisan itu tidak rusak, bahkan kembali halus seperti semula. Karena itu, setiap ada undangan berpameran di luar negeri, ia bisa menggulung lukisannya masuk bagasi pesawat, lalu ke gedung pameran ia menenteng gulungan lukisan itu nangkring di pundaknya bagai prajurit memanggul senjatanya.

Dwijo, 50 tahun, dari Akademi Seni Rupa Surabaya, telah merambah ke khazanah "seni lukis murni". Tak berbicara tentang kritik sosial, Dwijo mendendangkan keindahan warna. Dalam angkasa seni rupa nasional, Dwijo sungguh menjanjikan sebagai pelukis besar. Bagai petapa yang mengucilkan diri di dalam kamar sebuah gubuk di puncak gunung, Dwijo ditemani komposisi warna yang puluhan lembar jumlahnya itu—sebagai sahabat ngobrol-nya. Semua karyanya bahkan merupakan jalan tak ada ujung, sebuah galeri warna yang tak dapat dipilih, karena warna-warna itu adalah komposisi pilihan. Dwijo adalah pelangi.

Danarto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus