Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
|
Judul-judul yang menghubungkan dengan nama-nama seperti Amman, Petra (gedung yang dipahat di dinding pegunungan, tempat Steven Spielberg dengan film serinya, Indiana Jones, melakukan syuting), Nebo, Madaba, Jerusalem, Bethlehem, dan Masjidil Aqsha merupakan obsesi seseorang yang sudah sejak kecil menggeluti Mahabarata dan Ramayana. Dan Dwijo menganggap ada benang merah yang menghubungkan tanah tempat jejak rasul menapak dengan jejak Pandawa melawan Kurawa di medan peperangan Kurusetra dalam Baratayuda. Lukisan macam apakah itu dengan judul Ketika Bismo Gugur dengan Suasana Sekeras Petra? Apalagi jika dikembalikan pada lukisannya sebagai perwujudan bentuk. Murni sebagai jajaran warna. Sungguh, Dwijo tidak memerlukan judul untuk semua lukisannya karena semuanya adalah pelangi. Apakah ada yang lebih indah dari pelangi ketika sapuan berbagai warna yang melengkung di atas air terjun atau danau itu seolah khusus disuguhkan kepada mata dan hati kita?
Ia berterus terang terpikat oleh karya-karya para futuris, misalnya Umberto Boccioni, Giacomo Balla, serta Robert dan Sonia Delauney, yang karya-karyanya disebut bagai berpacu dengan waktu. Cara ungkap Dwijo pada karyanya terkadang tampak bagai langkah percepatan, waktu yang berjalan, dan perubahan gerak yang simultan. Namun, Dwijo sesungguhnya asyik mengurai warna dari prisma. Terdiri atas bidang-bidang kecil yang tumpang-tindih, garis yang samar-samar, dan warna-warna yang berselang-seling, merah-biru-hijau-violet-oranye-kuning, karyanya merupakan komposisi yang tak ada habis-habisnya. Dari sini tampak Dwijo khusus menekuni kekuatan warna dan menampik yang lain dari bentuk itu. Apa saja yang muncul di depan matanya tidak lain adalah susunan warna, seperti anak kecil yang belajar melukis dengan hanya menaruhkan berbagai warna sekenanya di atas kertas gambarnya.
Bentuk-bentuk figuratif yang sekilas membayangmanusia, binatang, ataupun wayang kulittidak menyapa kita. Sedangkan masalah-masalah sosial yang ia coba munculkan lewat metafora tokoh-tokoh binatangrajawali, badak, gajah, keong, kudadapat dilihat sebagai nuansa. Bagaimana mungkin memberi judul untuk sebuah pelangi? Yang menarik juga adalah 23 lukisannya yang tanpa spanram, menjuntai dari langit-langit gedung merambah lantai, hingga seolah tak terganggu amat jika lukisan itu terinjak penonton. Ia sempat mendemonstrasikan kualitas kanvasnya yang dikerjakan oleh istrinya. Ia meremas kanvasnya, dan lukisan itu tidak rusak, bahkan kembali halus seperti semula. Karena itu, setiap ada undangan berpameran di luar negeri, ia bisa menggulung lukisannya masuk bagasi pesawat, lalu ke gedung pameran ia menenteng gulungan lukisan itu nangkring di pundaknya bagai prajurit memanggul senjatanya.
Dwijo, 50 tahun, dari Akademi Seni Rupa Surabaya, telah merambah ke khazanah "seni lukis murni". Tak berbicara tentang kritik sosial, Dwijo mendendangkan keindahan warna. Dalam angkasa seni rupa nasional, Dwijo sungguh menjanjikan sebagai pelukis besar. Bagai petapa yang mengucilkan diri di dalam kamar sebuah gubuk di puncak gunung, Dwijo ditemani komposisi warna yang puluhan lembar jumlahnya itusebagai sahabat ngobrol-nya. Semua karyanya bahkan merupakan jalan tak ada ujung, sebuah galeri warna yang tak dapat dipilih, karena warna-warna itu adalah komposisi pilihan. Dwijo adalah pelangi.
Danarto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo