Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Seperti penataran pegawai

Pekan teater nontradisional diselenggarakan untuk kemampuan teknis teater daerah. pemerintah mengadakan festival teater remaja dan pekan teater antar kota sebagai rangsangan aktivitas teater. (ter)

18 Oktober 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENONTON teater kok pada mengenakan baju safari, atau seragam batik, dan lencana Korpri. Tapi itulah memang suasana yang tidak biasa di TIM, Jakarta, pekan lalu, di dua gedung pertunjukan sekaligus -- Teater Arena dan Teater Terutup. Bahkan inilah pertama kalinya, kalau tak salah, seorang menteri P & K berbicara tentang pentingnya kesenian yang bernama drama. Maka, tidak main-main, setiap malam disuguhkan tak kurang dari tujuh pementasan sekaligus -- kecuali di malam keempat atau terakhir, yang hanya enam. Ini bukan festival. Ini Pekan Teater Nontradisional -- begitu namanya yang, seperti dikatakan E.X. Soetopo, Direktur Kesenian Departemen P & K, tidak mencari pemenang. "Pekan teater ini minimal memantau sampai di mana kemampuan teknis yang dimiliki daerah-daerah," ujar Soetopo. Daerah-daerah? Memang, kegiatan ini diikuti wakil-wakil dari keseluruhan 27 provinsi di Indonesia. Dan semua kerepotan itu dipersiapkan sejak delapan bulan sebelumnya, saat Direktorat Kesenian mengirim naskah ke semua ibu kota provinsi untuk dipelajari. Memang tak harus memakai naskah droping itu -- sepanjang ada naskah lain di sana. Bahkan panitia pusat menganjurkan -- tidak mengharuskan -- agar kontingen sedapat mungkin memasukkan unsur daerah ke dalam pementasan mereka, naskah mana pun yang mereka ambil. Dan itu memang terlaksana, kecuali yang dari Timor Timur dan Sulawesi Tengah -- yang memilih naskah pusat, masing-masing Pelangi N. Riantiarno dan Fajar Sidik Emil Sanossa. Irian Jaya, yang memakai naskah sendiri, juga tidak membawakan suasana daerah apa pun seiring dengan pemilihan para pemegang perannya yang kebetulan juga bukan putra daerah. Sebetulnya, keterlibatan pemerintah Departemen P & K -- di bidang teater sudah dimulai pada 1962, ketika diselenggarakan Musyawarah Teater Nasional di Yogyakarta, yang membentuk Badan Pembina Teater Nasional Indonesia (BPTNI) di beberapa provinsi. Mulai waktu itu pula muncul gagasan pekan teater yang sebanyak mungkin melibat orang daerah. Tahun 1971 misalnya, P & K mengadakan pekan teater empat kota: Palembang, Ujungpandang, Banjarmasin, Surabaya. Lima tahun kemudian, pekan ini diikuti Medan, kembali Ujungpandang, Padang, dan Bandung. Dua tahun kemudian, 1978, pekan teater enam kota semua kota tersebut, minus Surabaya. Semua kegiatan ini berlangsung di Jakarta. Lha, di mana wakil tuan rumah? Ah -- Jakarta sudah ramai dengan kesenian semacam itu: tak perlu dibina lagi. Memang, di Jakarta ada Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Dan DKJ memusatkan aktivitasnya di Taman Ismail Marzuki (TIM). Yang dilakukan DKJ di akhir 1970-an, misalnya, bisa memberi gambaran cara dewan itu membina teater. Berbareng dengan berkurangnya frekuensi pementasan tiga sutradara penting -- Rendra, Arifin C. Noer, Teguh Karya -- DKJ meng-"uji coba" sutradara-sutradara yang dinilai mampu mengisi panggung-panggung TIM. Dari sini Putu Wijaya muncul dengan teguh dan menjadi tokoh lain. Di belakangnya, N. Riantiarno. Juga Ikranagara. Cara lain: mengadakan festival teater remaja -- yang pemenangnya kemudian "dibina", paling tidak dalam arti diberi subsidi -- lewat gelanggang-gelanggang remaja. Dan yang terakhir, yang tidak urung menyangkut wilayah di luar Jakarta, adalah menyelenggarakan pekan teater antarkota dengan catatan: para pengikut tidak mewakili daerah, melainkan grup. Dari kegiatan terakhir ini kemudian (1980) lahir pertemuan antarorang teater berbagai kota, yang diberi nama keren: Rapim Teater. Dan dari situ muncul pekan teater, seperti yang diselenggarakan di Padang bulan Agustus lalu. Lah, apa beda kegiatan itu dengan kcrepotan P & K? "Ini swasta penuh. Termasuk dananya. Daerah yang diundang betul-betul punya grup yang baik. Kota penyelenggaranya Juga harus membuktikan punya grup yang baik." Ini kata Ikranagara, salah seorang peserta "rapim" tadi, yang untuk acara di Padang itu menjadi panitia pengarah. DKJ, katanya, sebetulnya tak terlibat dalam kegiatan ini -- apalagi dewan itu kan bukan lembaga tingkat pusat. "Tapi DKJ sebagai yang melahirkan Rapim Teater diminta memberi rekomendasi tentang grup mana yang pantas diundang" Memang, kalau bicara soal hasil, teater swasta ini lebih bermutu dibandingkan teater pemerintah. "Penampilan grup teater remaja di Jakarta jauh lebih bagus ketimbang peserta pekan Departemen P & K ini," kata Ikra -- yang menjadi salah seorang dari 15 pengamat kegiatan pemerintah itu. Memang, Jakarta, yang menampilkan Pak Dullah in Extrimis (Achdiat K. Mihardja), tidak hanya mengecewakan para pengamat (selain Ikra Umar Kayam, Wahyu Sihombing Riantiarno, Tatiek Maliyati, Saini K.M., Sujatna Anirun, antara lain), tapi juga mengecewakan orang-orang daerah sendiri, yang -- dengar-dengar -- merasa tidak mendapat bandingan yang layak. Tapi mutu memang belum tujuan, sih. Selain maksud memantau, sepcrti yang sudah dikatakan Soetopo, "pekan teater ini untuk saling bertukar pikiran orang teater antardaerah," kata Kasim Achmad, Kepala Subdirektorat Teater, Direktorat Kesenian P & K. Karena itu, pada siang harinya, diadakan diskusi dan ceramah -- antara lain oleh Arifin C. Noer. "Di beberapa daerah kegiatan teater nontradisional begini masih asing," kata Kasim Achmad, mencoba memberi pengertian. Tapi kenapa teater nontradisional (panitia menyebut istilah ini untuk mengganti "teater modern")? Kenapa tidak teater rakyat yang sudah berakar di daerah masing-masing saja? "Lho, ini Departemen P & K. Tugasnya memang itu," jawab Kasim. Dalam buku petunjuk kegiatan ini memang tertulis, "perkembangan teater modern di Indonesia tidak merata untuk menjaga keseimbangan pertumbuhan, perlu pembinaan yang serasi." Karena itu pula kegiatan akbar ini direncanakan untuk dua tahun sekali. Hanya, kontingen yang dikirim ke Jakarta itu memang tidak meyakinkan sebagai wakil-wakil dari aktivitas riil di daerah selain Kalimantan Selatan, yang punya orang teater seperti Adjim Arijadi, ataupun Yogya. Kontingen Maluku mempersiapkan diri sebulan sebelum kegiatan, dan baru membentuk grup. Kebetulan, itulah pula grup teater pertama di sana, konon. Suasana di TIM memang jadi unik. Selama empat hari, sampai Kamis pekan lalu, dua gedung teater penuh dengan suguhan seperti pada perayaan 17 Agustus di kota-kota kecil, dengan para wakil daerah yang sedang tidak main -- bersama para ofisial -- diwajibkan menonton. Ini sebenarnya penataran pegawai.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus