SETELAH beberapa bulan antena parabola bermunculan di atap perumahan-perumahan mewah, pekan lalu, di Departemen Penerangan, Dirjen Radio Televisi & Film Drs. Subrata bersama Dirjen Pos & Telekomunikasi Ir. Abdulrachman merinci peraturan penggunaan penangkap siaran televisi itu. Peraturan yang berdasarkan Surat Keputusan yang dikeluarkan Direktur Jenderal Radio Televisi Film bersama Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi itu, intinya, bahwa antena parabola hanya boleh digunakan untuk menangkap siaran Televisi Republik Indonesia. Peminat antena parabola yang belum sempat membeli boleh jadi membatalkan niat mereka memasang perangkat canggih itu. Maklum, yang menarik dari antena parabola ini, terutama bagi awam, justru karena bisa menangkap siaran luar negeri. Kalau cuma untuk siaran TVRI, 'kan bisa pakai antena biasa. Menurut Subrata, antena parabola itu manfaatnya justru besar di daerah-daerah. "Khususnya, daerah blank spot, yang tidak bisa menerima siaran TVRI," katanya. Yang dimaksud dengan daerah blank spot adalah kawasan yang karena keadaan lingkungannya sulit menerima siaran. Misalnya, di daerah bergunung-gunung. "Di Jawa Barat saja ada blank spot area, seperti Sukabumi Selatan dan Garut," tambah Subrata. Saat ini, dengan 9 stasiun penyiaran dan 205 stasiun pemancar, TVRI baru bisa menjangkau 35% wilayah Indonesia. Maka, peraturan pemakaian antena parabola yang baru dikeluarkan dimaksudkan pula mengarahkan penyebaran siaran TVRI, bukan hanya sekadar memasalahkan penerimaan siaran di rumah-rumah pribadi. Pada pengaturan antena parabola itu memang dicantumkan pasal mengenai kewajiban yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang memanfaatkan antena jenis itu untuk menyiarkan kembali siaran TVRI. "Penyelenggara ini harus berbentuk badan hukum," kata Subrata. Dan, prioritas penyelenggara akan diberikan pada koperasi di daerah-daerah terpencil. Peraturan itu menyebutkan bahwa antena parabola hanya boleh diarahkan ke satelit Palapa, dan tidak diperkenankan diarahkan ke satelit lain guna menangkap siaran luar negeri. Dan, Palapa memang bukan satu-satunya satelit yang bisa memancarkan siaran ke Indonesia. Di atas khatulistiwa terdapat sejumlah besar lingkaran orbit satelit posisi geostasioner satelit -- pada ketinggian 3.500 kilometer. Sebelum peraturan bersama dikeluarkan, berbagai penawaran antena parabola menyebutkan bahwa siaran yang bisa ditangkap meliputi televisi Filipina, Australia, bahkan televisi Amerika yang dipancarkan ke Hawaii. Kendati secara teoretis mungkin, toh sampai kini tak pernah ada sebuah peta satelit yang bisa menunjukkan satelit mana saja yang memancarkan siaran televisi. Pengarahan antena untuk menangkap gelombang radio dengan frekuensi GHz (Giga Hertz) dari DBS (Direct Broadcasting Satellite) juga tidak mudah, karena langkanya data konfirmasi di Indonesia. Dan, yang membuat penawaran ini menjadi mahal, diperlukan antena parabola khusus dengan diameter sangat besar. Di Amerika Serikat, sebuah antena parabola memang bisa diarahkan untuk menangkap sekitar 25 satelit. Kemungkinan ini berhubungan langsung dengan posisi geostasioner satelit yang tidak berjauhan, dan sebagian besar memang menyiarkan siaran televisi. Di samping itu, data konfirmasi untuk pemasangan dan pengarahan antena mudah didapat. Yang utama adalah peta posisi geostasioner satelit, dan peta posisi antena di bumi yang dihitung antara lain dengan inklinometer, untuk memperhitungkan arah antena pada garis besar. Juga informasi koreksi magnetik untuk mendapatkan arah yang akurat. Data ini didapat berdasarkan peta survei geodetik lokasi penting terdekat. Kendati kemungkinannya memang kecil untuk bisa menangkap satelit asing, misalnya DBS televisi Amerika, peraturan mengenai antena parabola tegas menggariskan larangan. Inilah yang dimaksudkan, arah antena hanya boleh ke Palapa. Larangan ini bermuara pada pertimbangan bahwa antena parabola dapat menimbulkan dampak langsung di bidang ideologi, ekonomi, dan soslal-budaya. Kalaupun antena parabola diarahkan hanya ke satelit Palapa, masih ada juga siaran luar negeri yang bisa ditangkap. Siaran-siaran itu berasal dari televisi Malaysia dan Muangthai. Hal ini diakui oleh Subrata. "Negara-negara tetangga itu memang penyewa transponder Satelit Palapa," katanya. Tapi, Dirjen kembali menegaskan, menangkap siaran-siaran luar negeri itu termasuk yang tidak diperkenankan. Toh, Subrata mengakui bahwa sulit mengontrol apakah antena parabola hanya menangkap TVRI atau juga diarahkan menerima siaran televisi Muangthai dan Malaysia. "Tentang ini diperlukan kesadaran nasional untuk memegang teguh dan mematuhi peraturan yang dikeluarkan," katanya. Ancaman hukum bila peraturan-peraturan itu dilanggar tercantum pada Surat Keputusan yang dikeluarkan Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi. Disebutkan, tuntutan didasarkan pada, antara lain, Undang-Undang Telekomunikasi, yang memungkinkan izin penggunaan antena dicabut. Untuk memudahkan pengontrolan, pada peraturan bersama yang diumumkan pekan lalu itu tercantum keharusan mendaftarkan antena parabola untuk mendapatkan izin. Untuk perizinan itu masih ada ketentuan lain, antena parabola harus buatan dalam negeri. Masa pendaftaran, selambat-lambatnya tiga bulan setelah peraturan diumumkan. Berdasarkan daftar pemilik itu, kelak akan digariskan pula ketentuan mengenai iuran pemilik antena parabola. "Hal itu masih dibicarakan dengan Departemen Keuangan," ujar Dirjen Pos dan Telekomunikasi Abdulrachman. Jim Supangkat, Laporan Indrayati (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini