Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Kanvas-Kanvas Miliaran Rupiah

Gonjang-ganjing harga lukisan semakin ramai. Hasil penjualan oleh satu balai lelang di Indonesia dua tahun belakangan bisa mencapai belasan miliar rupiah. Di antara nama pelukis senior, muncul nama pendatang baru dengan harga palu yang fantastis. Harga palu merupakan hasil proses rebutan para bidder yang meningkat hingga tiga kali dari harga estimasi. Harga estimasi itulah yang merupakan gambaran harga di pasar. Belum lagi lukisan-lukisan pelukis muda yang dipamerkan di galeri. Puluhan lukisan bisa laku keras jauh sebelum karya itu sempat digantung di dinding. Kenapa para kolektor dan pialang begitu bernafsu menguasai pasar lukisan itu? Bagaimana para pengamat dan kolektor itu bisa mempengaruhi gaya lukisan seorang seniman? Dan bagai-mana pula gaya hidup para seniman dengan harga jual lukisan yang gila-gilaan itu?

11 Agustus 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di antara aroma dupa, alunan gamelan Bali dari sebuah tape recorder, dan kicauan burung perkutut, Made Sukadana menyemprot imajinasinya ke atas kanvas. Dua dari sepuluh burung perkutut koleksinya dia beli dengan barter lukisan karyanya seharga masing-masing Rp 25 juta. "Katanya burung ini keturunan perkutut juara, makanya mahal harganya," ujar Sukadana di rumahnya di kawasan Sidoarum, Godean, Yogyakarta. Dengan sebuah rumah megah yang lengkap dengan studio dan buku-buku serta dua mobil, satu Toyota Kijang baru berwarna metalik dan satu sedan Corolla Altis merah yang gres, Sukadana seolah memiliki dunia. Tak cukup dengan itu semua, Sukadana merasa harus punya sebuah buku tentang dirinya dan karyanya dalam bahasa Inggris setebal 320 halaman. Judulnya adalah Made Sukadana, Coping with Shock and Turmoil dan ditulis oleh kritikus seni rupa Suwarno Wesotratomo. Untuk memiliki buku itu, pencinta karyanya bisa merogoh kocek Rp 500 ribu. Belum puas? Anda tinggal mengeklik www.madesukadana.com di dunia maya dan Anda akan memasuki dunia penciptaan pelukis asal Bali ini. Made Sukadana adalah fenomena yang tengah terjadi di dunia seni rupa Indonesia: pelukis muda, kaya raya, yang karyanya sudah pasti ludes di setiap pameran bahkan sebelum lukisannya selesai digantung di dinding. Harga dan mutu sudah tak jelas arahnya. Bagaimana Made di antara ratusan pelukis lain bisa melejit, misalnya, juga sangat menarik. Lahir di Karang Asem, Bali, 36 tahun yang lalu, lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ini semula tampil dengan corak lukisan yang sama dengan pelukis Bali lainnya, yakni abstrak ekspresionis. Selama itu, karya lukisnya tidak begitu banyak diserap pasar seni lukis. Dan itu bukan hanya karena memang corak ini merupakan corak yang umum bagi pelukis Bali kontemporer, tapi juga, menurut Made Sukadana, karena banyak orang yang tidak langsung mengerti karya lukisnya. Suatu ketika dia bertemu dengan seorang pengamat lukisan yang menyarankan agar dia menyelipkan bentuk-bentuk wayang dalam karya lukis abstraknya karena toh Made Sukadana punya akar seni tradisi Bali yang akrab dengan wayang. Sewaktu bersekolah di Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Denpasar, Sukadana memang pernah secara khusus belajar selama sebulan di Kamasan, Bali. Sukadana setuju dengan saran itu. Dia mulai mencoba tiga lukisan bertema wayang dan cerita dari daun lontar (rerajahan) pada Januari 2000. Sapuan-sapuan kuas dalam tarikan panjang yang menghasilkan bentuk-bentuk abstrak tampil dengan warna berat, yang diisi dengan sosok wayang. Karena dia berencana mengadakan pameran di Galeri Moon Décor, Jakarta, pada Februari 2000, tiga karya itu segera dikirim dan ternyata langsung disabet kolektor. Dia membuat 10 lukisan lagi, dikirim lagi, dan langsung habis. Ketika berpameran di galeri itu, Made Sukadana menyiapkan 42 lukisan yang bercorak wayang. Sebelum pameran dibuka, sebagian besar lukisanya sudah dibeli kolektor. "Berapa saja saya buat lukisan, langsung bablas. Sekarang saya teler," katanya lugu. Ia kini rata-rata menyelesaikan 10 lukisan dalam sebulan. Lukisannya paling murah seharga Rp 9 juta dan paling mahal Rp 17,5 juta. "Saya tidak mengejar pasar, tapi pasar yang tiba-tiba menyergap lukisan saya," ujar ayah dua anak ini. Apa yang tengah terjadi sesungguhnya? Siapa yang bisa mendongkrak harga lukisan karya Sukadana itu? Itulah situasi pasar seni rupa Indonesia masa kini.Tak aneh jika ada ucapan sinis bahwa jika Anda ingin bisa mendadak kaya, jadilah pelukis. Itu saran yang ekstrem. Sukadana tentu saja bukan pelukis dadakan seperti para artis atau ibu rumah tangga yang menyulap diri menjadi pelukis yang berpameran di lobi hotel-hotel. Sukadana adalah satu dari ratusan fenomena yang terjadi dua tahun belakangan ini. Para perupa muda berusia 25 hingga 30 tahun memiliki bakat (meski belum sepenuhnya terasah), produktif, "tersentuh" orang yang paham jalur, dan kemudian menjadi kesayangan para kolektor. Begitu banyak galeri baru yang muncul, jumlah kolektor potensial meningkat, art dealer pun semakin agresif, dan balai lelang penuh dengan bidder (peserta lelang) yang bernafsu merebut karya lukis yang ditawarkan. "Pasar sekarang membuat seniman lebih sejahtera," kata Oei Hong Djien, kolektor kondang dari Magelang, Jawa Tengah. Simaklah hasil Balai Lelang Larasati di Jakarta pada 21 April silam. Total penjualannya mencapai angka Rp 13 miliar, yang sebagian besar dari hasil lelang karya lukis. Di antara pelukis senior itu muncul nama pendatang baru dengan harga palu yang fantastis. Sebut saja Gusti Agung Mangu Putra, pelukis muda yang karyanya lepas dengan harga palu Rp 100 juta. Ada juga karya lukis Pande Ketut Taman, lulusan ISI Yogyakarta, dengan corak baru figuratif Bali, yang lepas dengan harga Rp 50 juta. Karya Nasirun, pelukis muda Yogyakarta yang sudah cukup punya nama, laku dengan harga Rp 32 juta. Karya lukis figuratif Nyoman Masriadi, yang sangat khas mengeksplorasi figur raksasa, lepas dengan harga Rp 55 juta. Padahal, pada 1999, karya lukis Masriadi masih seharga Rp 5 juta. Memang harga palu dalam sebuah lelang tidak menggambarkan harga di pasar. Biasanya, menurut Amir Sidharta, kurator Balai Lelang Larasati, harga palu merupakan hasil proses rebutan para bidder yang meningkat 2 hingga 3 kali dari harga estimasi. Harga estimasi itulah yang merupakan gambaran harga di pasar. Tapi harga estimasi itu sudah merupakan nilai puluhan juta rupiah yang masuk kantong pelukis sebelumnya. Oei Hong Djien menggambarkan semaraknya bisnis karya lukis saat ini sebagai era pelukis. "Pelukislah kini yang berperan," kata Hong Djien, yang juga dikenal sebagai pengusaha tembakau. Ini sangat berbeda dengan situasi pada dasawarsa sebelumnya, ketika pelukis dengan wajah memelas dan kening bersimbah peluh bak pedagang keliling membawa karyanya dari satu galeri ke galeri lain. Kini kolektor, galeri, dan art dealer antre berharap memperoleh karya lukis seniman. Karya lukis Sudana Putra, 24 tahun, laku dalam lelang seharga Rp 28 juta. Dan esoknya, kolektor sudah berebut membeli karya pelukis lulusan ISI Yogyakarta ini sebelum pameran tunggalnya dibuka di sebuah galeri di Jakarta. Jika tidak berhasil memperoleh karya lukis di galeri, kolektor dan art dealer menyerbu ke rumah seniman. Situasi inilah yang kemudian melahirkan harga yang tidak keruan. Hukum pasar bermain untuk karya lukis, yang sesungguhnya tak bisa disamakan dengan mobil, barang elektronik, atau komoditi industri lainnya. "Pelukis terdorong menaikkan harganya berlipat-lipat dalam waktu singkat. Padahal jam terbangnya belum memadai," kata Hong Djien. Biasanya pelukis menetapkan sendiri harganya dengan menyesuaikan diri dengan pelukis yang sekelas dengan dirinya. Tapi tak sedikit pelukis yang kikuk memberikan harga. Maka galeri dan art dealer menjadi pihak yang lebih aktif menentukan harga. "Perupa kurang punya peran menentukan harga lukisan," kata pengamat seni rupa Agus Dermawan T. Tapi, karena kualitas karya yang menjadi salah satu alat ukur untuk menetapkan harga menjadi sangat subyektif, setiap galeri ataupun art dealer biasanya menerapkan harga yang berbeda. Kecenderungan umum harga karya pelukis pemula yang dianggap memiliki karakter mulai bergerak dari Rp 1 hingga 3 juta. Galeri biasanya lebih konservatif dalam menggerakkan harga menjadi lebih tinggi. Tapi ada pemain bebas yang memiliki modal besar bisa lebih mudah memainkan harga. Karya lukis seniman yang dianggap memiliki prospek bagus segera diborong dalam partai besar yang bisa menghabiskan dana ratusan juta rupiah sekali transaksi. Pelukis mana yang tak terbelalak matanya dengan uang sebesar itu. Masa penderitaan selama mahasiswa hilang sudah digantikan lembaran rupiah dalam hitungan puluhan hingga ratusan juta. Dari sinilah permainan dimulai. Pasar pun disiapkan dengan promosi dari mulut ke mulut tentang kualitas karya sang pelukis sembari menyapu sebanyak mungkin karya sang seniman dari tangan siapa pun. Legitimasi kurator yang sering menulis di media massa sebagai pengamat seni rupa pun digunakan untuk memberikan label kualitas tertentu terhadap karya lukis sang seniman. Peran kurator ini bisa berupa tulisan di katalog pameran dengan honor Rp 500 ribu hingga Rp 5 juta, tapi ada pula pengamat seni rupa yang langsung terjun mencarikan karya yang layak dijual oleh galeri ataupun art dealer. Cara inilah yang banyak dituduhkan orang kepada Agung Tobing, pialang saham yang kini juga terjun sebagai pemain dalam bisnis lukisan. Pasar yang terprovokasi segera bereaksi. Sebut saja Ijek Widyakrisna, pengusaha yang telanjur jatuh hati pada karya lukis Made Sukadana. Ijek segera belingsatan karena sulit memperoleh karya Sukadana. "Waktu saya ingin membeli, selalu dibilang bahwa lukisan itu sudah dimiliki Agung. Begitu terus-menerus," kata Ijek. Akibatnya, harga pun terdongkrak. Praktek main borong lukisan tak cuma dialami oleh pelukis muda, tapi juga oleh pelukis senior semacam Fadjar Sidik, 72 tahun. Agung Tobing dan Ijek, yang kini bersobat kental, memborong karya pelukis abstrak ini sebanyak 100 karya berupa sketsa dan lukisan cat minyak dengan harga Rp 300 juta. Artinya, secara pukul rata, satu karya hanya dihargai Rp 3 juta. Ini harga yang sangat menyedihkan untuk pelukis sekaliber Fadjar Sidik. Tapi Fadjar Sidik justru sangat senang karena selama 10 tahun terakhir karyanya sulit dijual sehingga lukisannya menumpuk di rumahnya. Apalagi, dengan uang itu, ia bisa merenovasi rumah warisan dari mertuanya di Kampung Kauman, Yogyakarta. Bak dewa penyelamat, Agung Tobing dan Ijek bertandang ke rumah Fadjar Sidik. Keduanya menyapu bersih karya Fadjar Sidik, baik berupa lukisan maupun sket di atas kertas. Kini hanya beberapa karyanya yang tersisa menghiasi dinding rumah. Harga karya lukis Fadjar Sidik meroket sampai Rp 25 juta, entah sampai kapan. Untuk melengkapi proyek ini, Ijek sedang menyiapkan buku untuk Fadjar Sidik. Sebelumnya, Ijek dan Agung sudah menerbitkan buku mewah untuk Made Sukadana. "Buku itu penting karena mewakili perjalanan karya seorang pelukis," kata Agung Tobing. Tapi, dalam prakteknya, penerbitan buku adalah salah satu cara juga untuk mendongkrak harga lukisan. Sebab, harga lukisan yang masuk ke dalam sebuah buku biasanya meningkat. Gonjang-ganjing harga berlanjut ke balai lelang. Di sinilah orang yang disebut sebagai penggoreng lukisan memainkan harga lukisan. Ini cerita Edwin Raharjo, pemilik Edwin Gallery, Jakarta. Menurut Edwin, pelakunya biasanya memanfaatkan kebingungan kolektor. Penggoreng lukisan menggunakan banyak orang yang terus mengajukan penawaran, sehingga bidder yang bingung terpancing dan tergerak untuk memiliki, dan harga pun bergerak naik dalam waktu singkat. Kalaupun akhirnya lukisan tersebut jatuh ke tangan penggoreng sendiri, setidaknya sudah timbul kesan bahwa karya itu diburu kolektor. Efek yang diharapkan tentu, setelah lelang berlangsung, kolektor akan memburu karya lukis itu sehingga otomatis harga terdongkrak di atas harga estimasi. Sepak terjang pemain bebas dengan modal kuat ini belakangan meresahkan pemilik galeri. Penggoreng lukisan biasanya memiliki modal yang cukup kuat dan berbekal sifat spekulasi yang tinggi. Akibatnya, ada galeri yang terpaksa gulung tikar, misalnya Galeri Embun di Yogyakarta. "Saya tidak kuat menahan gempuran pemain dengan modal besar," ujar Cherry Salim, pemilik Galeri Embun. Ada pula galeri yang berusaha bertahan dengan mengikat pelukis dengan kontrak, sebagaimana yang dilakukan Edwin Raharjo. Saat ini Edwin berhasil mengikat kontrak dengan enam pelukis. Tujuan yang tak terkatakan adalah melindungi pasokan karya lukis dari seniman yang terancam oleh sifat agresif penggoreng lukisan yang langsung beroperasi di studio pelukis. Dengan mengikat kontrak, Edwin bertindak sebagai manajer bagi pelukis. "Peran ini untuk menghindarkan pelukis dari pasar yang tidak sehat," katanya. Edwin memenuhi kebutuhan pelukis, dari uang untuk keperluan sehari-hari, promosi seniman, hingga ongkos perjalanan untuk pelukis yang diajaknya bertandang ke luar negeri. Bahkan Edwin ikut membantu Bunga Jeruk, salah satu perupa yang mengikat kontrak dengan Edwin, berpameran di Singapura. Dengan mengontrak dalam waktu tertentu, Edwin bisa mengamankan jalur pasokan karya seni lukis ke galerinya. Sistem kontrak ini selama setahun atau dua tahun biasanya masih terasa manfaatnya oleh pelukis. Tapi, ketika karya sang pelukis sudah mendapat tempat di pasar, ikatan kontrak terasa semakin menggerahkan karena ada tawaran harga yang lebih bagus. Akibatnya, pelukis sering memutus kontrak di tengah jalan. Beberapa di antaranya lebih suka menyambut tawaran pemain lain dalam bentuk ijon. Praktek ijon memang membuat pelukis lebih bebas karena pelukis cukup memasok karya sesuai dengan kesepakatan tapi masih bisa menjual karyanya ke kolektor lain. Amir Sidharta membisikkan, ada kolektor yang memberikan BMW seharga Rp 300 juta kepada pelukis dan uang Rp 50 juta untuk membeli cat buat 100 karya lukis. Sang kolektor menghitung keuntungannya bahwa 100 lukisan itu nantinya bisa dijual Rp 600 juta. Dengan proses kreatif ala BMW ini, tentu sulit menjaga kualitas karya karena pelukis kemudian berkarya lebih didorong untuk segera melunasi utangnya. Tak aneh, dengan harga lukisan yang tak memiliki patokan yang jelas dan bisa naik seenaknya dalam waktu singkat, pelukis bisa membalas dendam terhadap kemiskinan. Semuanya serba mungkin. "Lukisan baik laku, lukisan jelek laku," kata Simon Tan Kian Bing, kolektor serius yang menetap di Semarang. Tak begitu halnya yang terjadi pada karya seni lukis yang memiliki label kontemporer. Karya semacam ini tak banyak mengalami fluktuasi harga karena pasarnya relatif terbatas. Pergerakan harganya berlangsung lebih stabil, yang umumnya sesuai dengan jam terbang perupa. "Kami tidak bisa memberikan harga yang melompat-lompat karena kolektor kami akan sangat kritis mempertanyakannya," ujar Mella Jaarsma, pemilik Rumah Seni Cemeti di Yogyakarta. Galeri ini memang dikenal tidak memamerkan karya seni rupa mainstream. Menurut Mella, seharusnya ada tim independen yang membuat penilaian tentang pasar sehingga bisnis lukisan memiliki kepercayaan pasar. "Seharusnya kita memiliki kritikus tentang market seni lukis di sini (Indonesia)," ujar Jais Dargawidjaya, pemilik Darga Gallery, Bali. Repotnya, kritikus di Indonesia justru menjual pengetahuannya untuk kepentingan promosi pelukis oleh art dealer atau galeri. Akhirnya yang dirugikan adalah seniman. Pelukis memang bisa mendadak kaya, tapi juga bisa tiba-tiba jatuh miskin karena perilaku pasar yang tidak jelas. Raihul Fadjri, L.N. Idayanie (Yogyakarta), Ecep S. Yasa (Semarang), Gita W. Laksmini, Dewi R. Cahyani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus