Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagai tetangga, Indonesia dan Malaysia tidak selalu tampil hangat akrab. Berita tentang Malaysia di Indonesia tidak selalu enak didengar, apalagi kalau ada kaitannya dengan deportasi tenaga kerja Indonesia ilegal. Di Malaysia, berita yang ada urusannya dengan TKI sering berkonotasi negatif.
Ironisnya, di negara-negara Barat, banyak yang susah membedakan orang Indonesia dari orang Malaysia. Kondisi dekat-dekat jauh ini sudah waktunya diteliti, apalagi kalau diingat bahwa sejarah kedua negara ini banyak lahan rancunya.
Itulah agaknya maksud Ariel Heryanto dan Sumit Mandal dalam menulis dan merangkum beberapa tulisan lain dalam bukunya, Challenging Authoritarianism in Southeast Asia, Comparing Indonesia and Malaysia. Kedua pakar sosial-budaya ini memantek topik otoritarianisme sebagai titik mula perbandingan.
Dari judul buku, jelas para penyunting mengambil asumsi bahwa otoritarianisme tidak saja sempat berakar di kedua negara, tapi juga pada periode-periode tertentu menjadi masalah besar bagi kedua masyarakat. Namun, salah satu benang merah yang bisa ditarik untuk mengaitkan Indonesia dengan Malaysia ialah isu Islam sebagai agama mayoritas penduduk.
Sejauh ini Indonesia menolak melembagakan Islam dalam sistem negara. Malaysia sudah melakukannya. Dalam tulisannya, Norani Othman, profesor muda dari Universiti Kebangsaan Malaysia, meneliti kompatibilitas Islamisasi dan demokratisasi di Malaysia dalam konteks regional dan global. Menurut Norani, agenda Islamisasi ini lebih dijuruskan pada tujuan politik. Dengan kata lain, Islamisasi digunakan pemerintah untuk memperkukuh kekuasaan mereka. Dengan adanya dualisasi hukum, satu untuk kaum muslim dan satu lagi untuk nonmuslim, banyak kasus hak asasi yang tak terselesaikan karena terjepit di antara kedua sistem hukum. Dan buntunya kasus-kasus ini justru menguntungkan pemerintah.
Para aktivis muslim di Malaysia sulit mendapatkan kerja sama dari kelompok LSM nonmuslim kalau inti masalahnya berkaitan dengan aspek keislaman. Bukan mereka tidak peduli, tapi mereka terbentur pada undang-undang anti-penghasutan yang berlaku. Artinya, kalau mereka turut dalam aksi protes menentang apa yang dianggap sebagai unsur agama Islam, mereka bisa dituduh melakukan penghasutan melawan Islam.
Segi multi-etnis dan multi-agama sesungguhnya juga disorot Melani Budianta, dosen studi budaya Universitas Indonesia. Dalam tulisannya, Melani berkisah bagaimana aktivisme perempuan terdorong ke depan dalam era awal reformasi. Namun, di Indonesia, menurut observasi Melani, perempuan dari berbagai kelompok ataupun kelas mendapatkan titik pertemuan justru dalam penderitaan. Suara Ibu Peduli pada awal 1998 menunjukkan perempuan kelas menengah mampu turun ke jalan, tidak saja untuk menolong saudara-saudara mereka yang terpuruk akibat krisis ekonomi 1997 tapi juga guna menarik perhatian para penguasa pada nasib mereka. Yang kedua, kasus pemerkosaan perempuan yang kebanyakan dari etnis Tionghoa pada Mei 1998.
Kelas menengah di Indonesia, yang sering oleh para pakar arus utama dianggap tidak berwawasan politik, justru menjadi fokus tulisan Ariel Heryanto, dosen University of Melbourne. Di sini Ariel dengan jelas menunjukkan bahwa kelas menengah di negara ini jauh dari pasif menjelang akhir era Orde Baru. Ariel memberikan contoh-contoh kasus yang sukar dibantah, yang jelas sudah dikajinya dengan teliti. Dan dengan menarik perbandingan dengan berbagai kasus yang tidak saja serupa tapi juga hampir bersamaan kurun waktu di Malaysia, terangkat gambar persaudaraan antara kedua negara.
Buku yang terdiri dari tujuh bagian utama dengan dua bagian apendiks ini sarat dengan isu langkah-langkah protes yang diambil rakyat dari berbagai kalangan, dari kelas menengah sampai kelas pekerja. Bahkan salah satu bagiannya membuat studi perbandingan antara cara yang digunakan di Pulau Penang di Malaysia dan di Pulau Batam di Indonesia. Karena berbagai lahan yang diangkat sesungguhnya penuh dengan rambu-rambu isu lokal, risiko akan terbukanya kotak Pandora sangat tinggi. Menariknya, para penulis dan penyuntingnya berhasil menghindari bahaya itu, dan liputannya tetap tidak menyeleweng dari topik intinya: protes dari bawah terhadap otoritarianisme yang dipaksakan dari atas.
Suatu studi sosial-budaya yang sangat menarik dan penting dibaca.
Dewi Anggraeni
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo