Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Si oom jadi sopir

Pemain : didi petet, lenny marlina, rachmat hidayat, niniek l. karim. skenario : marselli. sutradara : chaerul umam. produksi : sepakat bahagia film. resensi oleh : putu wijaya.

1 Desember 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

OOM PASIKOM, PARODI IBU KOTA Pemain: Didi Petet, Lenny Marlina, Racmat Hidayat, Niniek L. Karim Skenario: Marselli Sutradara: Chaerul Umam Produksi: Sepakat Bahagia Film OM Pasikom mejeng di layar perak masih dengan topi kotak-kotak berkuncir serta jas tambalannya. Tingkah lakunya yang lugu dan simpatik juga pas dan konsisten dibawakan Didi Petet. Sosok Oom Pasikom dalam kombinasi Didi dan sutradara Chaerul Umam -- yang bertambah fasih bercerita dengan bahasa gambar -- terasa berkenan di hati. Namun, bagaimana dengan reputasi Pasikom? Eksistensinya sebagai pengamat sosial, kritikus, komentator, dan informan sosial seperti selalu muncul di harian Kompas? Di skenario yang ditulis Marselli, Oom Pasikom menjadi sopir Tante Tomo (Niniek L. Karim), nyonya kaya yang ternyata adalah kolega istrinya sendiri. Si Oom juga adalah bapak asuh Rima (Desy Ratnasari), mahasiswi cantik yang membuat Tante Pasikom (Lenny Marlina) cemburu. Bapak satu anak badung (Fery Iskandar) ini pun pada akhirnya diangkat menjadi ketua pemulung se-Jakarta. Dibuka dengan animasi karya Denny A. Djoenaid, film ini seperti mengingatkan kepada penonton bahwa ini adalah si Oom yang biasa muncul di Kompas. Oom Pasikom tampak diangkut oleh tim tibum (ketertiban umum), ketika sedang makan di pinggir jalan. Lalu lintas kacau, seakan benar kalau tidak kacau bukan Jakarta. Pemulung pun sempat lewat di kawasan Menteng yang mentereng. Namun, selebihnya adalah mosaik yang cenderung kepada seloroh ringan. Walhasil, upaya mengingatkan pada Pasikom di Kompas jadi bumerang. Si Oom di layar perak lebih memihak kepada canda ringan daripada kritik sosial yang telak. Gagal? Kalau film ini dituntut untuk menampilkan Oom-nya G.M. Sudarta secara tuntas, memang belum terpenuhi. Namun, kalau ini dianggap sebagai beberapa detail kehidupan si Oom yang lugu, gagap, kadang kala konyol -- dan kemudian akan dilengkapi dengan episode-episode berikutnya -- perhitungannya jadi lain. G.M. Sudarta sendiri konon cukup mengerti persoalannya. Ia paham bahwa sebuah karikatur menjadi kuat karena ia sudah didukung oleh isu yang sudah meluas secara nasional. Sedangkan di layar perak, terpaksa dipersiapkan dari awal, dan celakalah kalau persiapannya kepanjangan. Yang barangkali mencegah Oom Pasikom muncul sebagai pengamat sosial adalah kenyataan bahwa film ini dibuat bekerja sama dengan Pemda DKI. "Dengan posisi seperti itu, memang sulit untuk menampilkan gambar-gambar yang kumuh, apalagi kritik sosial," kata Chaerul Umam. Buat saya, terlepas dari beban mencocokkan si Oomnya Marselli-Chaerul Umam dan si Oomnya G.M. Sudarta, film ini menghibur. Meskipun tata suaranya belum maksimal, Didi Petet bermain bagus. Lenny Marlina menunjukkan kebolehannya menampilkan si Tante secara karikatural. Meski musik Harry Roesli kadang "terlalu rajin", kita mendapat gambar-gambar manis dari Tantra Suryadi. Film ini juga lebih jelas menunjukkan gaya penulisan Marselli. Ia mengungkap persoalan besar (Pasikom jadi sopir rekan istrinya, sementara istrinya itu snob-nya selangit) dengan penyelesaian kecil. Ia memain-mainkan peristiwa mengikuti pola mosaik sehingga semuanya mengapung dengan ketajaman yang sama. Tidak diusahakan ada fokus tunggal. Gema persoalan-persoalan itu jadi seperti bunyi gamelan Jawa. Mengapung dan datar. Tergantung kemudian kepada penonton, apa "mengapung" dianggap sebagai kelemahan atau kekuatan. Di tangan Chaerul Umam -- sebagaimana juga dalam Malioboro -- kemungkinan kelemahan tertutupi oleh canda. Selama ini, film Indonesia banyak dinilai dari segi alur cerita dan pertukangannya. Cerita yang tidak mengalir sering dianggap cela. Penokohan Lenny Marlina yang karikatural, dalam film ini misalnya, mungkin akan terasa mengganggu karena Oom Pasikom dimainkan oleh Didi Petet begitu realistis. Jelas itu bukan keteledoran, tetapi merupakan rancangan sutradara. Upaya itu menjadi idiom personal sutradara. Hal yang memang jarang dibicarakan di media kita, padahal itu nilai penting dalam setiap karya. Itulah yang akan mengantarkan sebuah film menjadi khas. Kita tahu, di samping sebagai barang komoditi, film juga adalah ekspresi. Lewat film-film macam Oom Pasikom ini, film Indonesia menampilkan ekspresi personal pembuatnya. Kecenderungan yang juga selalu kita rasakan dalam film-film karya Teguh Arifin, Eros, Nya' Abbas, Slamet -- untuk menyebut sejumlah nama. Mereka itu tidak hanya memaparkan cerita, tetapi berdialog dengan idiom masing-masing. Iklim perfilman kita yang lebih memanjakan aspek komersial menyebabkan tradisi itu masih kurang dapat peluang. Film seperti Mat Dower (Nya' Abbas Acub), Semerah Bibirnya Seputih Hatinya (Slamet Rahardjo), Petualang-Petualang (Arifin C. Noer), dan Oom Pasikom -- sekadar menyebut sejumlah film -- adalah usaha membuka peluang tumbuhnya bermacam-macam "gaya pengucapan" dalam film Indonesia. Putu Wijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus