INI tragedi, memang. Langitku Rumahku, film yang menggondol dua Piala Citra dan Piala Kartini pada FFI 1990, tak punya "rumah" di Jakarta. Sementara orang berkaok-kaok tentang kurangnya film nasional yang mendidik, film ini hanya diberi hak putar sehari di bioskop kelas utama di Jakarta. Eros Djarot, Direktur Produksi Ekapraya Film yang juga produser film ini, menerima pemberitahuan lewat telepon pukul 10 malam, Jumat dua pekan lalu. "Pak, ini filmnya mau ditaruh di mana? Mau diturunin, nih," kata si penelepon seperti ditirukan Eros. Ketika Eros bertanya siapa yang menyuruh film itu diturunkan, si penelepon menjawab, "Disuruh Perfin." Eros tak habis pikir, bagaimana Perfin sampai mengambil keputusan pada malam seperti itu, padahal kantor Perfin sudah tutup sore harinya. Jadi, "Buat saya, kok, seperti sudah direncanakan," ujar Eros kemudian. Langitku akhirnya cuma main Jumat itu saja di sebelas gedung bioskop kelompok 21. Sabtu esoknya sebagian cineplex itu memutar film Taksi -- film terbaik FFI 1990 -- sebagian lagi film asing. Esoknya lagi dan seterusnya, sepenuhnya film asing yang diputar menggantikan Langitku. Alasan Perfin (Peredaran Film Indonesia) menurunkan Langitku adalah jumlah penontonnya di bawah batas angka minimal (take over figure -- TOF). Menurut siaran pers Perfin, film ini hanya ditonton 881 orang di 11 bioskop dengan masing-masing empat kali pertunjukan. Jadi, rata-rata setiap gedung dihadiri 20 orang setiap pertunjukan. Menurut Direktur Utama PT Perfin Yusack Susanto, TOF disesuaikan dengan kapasitas bioskop itu. Sebelas gedung yang memutar Langitku masuk kategori 251 s/d 500 kursi, dan batas TOF-nya adalah 125 penonton untuk tiga kali pertunjukan pada hari pertama. Eros memang tak bisa berkutik dengan angka TOF, apalagi ia tak menaruh orang-orangnya di gedung yang memutar Langitku -- sebagaimana yang dulu ia lakukan ketika memasarkan Tjoet Nya' Dhien. "Pengambilan keputusan sepihak ini melulu didasari pertimbangan ekonomis semata, yang diberlakukan hanya terhadap film nasional di negerinya sendiri. Ini menghina film Indonesia dan menghina hak anak-anak untuk menonton film kultural edukatif," kata Eros berapi-api. Apalagi hari Jumat bukanlah "hari baik" untuk membawa anak-anak ke gedung bioskop. Sebagai bukti, banyak orangtua yang membawa anak-anaknya kecewa di Studio 21 dan Kartika Chandra, pada hari Sabtu dan Minggu. Langitku sudah tak ada, sementara iklan (Acara Bioskop) yang dimuat Kompas 17 November masih menyebutkan film itu main di sana. Dan yang penting, menurut Eros, penurunan filmnya itu bertentangan dengan surat keputusan bersama tiga menteri (Penerangan, P & K, dan Dalam Negeri) tentang "Wajib Edar dan Wajib Putar Film Nasional Serta Penertiban Reklame Film". Dalam SKB itu disebutkan, gedung bioskop berkewajiban memutar film nasional dengan hari pertunjukan minimal dua hari. "Mereka lupa kita hidup di negara hukum," ujar Eros. "Tidak mungkin kita tidak mempertanyakan pelanggaran ini, soalnya ini menyangkut kewibawaan peraturan itu sendiri," kata Slamet Rahardjo, sutradara film ini, lewat telepon internasional. Slamet tengah berada di Prancis membawa Langitku ke Festival Tiga Benua di Nantes. Slamet bersama Eros berniat memperkarakan masalah ini ke meja hijau. Apa kata pemilik bioskop? Jimmy Harianto, General Manager 21 Group -- yang punya 100 layar di 23 cineplex di Jakarta atau 310 layar di 70 gedung di Indonesia -- mengaku tahu isi SKB tiga menteri itu. "Tapi bagaimana lagi, kita harus bayar listrik, bayar pegawai," ujar Jimmy. "Jadi, kalau hari pertama katakanlah nol penonton, ya, bioskop teriak, dong," katanya. Johan Tjasmadi, Sekretaris Umum Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia, menambahkan, "Kalau ada film yang di hari pertamanya tidak ada kekuatan, ya tak ada gunanya dong diteruskan," kata Johan, yang juga Ketua Panitia Tetap FFI ini. Namun, baik Jimmy maupun Johan menyebutkan, hak menurunkan film nasional yang tengah diputar adalah wewenang Perfin. Dan Yusack tetap bertahan bahwa film itu layak diturunkan. "Kalau diteruskan akan memberikan publikasi jelek bagi pemutaran di daerah," katanya. Ia mengaku tak akan lari bila pihak Ekapraya Film memperkarakan kasus ini ke pengadilan. Masalahnya sekarang, bagaimana dengan niat pemerintah yang kabarnya membantu memasarkan film-film nasional yang bermutu. Niat seperti ini juga diucapkan Johan Tjasmadi selaku Ketua Umum Pantap FFI. "Memang kami tetap utamakan film pemenang Citra," kata Johan. Cuma saja, memberi prioritas itu artinya kalau dia pemenang FFI, lalu tanggal peredarannya sudah telanjur diisi film lain, ya, kita prioritaskan pemenang FFI itu. "Tapi tak berarti prioritas itu adalah tak ada penonton lalu kita teruskan," kata Johan lagi. Pada akhirnya memang kepentingan bisnis yang bicara. Film-film asing sama sekali tak diatur peredarannya -- tak ada jadwal maupun batas minimal penonton -- karena pemiliknya menguasai gedung. Maka, pendapat artis Christine Hakim, yang dilontarkan dalam sebuah diskusi di Surabaya, layak disimak. Ia merasa, turunnya Langitku membuktikan kepentingan bisnis di atas kepentingan apresiasi masyarakat pada film-film bagus. "Saya heran, film ini menurut saya paling Pancasilais dibanding film yang lain, kok hanya berusia sehari," ujarnya dengan semangat Tjoet Nya Dhien. Ini tragedi, pada saat film Indonesia jenis kacangan, entah itu komedi atau legenda, meracuni masyarakat, dan posternya bertebaran di berbagai cineplex. Bunga S., Leila S. Chudori, dan Sri Indrayati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini