JUTAAN "burung gagak" berputar di sekitar tanduk Afrika. Tengoklah di Somalia, separoh penduduk negeri ini sekitar 4,5 juta jiwa, sekarat karena kelaparan. Dan kelaparan hanyalah salah satu sisi, karena perang saudara melengkapi sisi lain dari sebuah tragedi ketakberdayaan manusia. Di sudut-sudut kota Mogadishu sudah lama anak-anak tak mampu lagi tertawa. Di mulut mereka hanya ada ludah dan udara, telinga mereka tersumpal desing peluru, dan mata mereka terbiasa memandangi bencana. Anak-anak tak lagi mimpi tentang sekolah, karena hanya ada di dalam kepala mereka bukan lagi huruf dan angka-angka. Mereka telah menjelma jadi rumput-rumput kering di padang luas, yang hidup dari embun. Jika embun tak turun, mereka hanya bisa menatap cakrawala dan langit yang kosong. Mulut mereka hanya bisa menganga, saat bantuan makanan datang, namun orang-orang bersenjata lebih cepat menjarahnya, tanpa sisa. Mereka juga tidak habis mengerti, ketika duit pemerintah dibelikan senjata bukan makanan. Dan bentrokan faksi-faksi yang berebut kuasa, menjadikan ladang-ladang kian terlantar. Di Somalia kematian adalah warna burung gagak, warna hitam, dan legam. Sebab kelaparan yang diam, mencabut nyawa tanpa mengalirkan darah. Dan dunia lebih tertarik pada perang di Yugoslavia, konflik nyata, mengalirkan darah merah. Tetapi akan selalu ada, mereka yang mewakili kebisuan. Seorang pejabat tentara PBB di Somalia mengundurkan diri. Ia menilai cara badan dunia ini tidak efektif dalam menangani bencana Somalia , katanya (lihat Luar Negeri). Inilah bencana kemanusiaan terburuk di dunia. "Anak-anak itu melintas dari dunia tak berdosa ke dunia orang dewasa yang keras," tutur Joise Clevenger, seorang perawat anak-anak yang bekerja di Mogadishu, ibu kota Somalia. Foto-foto: GAMMA Naskah : S. Malela Mahargasarie
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini