Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HARI ini pagi yang indah. Kuparkir mobil di depan bangunan tua luas dalam bumi perkemahan. Sudah jauh-jauh hari aku merencanakan kegiatan berkemah. Sendirian tentu saja. Pacarku tidak bisa menemani, sibuk. Yah, aku tahu pasti pekerjaan sebagai pengarang novel ringan tidaklah mudah. Sebab, aku sudah pernah melihatnya bertemu dengan editor yang marah-marah lantaran naskahnya tidak juga kelar. Kendati begitu, aku juga tahu pasti bagaimana perasaannya bila naskahnya lolos dan terbit serta laku. Aku juga kecipratan bahagia. Tapi hari ini aku sendirian saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aku masuk ke bangunan tua itu dan mengkonfirmasi kedatanganku ke pihak pengelola bumi perkemahan. Aku sudah memesan untuk satu malam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kayu bakar silakan ambil seperlunya di sana, gratis,” ucap pengelola.
Aku mengangguk seraya mengucap terima kasih. Kubawa peralatan berkemahku dan mencari tempat paling tepat. Hari ini tidak banyak orang pergi berkemah kemari. Oh, tentu saja. Sekarang bukan hari libur. Semua orang sedang bekerja dan anak remaja sedang ujian mempertaruhkan masa depan. Yang bisa pergi berkemah di waktu begini hanya orang yang ingin keluar sejenak dari rutinitas serba menguras tenaga dan pikiran. Salah satunya diriku dan sejumlah empat-lima manusia lain yang telah mendirikan tenda di sekitar sini.
Aku menemukan tempat yang cocok. Dari sini, Gunung Fuji di pagi hari terlihat menakjubkan. Kudirikan tenda tak berapa lama kemudian. Segera setelah itu, kusiapkan panci untuk merebus air. Tahu-tahu kepengin minum kopi.
Sembari menghirup kopi, aku memandang Gunung Fuji. Masih sama seperti sebelas tahun lalu, tahu-tahu terpikir demikian. Sebelas tahun lalu? Oh, tentu saja aku juga pernah mendirikan tenda kemah sebelas tahun lalu. Masih kelas dua SMA waktu itu, pikiranku masih kekanak-kanakan. Dulu bareng ayah dan ibu, juga adikku. Awal-awal aku melakukan kegiatan berkemah. Waktu itu pemandangannya juga Fuji sebagaimana hari ini. Benar-benar menyenangkan. Ayah pandai kalau soal bakar-bakar makanan. Ibu pandai kalau soal bikin sup. Adikku pandai kalau soal menghidupkan suasana, merekatkan kami semua dalam hubungan bernama keluarga. Adikku sangat populer di sekolahnya. Orangnya kelewat cantik dan bagian paling khas darinya adalah telinganya yang seperti…
Aku menggeleng. Lamunanku terlalu jauh. Di sini pula keluargaku pernah berkemah. Tapi keadaan tidak lagi sama seperti dulu. Adikku meninggal karena kecelakaan waktu baru memperoleh SIM beberapa tahun lalu. Sejak itu, tidak ada lagi orang yang bertindak sebagai perekat dalam keluarga kami. Ibuku amat menyayangi adikku. Hubunganku dengan ayah kian merenggang. Sampai kami pada akhirnya jadi teralienasi satu dengan yang lain. Atau lebih tepatnya kami bertiga sudah berjarak dan makin rikuh dari waktu ke waktu.
Aku sudah menjalani tahun kedua kuliah di universitas lokal. Namun, kalau pulang ke rumah, udara di dalamnya serasa mencekik. Deretan bunga ajisai, yang tadinya rimbun dan senantiasa ada sosok perawatnya, kini sudah tak terurus; perabot keramik berbentuk boneka penguin dalam aneka warna juga dipenuhi debu. Rumah tidak lagi sama setelah adikku tiada. Ibu bicara singkat saja bila kami berada di rumah. Begitu pula dengan ayah. Jadi kuputuskan pindah ke indekos meski jaraknya tidak jauh dari rumah.
Kehidupanku rasanya tidak begitu menyenangkan. Kalau dipikir lebih jauh, aku tidak begitu mengakrabkan diri dengan adikku, Emi, waktu dia masih hidup. Itu yang masih kusesali sampai saat ini. Paling sering dia yang memulai suatu obrolan dan yang memantik hubungan persaudaraan kami supaya riuh dan hidup sebagaimana kakak-adik dalam keluarga rukun. Emi yang akan memulai di awal. Emi akan membicarakan soal kesehariannya di sekolah, mengobrolkan soal tren yang digandrungi anak remaja waktu itu, dan hal-hal yang dekat dengan kehidupan pada saat itu. Biasanya aku akan menyimak, irit bicara, sesekali menyunggingkan senyum, tanpa pernah merasa keberatan pada apa pun omongannya. Boleh jadi agak susah bagi kakak lelaki untuk menampilkan rasa sayang secara terang-terangan kepada adik perempuannya. Mungkin begitulah bagaimana aku memosisikan diriku sebagai kakaknya, sehingga aku lebih memilih seadanya saja menampilkan diri di hadapan Emi.
Menjauh dari kedua orang tuaku rasanya langkah tepat. Tapi bayang-bayang mendiang adikku tetap berdenyar dalam benakku. Tak ada pilihan waktu itu selain kembali mengenangnya, meski tidak sepantasnya aku senantiasa mengingat masa lalu. Namun waktu itu aku masa bodoh. Menghidupkan kenangan akan Emi, aku jadi kerap bepergian ke tempat-tempat yang dekat dengan pegunungan. Sekitar waktu itulah, kalau tidak salah, aku juga mengunjungi Kota H. Sekitar tiga kota jaraknya dari kotaku. Nah, baru aku teringat bertemu dengan beliau waktu itu.
Kami bertemu di dek observasi Gunung Fuji di bagian terluar Kota H. Setelah berbincang lama, kami turun bersama lantas makan ramen di kedai yang warna bangunannya sudah kusam dan pelanggannya sedikit. Kutaksir umur beliau sepantaran ayah. Orangnya ramah dan menyenangkan. Kuketahui kemudian nama marganya Wakamatsu. Nama yang begitu umum. Pak Wakamatsu mengaku, sebelumnya dia kerap bepergian menghabiskan waktu bersama istrinya. Namun waktu itu sang istri pergi meninggalkan beliau.
“Maksud Bapak pergi begitu saja?” tanyaku.
“Hmm. Sebagaimana hubungan percintaan pada umumnya. Kamu menikah, lalu tiba-tiba pada satu periode, ada yang tidak betah. Ikatan itu mengendur; salah satu dari pasangan ada yang memilih mundur. Menghilang tiba-tiba tanpa pemberitahuan. Kadang terjadi begitu.”
“Saya paham maksud Bapak kalau dipikir. Orang menikah tidak selamanya akan akur. Kadang terjadi pergolakan.”
Beliau tersenyum. “Orang muda sekarang justru tidak mau menikah. Lebih baik begitu, kukira.”
Langit di atas kepala kami sudah berubah petang. Dari jauh aku menghidu aroma teh sedang diseduh. Rasa lapar sudah terobati, kini tahu-tahu ingin minum teh. Sambil berjalan menuju kedai teh, aku mengenal lebih jauh pribadi bernama Wakamatsu ini. Beliau ternyata guru SMA. Guru olah jasmani. Pantas saja fisiknya masih bugar, terlihat dilatih dengan benar. Aku harap kalau nanti sudah tua jadi seperti beliau, masih bisa mendaki lereng gunung dan menikmati indahnya alam.
“Rasanya masa paling indah memang masa SMA, ya, Pak Wakamatsu,” cetusku.
Beliau tertawa dan menepuk bahuku. “Kalau buatmu, sih, demikian. Tapi aku sering menangani anak-anak bandel dari yang kamu sebut sebagai masa indah.”
Mau tak mau aku ikut tertawa. “Tapi saya bisa bilang dengan pasti bahwa saya bukan anak nakal, Pak.”
Kembali Pak Wakamatsu menepuk bahuku. “Memang terlihat kamu anak baik. Kenyataan kamu mau berbincang akrab begini denganku membuktikannya. Namun yang kamu bilang masa indah itu, bagiku yang seorang guru, tidak selamanya menyenangkan. Bahkan di satu waktu sampai pernah terjadi hal yang serius. Aku melukai seorang anak hingga berdarah di bagian pelipisnya. Tentu tak disengaja. Namun anak itu mengadu ke orang tuanya. Masalah makin runyam tatkala ayah dari anak itu ingin menuntutku. Beruntung kepala sekolah menenangkannya. Masalah juga akhirnya surut setelah anak itu sadar bahwa dialah yang sudah keliru. Aku meminta maaf kepada ayahnya. Masalah bisa selesai.”
Aku menghela napas lega. “Agak rumit juga, ya, jadi guru. Mendidik bukan perkara gampang.”
Pak Wakamatsu tersenyum. “Bahkan, untuk guru olahraga, memang mendidik bukan perkara gampang. Ada saja anak keras kepala dalam satu kelas.”
Aku mengiyakan. Kami sudah sampai di pintu kedai teh. Kami lantas masuk. Aku menyesap teh hangat dan makan kue sambil asal-asalan tanpa minat menonton pertandingan sepak bola yang sudah setengah babak.
“Apa kamu kerap bepergian seperti ini?” tanya Pak Wakamatsu tiba-tiba.
Aku menoleh dan mengangguk. Hening sejenak.
“Sebenarnya saya sering menghabiskan waktu mengunjungi tempat seperti ini untuk mengenang mendiang adik saya,” tahu-tahu aku mengaku begitu saja ke orang yang baru pertama kutemui, entah kenapa. Mungkin karena situasi serba tenang dalam kedai dan kelembutan malam membuatku memuntahkan apa yang selama ini kupendam. Dan entah bagaimana aku merasa dadaku lega, seolah-olah ada satu beban telah mencekuti dadaku sekian lama dengan tidak pernah membicarakan soal keinginanku satu ini kepada siapa pun kini mendadak terangkat dan membuat dadaku ringan.
“Oh, maaf kalau begitu,” ucap Pak Wakamatsu.
“Ah, santai saja. Tidak masalah bagi saya.”
Kami ke luar kedai teh dan berjalan menuruni lereng gunung. Masih sekian jarak menuju lapangan parkir kendaraan di bawah sana. Langit sudah timbul bintang. Banyak bintang bertaburan.
Pak Wakamatsu menghela napas. Uap napasnya terlihat jelas di tengah malam. Kami melangkah pelan-pelan sembari menyerap keadaan lingkungan sekitar. Dingin mulai terasa.
Setelah hening seusai keluar dari kedai teh, Pak Wakamatsu angkat bicara. “Sebenarnya aku juga kemari untuk mengenang putri semata wayangku, Koharu. Tak seharusnya aku omong begini dengan anak muda sepertimu. Penyebab istriku minggat mungkin karena sudah tidak tahan dengan kehidupan kami di rumah tanpa putri kami. Koharu meninggal tahun lalu. Bunuh diri. Setiap mengingatnya, aku merasa sakit sekali. Dalam surat yang dia tinggalkan buat kami, dia mengaku bahwa di sekolah dia sering dirundung teman-temannya. Sampai sekarang aku masih bisa mengingatnya sejelas hari saat dia memutuskan mengakhiri nyawanya sendiri. Ah, harusnya aku tidak bicara sejauh ini kepadamu.”
Aku tak bisa berkata-kata. Aku termangu, menghentikan langkah. Pasti menyakitkan apa yang telah dilalui Pak Wakamatsu.
Pak Wakamatsu menghampiriku. “Oh, ayolah. Kita jalan lagi.” Dan seakan-akan bisa membaca pikiranku, dia berujar, “Semua sudah beres sekarang; kamu tak usah memikirkan kisahku lebih jauh. Yang jadi soal hanya istriku yang pergi entah ke mana. Mungkin akan kucari setelah dari sini.”
“Kalau bisa, apa boleh saya membantu Pak Wakamatsu?” tanyaku.
Pak Wakamatsu tersenyum. “Kamu memang pemuda yang baik hati. Tapi tidak usah. Bukan maksudku merendahkanmu. Kita baru saja bertemu, dan kenapa kamu harus mengurusi urusanku? Biarlah ini jadi hal yang harus kuselesaikan sendiri. Aku akan berdoa untuk almarhumah adikmu.”
Aku tak dapat membalas omongan Pak Wakamatsu. Aku sekadar mengangguk. Kami melanjutkan menuruni lereng. Pohon-pohon sugi besar mengalun perlahan tertimpa angin. Terdengar suara burung dan binatang-binatang malam dari jauh nun di sebuah tempat. Mataku ujug-ujug tertumbuk ke arah sebuah pohon besar yang tampak istimewa. Aku berhenti sebentar mengamati pohon itu. Sungguh menakjubkan. Kalau saja Emi masih ada, akan kupamerkan foto pohon ini dan dia pasti akan memintaku membawanya kemari setelah itu. Aku mendekat menghampiri batang pohon itu. Kuraba permukaannya. Aku mencoba hal konyol dengan memeluk pohon itu. Tangan-tanganku tidak mampu saling bertemu. Tentunya mustahil. Barangkali butuh tiga-empat pelukan orang untuk melingkari batang pohon itu.
Lantas aku mendapati sesuatu yang tak kalah menakjubkan dari pohon itu. Di balik batangnya yang raksasa, terdapat setumpuk hokora. Kuil-kuil mungil untuk pemujaan kepada para dewa. Tahu-tahu aku sudah berjongkok dan berdoa entah kenapa. Aku memikirkan Emi. Aku juga memikirkan mendiang Koharu, anak Pak Wakamatsu. Aku memanjatkan doa meski aku jarang sekali atau bisa dikatakan tidak pernah mengunjungi kuil. Bahkan di malam pengujung tahun baru. Aku jadi teringat dulu pernah diajak Emi mengunjungi kuil, tapi aku menolak, malas. Emi jadinya pergi bersama teman-temannya. Apa Emi tidak malu mengikutkan kakaknya dalam kegiatan yang dihadiri teman-temannya? Mungkin dia tak pernah merasa malu terhadapku. Mungkin dia senang akan fakta bahwa aku adalah kakaknya, tahu-tahu aku berpikir demikian. Aku bangkit berdiri, menjauh dari tumpukan hokora. Kususul Pak Wakamatsu yang bergeming sambil melambai-lambai ke arahku.
Itulah buat pertama dan terakhir kali aku bertemu dengan Pak Wakamatsu. Kesalahan fatal waktu itu aku tidak menanyakan alamat e-mail-nya. Di kemudian hari, aku coba-coba menyambangi sekolah tempatnya mengajar. Pak Wakamatsu sedang tidak mengajar. Ada keperluan, kata salah satu guru. Setelah itu aku tidak berusaha menghubungi Pak Wakamatsu. Teman yang akrab sepanjang perjalanan mendaki lereng ke dek pengamatan Gunung Fuji itu satu dari sedikit orang yang menyenangkan bagiku. Bahkan sampai hari ini, bertahun-tahun kemudian.
***
PADA saat aku sudah memasuki dunia kerja, aku kembali teringat pada Pak Wakamatsu. Kebetulan yang tak disangka-sangka, salah satu rekan kerjaku ternyata kemenakan Pak Wakamatsu. Kebetulan ini sungguh membuatku bahagia, tapi juga bersedih. Belakangan kuketahui Pak Wakamatsu sudah tiada.
Dalam sebuah acara minum-minum melepas senior kami yang mengundurkan diri dari perusahaan lantaran ingin membangun usaha sendiri, rekan kerjaku yang kemenakan Pak Wakamatsu menceritakan sedikit hal padaku tentang beliau, kawan perjalananku melihat Gunung Fuji waktu aku masih remaja bertahun-tahun lalu.
“Istri paman pulang, tapi dia merasakan penyesalan terdalam. Begitulah kata orang-orang tua dalam keluarga kami. Pada akhirnya paman meninggal dunia. Sudah sejak lama dia menderita penyakit jantung.”
Aku sampai heran. “Tapi waktu itu beliau terlihat begitu bugar. Aku yakin pasti beliau orang paling atletis yang pernah kutemui. Aku sampai tidak percaya dengan omonganmu, beliau punya penyakit jantung ternyata.”
“Memang maut tidak mungkin dihindari kalau sudah jadi suratan,” responsnya.
Aku sekadar mengangguk. Aku mengedarkan pandangan ke jendela restoran. Di luar terlihat bintang-bintang, tapi di kota ini juga terdengar bising klakson kendaraan. Kuhirup bir yang bersisa setengah.
***
KOPIKU mau habis. Sayangnya di sini tidak boleh merokok. Sejak kapan aku ketagihan merokok? Ah, kalau saja ada kawan buat mengobrol. Orang yang ramah, yang membuatmu tiba-tiba mencurahkan segenap apa yang selama ini kau pendam. Orang yang akan menerima itu semua tanpa bertanya lebih jauh. Orang itu sudah tidak ada di muka bumi.
Kutelepon pacarku sebentar dan asal berbincang dengannya. Tidak ada topik menarik bisa kutarik keluar dari pikiranku. Kusudahi obrolan. Aku bangkit berdiri dan berjalan-jalan di sekitar bumi perkemahan.
Mengapa aku terlampau jauh mengingat semua itu? Bisa dibilang memandang Fuji terkadang membikin perasaan melankolis terhimpun ke dalam dada, kemudian menyusuri otak kita. Keindahan gunung itu begitu menjulang, begitu mulia. Bercokol dan bergeming sejak dari dulu kala. Orang-orang menatapnya dengan berbagai perasaan, campur baur. Ia menerima semuanya tanpa mengeluh, tetap kukuh bercokol. Mulai dari nostalgia, rasa rindu; kedambaan, segala jenis kenangan orang-orang, bergerak begitu mereka berhadapan dengannya. Dan Fuji tetap di situ, bergeming, selagi orang-orang yang mengagumi keindahannya berlalu, mengembuskan napas terakhir, dan orang lain datang menggantikan untuk memandangnya.***
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo