Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Surat Cinta kepada Neptunus, Dee, dan Hanung

Sebuah novel dengan plot sederhana diangkat ke layar lebar dengan skenario lemah nyaris tanpa nyawa.

16 Agustus 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perahu Kertas
Sutradara: Hanung Bramantyo
Skenario: Dewi "Dee" Lestari Berdasarkan novel karyanya dengan judul yang sama
Pemain: Maudy Ayunda, Adipati Dolken, Reza Rahadian, Elyzia Mulachela, Tyo Pakusadewo
Produksi: Starvision, Bentang Pictures, Dapur Film

Percayalah. Tulisan ini disampaikan karena rasa cinta yang dalam untuk dua hal. Pertama, karena Dewi "Dee" Lestari adalah salah satu penulis yang saya kagumi, terutama untuk seri Supernova dan Filosofi Kopi. Kedua, karena Hanung Bramantyo pernah melahirkan Brownies (2004) dan Catatan Akhir Sekolah (2005) yang, menurut saya, (seharusnya) bisa menjadi basis kuat buat mengangkat novel Perahu Kertas karya Dee untuk menjadi film yang manis, romantis, dan menggerakkan hati.

Di situlah letak problemnya. Sumber film ini pun memang bukan karya terbaik Dee, artinya bukan karyanya yang membuat pembaca jumpalitan seperti halnya seri Supernova. Tak ada yang salah dengan tema sederhana, seperti cinta yang berliku dan apa yang disebut Hanung sebagai pencarian "belahan jiwa". Yang menjadi tantangan berat—di antara begitu banyak pilihan film dan serial televisi asing yang semakin membuat karya Indonesia terasa pucat pasi—adalah bagaimana pencarian cinta tokoh-tokoh utama novel/buku ini bisa terasa tulus, realistis, dan menggedor penonton agar tidak tertidur.

Kugy dan Keenan, sepasang remaja yang tampaknya menjadi kosakata baru bagi remaja Indonesia, diperankan Maudy Ayunda dan Adipati Dolken (setelah periode Galih dan Ratna serta Cinta dan Rangga jatuh tempo). Kugy seorang remaja perempuan yang berpakaian sembarangan, agak kelelakian, dan jarang menyisir rambut. Dia lincah, cerkas, gemar menulis dongeng, dan berfantasi bahwa ia anak buah Neptunus yang dikirim ke bumi. Kugy punya kebiasaan menulis surat yang dibentuk sebagai perahu kertas yang dihanyutkan ke laut.

Keenan prototipe remaja lelaki entah tahun berapa. Gondrong, berbakat melukis, eh didikte sang ayah belajar bisnis. Si bokap yang ketinggalan zaman itu diperankan August Melasz, yang jika marah harus menggoyangkan seluruh urat dan anggota tubuhnya. Setting film pada 1999-2004, tapi kita dipaksa percaya masih ada ayah model bapak si Keenan ini.

Nah, ceritanya sendiri sebetulnya tidak rumit. Kugy dan Keenan saling tertarik sejak pertemuan pertama. Tapi Kugy sudah punya pacar (yang oleh empunya cerita dibuat tidak menarik dan tidak toleran terhadap segala keanehan Kugy). Urusan lukisan Keenan diladeni Wanda, perempuan Indo yang melontarkan kalimat Inggris melulu. Tentu saja Wanda minum alkohol, mabuk, ingin bercinta, dan segala yang klise tentang perempuan Indo atau Barat.

Film ini sungguh panjang (dan ada sekuel segala) untuk sebuah persoalan cinta yang sederhana; untuk sebuah pencarian belahan jiwa yang digambarkan hanya dari permukaan belaka. Hanung dan Dee (yang juga bertugas menulis skenario) memilih berulang-ulang bernarasi dengan adegan-adegan intercut kesibukan antara Keenan dan Kugy diiringi musik manis. Kumpulan mozaik dan musik romantis ini nyaris seperti klip video karena kepada kita disajikan sederetan gambar kartu pos cantik tanpa kedalaman karakter.

Kita tidak diyakinkan oleh perkembangan karakter Kugy yang seharusnya magnetik, sebagaimana Dee selalu menangkap perhatian kita melalui tokoh dalam karyanya. Kita juga tak kunjung percaya sosok Kugy di atas layar lebar itu adalah Kugy yang sudah melekat dalam benak kita melalui teks ciptaan Dee. Kalimat kecerdasan dari seorang sarjana sastra dan berbakat mendongeng itu akhirnya mirip dialog yang tengah dihafalkan belaka. Begitu tokoh Kugy memperlihatkan kecerdasannya saat magang pada agen iklan Advocado, kita malah tersedot pada penampilan si bos Remi, yang diperankan Reza Rahadian dengan baik.

Dengan kata lain, hampir semua pemain dalam film ini tidak menggerakkan emosi. Jika tak ada Tyo Pakusadewo dan Reza Rahadian, yang berhasil menyalakan api pada layar, film ini bisa menjadi obat tidur bagi para penderita insomnia.

Tentu saja itu semua ada pada kelemahan skenario dan penyutradaraan, karena hampir semua pemain sebetulnya aktor dan aktris berbakat. Duet Hanung dan Dee, entah di mana korsletnya, tidak menjadi "perkawinan" yang harmonis pada layar lebar. Sekali lagi. Ini saya sampaikan sebagai surat cinta kepada duo Hanung dan Dee, dua seniman yang saya hormati.

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus