SUDAH banyak buku yang ditulis mengenai revolusi Indonesia, khususnya mengenai revolusi di Jawa, dan dengan pusat perhatian pada panggung politik nasional. Kini terbit berbagai studi mengenai revolusi di daerah. Audrey Kahin sendiri, istri Profesor G. McTurnan Kahin dari Universitas Cornell -- dapat disebut Bapak Studi mengenai Indonesia modern di Amerika -- meneliti revolusi di Sumatera Barat. Tulisan lainnya: Peristiwa Tiga Daerah (A. Lucas), Banten (M.C. Williams), Aceh (Eric Morris), Sumatera Timur (M. van Langenberg), Sumatera Barat (A. Kahin), Jakarta (R. Cribb), Sulawesi Selatan (B.S. Harvey), dan Ambon (R. Chauvel). Belum semua daerah di Indonesia diliput oleh studi ini, bahkan dua tulisan dalam buku ini masih meliputi Jawa yang oleh Belanda dianggap paling bergolak dalam revolusi. Setelah perlawanan di Surabaya yang sengit (akhir Oktober dan 10 November 1945) dalam menghadapi Inggris, Letnan Gubernur-Jendral H.J. van Mook dan stafnya mempertimbangkan untuk meninggalkan Jawa untuk mengkonsentrasikan kekuatan Belanda yang lemah pada pulau-pulau Sumatera, Kalimantan, dan Indonesia Timur. Usul tersebut ditolak pemerintah di Nederland, yang menomorsatukan tugas imperialnya. Ide Van Mook untuk berkonsentrasi di luar Jawa ini sedikit banyak diteruskan dalam konsepsi republik federal Republik Indonesia Serikat, yang terdiri dari bagian-bagian republik yang otonom seperti Negara Indonesia Timur, Negara Jawa Timur, dan Negara Sumatera Timur. Negara-negara federal ini kelihatannya bisa berdiri, biarpun tidak terlalu otonom, karena terlalu banyak di bawah pengawasan Belanda. Setahun setelah kekuatan Belanda pergi dari Indonesia sebagai hasil Konperensi Meja Bundar (KMB) akhir 1949, RIS ambruk untuk menjadi Republik Indonesia. Dari buku ini jelas bahwa seandainya usul Van Mook untuk meninggalkan Jawa dan berkonsentrasi di pulau-pulau luar Jawa, persoalan Belanda dalam menghadapi Indonesia pasca-1945 tidak selesai pula. Di semua daerah yang dibicarakan dalam buku ini terlihat pergolakan revolusi. Proklamasi kemerdekaan RI ternyata mendapat dukungan yang jauh lebih luas dan mendalam daripada yang diperkirakan Belanda. Secara garis besar dapat dikatakan, lowongan kekuasaan yang ditimbulkan oleh menyerahnya Jepang pada Sekutu (Agustus 1945), dan belum siapnya Sekutu dan Belanda untuk mengisi lowongan kekuasaan, memungkinkan gerakan "republiken" (kemerdekaan) mengisi atau berusaha mengisi lowongan tersebut. Namun, gerakan ini tidak selalu cocok dengan kebijaksanaan para pemimpin pusat yang dipimpin Soekarno-Hatta. Misalnya, pimpinan pusat menentang perlawanan Surabaya (10 November 1945), atau bentrok dengan TNI yang dibangunnya sendiri, juga dengan gerakan Tan Malaka. Secara umum dapat dikatakan bahwa pimpinan pusat menfokuskan perjuangan pada tujuan kemerdekaan, yakni putusnya hubungan kolonial secara politis. Revolusi sering menginginkan perubahan tata susunan kolonial, baik terhadap tata susunan pangreh praja maupun terhadap dominasi non-pribumi lainnya, sedangkan pimpinan revolusi insyaf, hal ini tidak mungkin dalam dunia pasca-Perang Dunia II dengan kemenangan Sekutu. Dalam usaha diplomasi, kondisi terpenting adalah pemeliharaan status quo, khususnya dalam bidang ekonomi. Kalau secara nasional masalah diplomasi dan perjuangan menyangkut masalah status quo ekonomis-sosial bukan politis, pergolakan di daerah antara prorepublik dan "federal" menyangkut masalah status quo lokal. Ada gerakan terhadap pangreh praja tradisional (Banten, Tiga Daerah), terhadap para sultan (Sum-Ut), terhadap para pemimpin adat (Aceh), gerakan kaum muda vs. kaum tua (kolot), dan juga terhadap Cina, Indo, Ambon, dan Manado di Jakarta. Cara dan corak gejala revolusi di daerah sangat ditentukan oleh sejarah lokal. Dalam kasus Tiga Daerah (Tegal, Brebes, Pemalang), masa zaman Jepang membentuk reaksi tajam terhadap pangreh praja yang bekerja sama sepenuhnya dengan tentara pendudukan Jepang dalam menuntut penyerahan hasil bumi rakyat pada Jepang. Aceh merupakan satu-satunya daerah di Kepulauan Indonesia ini yang tidak pernah dikuasai secara keseluruhan oleh kekuasaan kolonial Belanda. Pax Nederlandica hanya dapat berlaku karena persekutuan antara hulebalang dan Belanda. Daerah ini juga satu-satunya yang pada Maret 1942, ketika Hindia Belanda menyerah pada Jepang, memproklamasikan kemerdekaannya kembali. Ulama dan hulebalang bertentangan kembali pada tahun 1945. Pergolakan di Sumatera Timur melibatkan masalah kekuasaan para sultan, golongan-golongan etnis seperti Batak. Di Sumatera Timur, seperti di Sumatera Barat, revolusi berakar sangat kuat pada zaman pergerakan nasional pada masa kolonial Belanda. Di Sumatera Barat pergolakan bersifat tersendiri, karena banyaknya pimpinan nasional di ibu kota republik berasal dari daerah Sumatera Barat, seperti Hatta, Syahrir, dan Haji Agus Salim. Tingkat pendidikan di daerah ini juga mungkin yang paling tinggi di Sumatera. Berlainan dengan di Sumatera dan Jawa, reaksi terhadap revolusi di Indonesia Timur sangat bersifat mendua. Artinya, ada golongan kuat pro-republik yang harus ditindak dengan kejam oleh Belanda (peristiwa Westerling di Sulawesi Selatan), ada golongan moderat yang pro-kemerdekaan, ada pula yang pro-Belanda. Negara federal di Indonesia Timur cukup berakar dan mendapat dukungan kuat, biarpun akhirnya juga digantikan oleh gerakan prorepublik persatuan. Di Indonesia Timur, pergolakan revolusi 45 berasal pada pergerakan zaman kolonial Belanda dan pendudukan Jepang. Dilihat dari pergolakan-pergolakan lokal, revolusi Indonesia yang bersifat nasional sebenarnya terdiri dari banyak unsur yang kompleks. Ada masalah etnis, progresif, dan kolot, juga ulama vs. adat. Akhirnya, konsepsi Indonesia bagi semua unsur tertindas dan yang menentang golongan mapan merupakan konsep dan alat pembebasan. Konsep Indonesia adalah pembebasan dari penguasa adat di Sumatera Barat, Aceh, dan lain-lain, dari ketaatan agama (Banten), dari pangreh praja (Tiga Daerah), atau dari mapanisme KNIL (Maluku). Konsep Indonesia sebagai alat mobilitas sosial, dan dinamika daerah vs. yang kolot ini, mungkin masih berlaku hingga kini, dan yang sampai kini masih menjamin persatuan. Paling sedikit, begitulah asal mula konsep Indonesia ini, pada zaman pergerakan sebelum 1942 serta pada zaman revolusi. Masalah angkatan-angkatan dalam sejarah modern kita, seperti angkatan 08, 28, 45, dan 66, mengungkapkan struktur dinamika politik Indonesia modern yang demikian, yakni konsep Indonesia sebagai unsur pembebasan, dan bukan pengekangan. Onghokham
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini