DULU, masih duduk di HIS Petojo Jagamonyet Betawi dia suka
main bola di lapangan Gambir depan Museum Pusat. Suatu kali
lawan bermainnya curang. Dihajarnya sampai ke stasiun Gambir. Ia
memang tak pernah mau kalah,kecuali secara wajar. Anak belasan
tahun yang kini sudah berusia 84 itu -- Haji Kiagoos Abdul Ghany
Aziz -- masih memancarkan watak aslinya: bersemangat, keras tapi
penuh perhitungan. Di kantornya yang bertingkat 4 di jalan
Jenderal Sudirman ia sering mendaki tangga -- dari pada numpang
lift "Sekalian olahraga", katanya. Orang tua ini masih duduk
sebagai Ketua Dewan Direksi kelompok PT Masayu/Kiagoos,
membawahi 518 karyawan. Dia mulai dari bawah dengan kekuatan
sendiri. Haji Ghany, begitu panggilannya, bolehlah disebut
entrepreneur Indonesia di samping rekan-rekan seangkatannya yang
umumnya sudah mendahuluinya: Djohan Djohor bersaudara, Ayub Rais
(tokoh "Djohan Djohor"), Haji Usman, Rahman Tamin, Sidi Tando,
Dasaad, Moh. Taher dan Datuk Sati(pemilik toko Delima). Atau
untuk meminjam istilah Dr. Suparman, ketua Lembaga Bina
Wiraswasta: mereka itu - berwatak, berani mengambil risiko,
inovatif. Dan berdikari.
Umumnya mereka mulai dengan modal dengkul. Begitu pula Haji
Ghany. Mendirikan Kiagoos dan Masayu di tahun 1940-an, kedua
perusahaan itu kini sudah berkembang dipimpin para manajer yang
profesionil. Mereka terdiri dari berbagai suku -- dan tak ada
hubungan famili dengan Haji Ghany. Kalau rekan-rekannya kini
tinggal dikenang namanya -- dan perusahaan merek? banyak yang
runtuh -- karya Haji Ghany bisa dipastikan akan terus berjalan
sekalipun misalnya ia tiada. Orang tua itu termasuk yang percaya
akan sistim manajemen modern, yang tak bergantung pada satu atau
dua figur saja.
Tapi dalam membawa usahanya, tak jarang dia jatuh-bangun. Tahun
1927, ketika masih ikut ayahnya, pemuda kelahiran Jakarta asal
Palembang itu berspekulasi dagang hasil bumi di Teluk
Betung-Lampung. Dengan gampang ia memberi persekot kepada para
petani dengan harapan bisa memonopoli panen . Tapi musim hujan
yang panjang menghancurkan harapannya: dia rugi 300 ribu Gulden.
Keberanian berspekulasi seperti itu diwarisi dari ayahnya yang
di tahun 1904 mendirikan Firma Kiagoos Abdul Aziz & Co di Gang
Orpa Jakarta Kota. Adalah Abdul Aziz yang ketika itu dipandang
sebagai satu-satunya pribumi yang dipercaya oleh importir
Belanda dalam hal kwalitas hasil bumi dan hutan.
Dan haji Ghany, yang tak sampai tamat HIS (SD kolonial untuk
anak-anak pribumi), melanjutkan 'sekolah' di kantor ayahnya
menseleksi barang-barang dagangan sampai 1905. "Pengalaman
inilah yang membuat saya mengenal kwalitas barang", katanya
suatu pagi di rumahnya jalan Teuku Umar, Jakarta. Sejak kecil
hidupnya keras. Selepas sembahyang subuh, ia biasa ke pasar
membeli sayuran. Sore hari membersihkan lampu minyak dan
memasang sendiri. Sebagai kepala gudang dia juga harus membayar
sendiri upah mingguan para buruhnya. "Waktu itu mana mampu punya
pembantu. Pembantu itu kan hanya ada di kantor para ambterlaar",
katanya. Bicaranya juga rendah hati. Melanjutkan kisahnya
sebagai eksportir sewaktu perang dunia I, haji Ghany berkata:
"Waktu itu Belanda tak bisa memenuhi kontrak penjualan kopra ke
Eropa. Lalu mereka borong persediaan kopra saya 2 gudang penuh.
Saya untung besar. Tapi di lain pihak, ketika itu saya sungguh
tak tahu situasi dagang di luar tanah air. Saya tak habis
mengerti mengapa misalnya kopi kita yang lebih baik itu bisa
dilalap oleh kopi Brazil. Bicara soal merica, saya kira hanya
Lampung dan Bangka yang punya".
Pernah dia merantau ke Singapura, kerja sebagai pembantu di
sebuah restoran. Upahnya: makan dan tidur gratis. "Itu terjadi
ketika usaha ayah saya mundur", katanya mengenang. "Ketika itu
jaman susah, maleise". Punya pondokan di restoran itu, Ghany
yang masih muda itu tak tinggal diam. Di waktu senggang dia
nyambi jadi makelar onderdil sepeda dan mobil. Juga jadi
penghubung para pedagang karet dari Jambi dan Palembang. Kembali
ke tanah air dia coba nasib sebagai makelar mobil, juga
berdagang sarung palekat. Tapi cara mencari uang seperti itu tak
membuatnya puas. Dia ingin lebih besar. Bukan cuma cari uang,
tapi ingin tampil sebagai pengusaha pribumi yang terpandang.
Maka untuk bisa dipandang para pengusaha Belanda yang termasuk
kelompok Big Five, Ghany percaya hanya persatuanlah kuncinya.
Dia berhasil mengajak kawan-kawannya mendirikan Inheemsche
Handels Vereneeging (Persatuan Pedagang Pribumi), diketuai
Dasaad. Big Five adalah 5 perusahaan besar Belanda: Jacobson van
den Berg, Internatio, Borsumij, Geowehrij, Lundeteves.
Pada mulanya persatuan pribumi itu mengalami kesulitan. Tapi
perang Jepang - Tiongkok di tahun 1936 membuka jalan. Siang
Hwee, persatuan pedagang Tionghoa yang menguasai perdagangan
menengah' sampai eceran, memboikot tekstil Jepang. Tapi Big Five
tetap mengimpornya karena murah harganya. Untuk menyalurkannya
ke tangan rakyat, para pengusaha Belanda itu terpaksa mendekati
IHV. "Itulah saat baik unuk merebut posisi Siang Hwee", kata
haji Ghany bersemangat. Meskipun akhirnya Big Five kembali
merangkul Siang Hwee. Namun begitu, Ghany dan kawan-kawan tetap
cari akal bagaimana caranya agar tak terlalu tergantung pada
Belanda dan Siang Hwee. Maka mereka mendirikan Malaya Import
Maatschappij dipimpin Ayub Rais. Berkat bantuan beberapa anggota
Volksraad, ketika itu mereka memperoleh ijin untuk mengimpor
barang-barang asal Jepang.
Pertemuannya dengan Dasaad di tahun 1936 cukup menarik. Ketika
itu Dasaad yang masih muda, berjualan vulpen Parker depan toko
De Zon (kini toko Sinar Matahari) di Pasar Baru. Suatu hari si
penjual vulpen terlibat dalam suatu pembicaraan dengan Ghany.
"Berapa jam kau berdiri di sini?", tanya Ghany.
"Jam 8 pagi sampai tengah hari, lalu pulang -- malam dan tidur
siang. Jam 4 sore kembali berjualan sampai jam 7 malam. Lalu
pulang".
"Kau banyak buang waktu. Mari kita kerjasama mendirikan
perusahaan". Maka mereka pun mendirikan Firma Ghandas
(Ghany-Dasaad). Tak lama kemudian, Ghany yang sudah mendirikan
Kiagoos Brothers masih sempat membantu Dasaad mengambil-alih
pabrik Kantjil Mas, Bangil. Merasakan perlunya persatuan yang
lebih kokoh, di tatahun 1944 Ghany mencoba merintis pendirian
Persatuan Tenaga Ekonomi. Tapi malang baginya dia kemudian
ditangkap tentara Jepang. Di awal revolusi fisik, sebagian dari
kantornya di jalan Tamblong Bandung dipakai oleh kantor berita
Antara dan Markas Pemuda. Dan ketika Bandung jadi lautan api, ia
mengungsi ke Tasikmalaya -- mulai berdagang kerajinan bambu dan
pandan. Ia juga ikut hijrah ke Yogya. Di sana ia menyewa kamar
di hotel Trio yang juga digunakan sebagai kantor. Pada saat
penyerahan kedaulatan, 1949, ia kembali ke Jalarta. "Ketika itu
Dasaad sudah punya Dasaad Musin Concern", katanya. "Tapi atas
bantuan Rahman Tamin yang kenal baik dengan pejabat Kementerian
Ekonomi Belanda Van Hennep, maka Masayu mendapat izin impor".
Sejak itu Ghany mulai bangkit kembali. Dan -- akhirnya di tahun
1962, PT Masayu mulai membangun gedungnya di jalan Jenderal
Sudirman. "Kami membangunnya dengan merayap", katanya. "Lantai
di tingkat empat baru bisa dipasang tahun 1972". Kini Masayu
hasil karyanya itu sudah punya cabang di 7 kota besar Indonesia.
Tanya: Dalam usia lanjut begini kok masih aktif: Apa resepnya?
Jawab: Jangan takut susah dan cape. Ini modal paling besar. Juga
harus mengenal kwalitas barang dan pasaran, banyak hubungan
dengan orang. Dulu, sampai jauh malam saya masih buka pintu.
Tamu saya selalu banyak. Tapi ingat: semangat berusaha harus
dilandasi takwa kepada Tuhan.
T: Bagaimana dengan anjuran hidup sederhana?
J: Lho, sejak dulu nenek-moyang kita kan sederhana. Kalau
sekarang banyak orang suka bermewah-mewah, itu karena tak tahu
ukuran dan perhitungan. Orang begitu bisa mabuk karena tak punya
patriotisme. Bisa lupa diri.
T: Sekarang mulai banyak anak muda yang jadi pengusaha.
Bagaimana bapak melihat mereka?
J: Saya masih punya cita-cita mengajak usahawan muda itu agar
bersatu, Terserah siapa yang jadi induknya. Kalau ada tender
atau proyek, harus kita bagi. Tapi jangan minta fasilitas
melulu. Mari kita jadi fondasi dan pagar ekonomi negara.
Sekarang ini orang seperti anak kecil saja: rebutan coklat.
GENERASI haji Ghany boleh disebut sebagai perintis wiraswasta di
Indonesia. Tapi generasi yang lebih muda juga tak sedikit yang
mulai dari bawah. Salah satu adalah HM Sulchan dari Semarang. Ia
anak nelayan kecil, lahir di desa Wedung pinggir pantai utara
Demak tahun 1911. Ibunya yang menjanda kenudian memburuh pada
sebuah perusahaan batik. Kurang berhasil, di tahun 1922 keluarga
miskin itu pindah ke Demak berjualan tikar di pasar. "Saya yang
memikul tikar-tikar itu", katanya dua pekan silam di rumahnya
jalan Pandanaran Semarang. Tahun 1925, seorang pengusaha Jepang
bernama Takeyi membuka pabrik beras di kampungnya. Dan Sulchan
jadi kacung pabrik dengan upah 7,5 gulden sebulan, kerja dari
pagi sampai malam. Mendapat kepercayaan majikan. Ia lalu
diangkat sebagai mandor. Bahkan kemudian dianggap sebagai anak
angkat. Ketekunan Sulchan menarik hati haji Jufri, ani dan
pedagang besardari Kalinyamat (Jepara) yang sering membeli beras
di pabrik Jepang itu. Sulchan kemudian diambil menantu oleh pak
haji.
"Dari haji Jufri pun saya mendapat pengalaman bekerja keras.
Subuh mengatur pekerjaan di sawah, jam 18 baru pulang. Malamnya
sampai jam 24 mengepak barang-barang ekspor. Jam 1 malam mengisi
truk-truk dengan muatan dan mengawalnya sampai Semarang. Begitu
seterusnya selama 5 ahun", tuturnya. "Dulu saya rasakan sebagai
kerja berat, sekarang bisa saya nikmati keuntungannya". Dengan
pengalaman-pengalaman itu -- dan berkat 'katrolan' mertuanya,
tentu -- tahun 1936 ia mulai mencoba berdikari. Setahun kemudian
ia menghadapi saingan 3 pengusaha non-pri.
"Saya yang menang, meskipun cuma beruntung sedikit. Soalnya
mereka sudah punya kontrak kacang tanah kwalitas ekspor cukup
banyak tapi tak bisa melever karena panen gagal. Harga melonjak
tinggi. Saya sendiri tak punya kontrak. Maka semua persediaan
kacang saya jual di atas harga pasar setiap ada kapal berangkat
ke Eropa"
TAHUN 1938 ada rejeki nomplok lagi. Si tiga besar tak berani
kontrak, sekalipun toko-toko Belanda menawar harga tinggi: 10
gulden. Padahal sebulan lagi panen besar. "Maka semua tawaran
itu saya tutup", kata Sulchan. Tapi karena panenan besar, harga
kacang kembali turun menjadi 7,5 gulden. "Dari keuntungan ini
saya bisa memberi hadiah mobil Ford Lincoln kepada mertua,
seharga 2.500 gulden. Itu satu-satunya mobil yang dimiliki orang
Jawa di Jepara saat itu". Nama Sulchan mulai dikenal. Dan 3
saingannya pun kemudian bersahabat dengannya. "Sampai sekarang
anak-anak mereka membantu memasarkan barang-barang saya ke luar
negeri", katanya.
Sampai Jepang masuk, 1942, namanya dikenal baik sampai ke negeri
Belanda. Setiap barang dari Indonesia bermerk "H.M.S." (Haji
Muhammad Sulchan) selalu dianggap berkwalitas. Di jaman Jepang,
pabrik beras di desa kelahirannya dikuasakan kepadanya. Sampai
revolusi 1945 meletus, ada persediaan padi 5.000 ton, "saya
serahkan Bupati untuk perjuangan", katanya. Setelah Belanda
menduduki Demak, Komandan Resimen dan Residen Pati menugaskannya
mengumpulkan padi karena gudang beras di Wedung sudah diduduki
musuh. Ia juga menyelenggarakan dapur umum. Tahun 1952, ketika
kembali berdagang, pimpinan Jacobson van den Brg yang berkantor
di jalan Sultan Agung sekarang, mengundangnya dan minta dikirim
ke negeri Belanda:kacang tanah kulit merah 300 ton. "Dengan
persekot 50%, saya pun bisa bernafas kembali", katanya. Sepulang
berkeliling Hongkong dan Jepang (1954), ia mengekspor biji kapok
dan kacang ke Jepang, karena pasaran Eropa lagi lesu. Dari sini
timbul gagasan mendirikan NV Kapok bersama Pemerintah (1958)
dengan modal Rp 10 juta, 52% saham di tangan pemerintah. "Anak
sulung saya yang kebetulan bersekolah di AS menjadi perwakilan
di sana", katanya. Berkat penjajagan marketing di AS, Selandia
Baru dan Australia, ekspor kapok menanjak. "Sayang, baru
berjalan 2 tahun, 48% saham saya dioper pemerintah. Saya
terpaksa melepaskan jabatan saya sebagai Direktur".
Sebelumnya, pertengahan 1969 Sulchan menangani hasil laut joint
venture dengan Sumitomo Jepang, mendirikan PT Central Java
Marine Products Co (PT Cejamp) yang memproses udang, yang 3
tahun kemudian dipermodern. Usaha Sulchan berkembang-biak.
Setelah dia terjun berkongsi dengan asing Jepang. Ia membangun
sebuah hotel mewah di bukit Gombel, yang diperkirakan selesai
bulan Oktober 1976. Sekarang sedang membicarakan kemungkinan
mendirikan PT Calbee Snack dengan Calbee Food Tokyo yang
memproduksi makanan kecil. Ia juga punya rencana mendirikan
pabrik pembungkus. "Mesin-mesinnya sudah dipesan dari Taiwan".
katanya. Dalam bidang pendidikan, mulai tahun 1956 Sulchan
memimpin Yayasan Badan Wakaf Sultan Agung . Semula cuma memiliki
1 gedung setengah jadi dan sebuah SD, sekarang bahkan punya
Perguruan Tinggi, rumah saklt dan gedung pertemuan.
Tokoh usahawan lain yang memang dari "sono"nya sudah berduit
adalah Hasyim Ning. Meski masih relatif 'muda dibanding haji
Ghany, toh sejak 1972 Hasyin Ning mengundurkan diri dari jabatan
eksekutif segenap perusahaannya. Ia kini lebih suka jadi Dewan
Komisaris PT Jaya, Daha Motor, Jakarta Motor. Hotel Kemang,
Asuransi Sriwijaya, PACTO, Central Commercial Bank dan
lain-lain.
"Saya serahkan kepemimpinan kepada yang muda-muda. Dengan cara
begini kita bisa maju. Jangan sampai setelah saya nanti tak ada,
perusahaan lantas macet. Tapi saya juga masih mendampingi
mereka. Tugas sehari-hari di tangan anak-anak muda itu, tapi
garis besar kebijaksanaan masih saya yang menentukan", katanya.
Pensiunan letnan kolonel ini nama lengkapnya Haji Masagus Nur
Muhammad Hasyim Ning. Ia bergelar Doktor (HC) bidang manajemen
yang diterimanya tahun 1963 dari Ul SU, beberapa saat setelah
Jenderal Nasution juga menerima Doktor HC dari universitas yang
sama. Ia juga sering berceramah. Ada pendapatnya tentang
'perataan pendapatan' yang tampaknya memang khas pedagang' .
Baginya, makmur dulu baru dibagi. "Sebab Bagaimana kita bisa
memberi makan anak-anak kalau kita sendiri belum cukup ? Kalau
pendapatan sedikit lantas dibagi, kan habis? Tapi setelah 'kue
nasional' diperbesar, hanya sebagian saja yang dibagi rata. Dan
bersamaan dengan itu ditertibkan dan sekaligus dibina -- dijaga
kestabilannya . Sisanya untuk modal, yang harus diperbesar lagi.
Saya ini berfikir praktis saja"
Tanya: Apa sebenamya kunci sukses bagi pengusaha kita?
Jawab: supaya sukses, kita harus laksanakan 3 syarat: ketekunan,
kejujuran, perencanaan. Harus bisa mencocokkan daganga dengan
selera konsumen. Sebelum menjual, harus selidiki dulu. Sumber
kegagalan usahawan kita biasanya ini: kalau gagal sekali lalu
pindah usaha lain. Belum riset sudah menjual barang. Hanya bisa
menjual tapi menciptakan pasar nggak bisa. Sejak 1970 saya
sudah membuka real estate di Kemang sebelum orang
berlatah-latah ikut-ikutan. Ketika banyak real estate muncul,
dan harga tanah naik, saya mundur. Lihatlah, real estate
Kuningan, sampai-sampai seorang buruh bekerja untuk 2 - 3 rumah.
Impor semen, tanpa mengingat kapasitas. Hingga akhirnya
menumpuk dan beku. Impor terigu terus sampai menjamur. Ini
karena tak ada riset sebelumnya. Jadi semua pekerjaan itu harus
diatur, jangan suka lompat-lompat. Kalau dagang mundur, cari
akal, berikan layanan yang baik sebab pembeli adalah raja'. Kita
ini, usahawan-usahawan Melayu, kalau permintaan naik malah
dimain-mainkan: harga dinaikkan tanpa menjaga mutu.
T: Bagaimana dengan usahawan jaman sekarang?
J: Nasihat saya tetap: jujur dan tekun. Indonesia ini kan tanah
air kita sendiri, yang kita rebut sendiri. Kalau kita merasa
dirugikan oleh Pemerintah, temui saja pejabat-pejabat itu. Toh
mereka juga merasa bahwa Indonesia adalah tanah airnya. Dulu,
ketika saya melawan Big Five yang lebih banyak mendapat
fasilitas, pejabat-pejabat itu saya datangi. Big Five itu kaum
monopolis sejak VOC dan baru bubar setelah kita merebut Irian
Jaya,sampai-sampai terasi dan krupuk udang juga mereka monopoli.
Saya bilang kepada pejabat-pejabat itu: "Apa saya tak layak
disejajarkan dengan Big Five?". Akhirnya dipertimbangkan juga.
Dan sekarang kan sudah banyak anak-anak muda yang tampil,
misalnya ir. Siswono dan usahawan-usahawan muda yang tergabung
dalam HIPMI.
T: Tenang penyelundupan.....
J: Sebaiknya Departemen Perdagangan kembali meneliti para
importir dan eksportir, seperti tahun 1959 dulu. Salah satu
sebab dari penyelundupan: karena ahlak sebagian pejabat-pejabat
kita yang rusak, ingin hidup enak, tak bisa mengontrol
diri-sendiri. Lihat Mercedes, ingin Mercedes -- lalu negara
digerogoti. Kalau pedagang kotor ketemu pejabat kotor, ya hanya
yang serba kotor saja hasilnya.
Lahir di Padang tapi besar di Palembang. Hasyim Ning memang
keturunan orang dagang. Tahun 1937, pertama kali ia cari nasib
di Jakarta: menjadi tukang cuci mobil di perusahaan mobil orang
Belanda, Velodroom, yang gedungnya sekarang ditempati Indokaya.
"Mobil-mobil yang baru datang lewat Priok kan masih berlumas
minyak. Nah, sayalah yang mencuci". Ketika itu ia baru 21 tahun.
Kemudian jadi penjual mobil-mobil Velodroom.
Sejak kecil suka mobil mainan, kakeknya sering membelikannya.
Haji Ning, sang kakek, adalah pemborong yang dipercayai Belanda
membikin jalan-jalan dan rel di Sawahlunto, hingga kereta api
bisa mengangkut batu arang dari sana. "Kakek saya selama 25
tahun bebas naik kereta api dan mendapat 2 wagon spesial,
lengkap dengan restorannya". Ketika pecah perang ia mengurus
perkebunan teh dan penggilingan padi milik pamannya di Cianjur.
Dalam perang kemerdekaan, ia angkat senjata di front Cianjur,
Bandung Selatan, bersama Alex Kawilarang. Setelah pensiun (1951)
ia kembali dagang membuka Djakarta Motor Company. "Dua,tahun
kemudian saya mendirikan Indonesian Service Stasior, usaha
assembling yang pertama di Indonesia", katanya. Berbeda dari
rumah haji Ghany di jalan Teuku Umar yang sederhana, rumah
Hasyim Ning di jalan Pakubuwono VI mentereng. Halamannya sangat
luas. Persamaan kedua rumah usahawan ini ialah: keduanya
memiliki sebuah gardu yang dijaga setiap hari.
Kisah sukses Soedarpo lain lagi. Bermula ingin jadi dokter,
akhirnya menjadi usahawan. Tahun 1948 duduk di staf kedubes RI
di AS, 1951 pulang ke tanah air. Tapi pangkat dan jabatannya di
Kementerian Luar Negeri ia tinggalkan, lalu mendirikan Soedarpo
Corporation. Modalnya? "Ya sedikit-sedikit tabungan sisa gaji
tian selebihnya lucu", katanya. Di jaman Jepang, ia dan
sahabatnya, seorang India, sudah meramalkan Jepang akan kalah.
Dan dengan sendirinya uang Belanda akan berlaku lagi. Darpo
sering membeli uang Belanda yang kemudian 'diputar' oleh
sahabatnya. Ketika kembali dari AS, ia "sudah punya uang cukup
lumayan". Kecuali itu punya modal lain: banyak kenalan, hingga
pintu menjadi pengusaha pun terbuka lebar baginya. Soedarpo
Corporation lalu mengageni mesin-mesin tulis Remington. Di lain
fihak, ada pula sumber rejeki menunggunya. Di AS, ia pernah
berkenalan dengan pimpinan sebuah perusahaan pelayaran yang
mengadakan pelayaran tetap ke Indonesia. Kenalannya orang AS itu
lalu minta Darpo mengambil oper keagenan di sini yang dulu
ditangani orang Belanda.
Tahun 1952 ia mendirikan ISTA (Indonesian Shipping and
Transportation Agency). Ketika tahun 1964 ada kebiasaan
mengganti nama-nama asing ISTA menjadi PT Samudera Indonesia,
yang kini bukan hanya sebagai agen melainkan berkembang menjadi
perusahaan pelayaran yang memiliki armada sendiri sebanyak 8
kapal, melayari jalur tetap ke Jepang dan Eropa. Juga punya anak
perusahaan pelayaran nusantara dengan 7 kapal serta beberapa
kapal tongkang. Dan dengan swasta Jepang, ia bikin perusahaan
bersama, khusus mengangkut kayu dengan 3 kapal.
Sekarang, agen penjualan mesin ketiknya berkembang menjadi
distributor komputer dan obat-obatan produksi Darmstadt, Univac,
Merck, Sanbe. Samudera Indonesia dan Soedarpo Corporation,
berkantor pusat di 2 tempat: Kalibesar Barat dan jalan S. Parman
(Slipi), Jakarta. Pada dinding kaca ruang tamu kantornya di
Slipi, terpampang tulisan: "Motto kita: sabar, tabah, tekun dan
iman". Agaknya itulah pedoman dan resep Darpo. Berdasarkan
pengalamannya, ada 3 hal yang ia catat dalam bisnis perkapalan.
Pertama, awak kapal semua harus orang Indonesia. Yang ternyata
ini tidak mudah", katanya. Kedua, usaha semacam ini perlu modal
besar tapi hasilnya kecil. "Dalam mencari kredit untuk tambahan
modal tak ada garansi Pemerintah meskipun usaha kita justru
untuk menyalurkan barang dari dan ke luar negeri". Ketiga, untuk
penambahan armada sering menyewa kapal. "Yang boleh disewa tentu
kapal bekas. Ongkos perawatannya jauh lebih mahal ketimbang
kapal baru", katanya.
MENURUT Darpo, pengusaha pribumi sekarang umumnya masih
lemah. Salah satu sebabnya ialah pengaruh sisa-sisa kebudayaan
priyayi dan kebudayaan Hindu yang mengenal tingkatan kastakasta.
"Pedagang dianggap kasta ketiga. Itulah sebabnya iklim usaha
kita agak sulit". Kesempatan dan perlindungan dari Pemerintah
sejak dulu sampai kini, menurutnya, sebenarnya cukup. Toh
pengusaha pribumi tetap lemah. "Itu antara lain karena pengaruh
kebudayaan lama itulah",tambahnya. Adapun kebudayaan priyayi
katanya bisa dikikis habis dengan pendidikan yang layak dan
sesuai dengan jaman. Misalnya memperbanyak sekolah-sekolah
kejuruan. "Yang kita butuhkan ialah tenaga-tenaga trampil".
Latihan kerja praktek di perusahaan-perusahaan adalah penting
sekali", katanya.
Tentu ada tokoh-tokoh swasta lain yang bisa ditampilkan di sini.
Tapi karena kesibukan atau masih berada di luar negeri, mereka
tak begitu mudah untuk ditemui. Agaknya yang juga menarik
dikemukakan adalah Dr Suparman, 51 tahun, yang mulai
mempopulerkan istilah wiraswasta. Pernah 10 tahun jadi tentara
(terakhir kapten), tahun 1955 berhasil mencapai gelar sarjana
ilmu pajak di negeri Belanda, lalu melanjutkan studi perpajakan
di AS. Ia juga dikukuhkan sebagai doktor ilmu akuntansi oleh
UNPAD. Berbeda dengan tokoh swasta lainnya, Suparman yang sudah
ubanan ini memang memulai karirnya sebagai guru. Sekalipun kini
aktif sebagai konsultan, memimpin sebuah perusahaan asuransi dan
beberapa perusahaan lainnya, sikap gurunya masih tebal.
Akhir-akhir ini dia sering berceramah memperkenalkan: Apa itu
yang disebut Wiraswasta. Tahun lalu dia mendirikan Lembaga Bina
Wiraswasta dengan Bung Hatta sebagai pelindungnya.
Usahawan pribumi yang ulet itu percaya bahwa setiap orang pasti
bisa berhasil menjadi wiraswasta, asal saja menjalani dengan
tekun semua persyaratannya. Mungkin tertarik akan istilah padi
unggul, dia mendambakan lahirnya manusia-manusia "unggul" di
Indonesia. "Yang perlu adalah menjadi manusia unggul dulu",
katanya. "Nah sesudah itu baru memperdalam ilmu dengan sekolah".
Dan mendidik manusia wiraswasta itulah yang diajarkan
lembaganya. Bagi Suparman, seorang wiraswasta itu tak terbatas
pada usahawan saja. Tapi bisa juga menyelam di bidang seni
sampai olahraga. Rudi Hartono dan dramawan Rendra menurut
Suparman adalah wiraswasta. "Asalkan orang itu punya karakter,
ulet, berdikari, pandai memilih risiko, inovatif -- nah itulah
wiraswasta", katanya.
Suparman terjun ke bidang usaha baru belakangan ini -- dibanding
dengan tokoh-tokoh swasta lainnya. Mungkin suasana bisnis yang
banyak menggantungkan diri pada kredit bank, fasilitas ini-itu
dan rasa puas diri kalau sudah bisa menemukan partner asing
--itulah yang membuat akuntan ini merasa perlu menumbuhkan sikap
yang berdikari pada para pengusaha jaman sekarang. "Cari kredit
bank itu perlu untuk meluaskan usaha", katanya. "Tapi itu bukan
merupakan syarat utama bagi seseorang yang ingin berusaha".
Tanya: Apa sudah banyak usahawan kita yang bisa disebut
wiraswasta?
Jawab: Belum. Ini memang butuh suatu proses yang panjang, butuh
kesabaran. Tapi kalau suatu waktu sudah bisa dibina
manusia-manusia unggul di Indonesia, saya yakin mereka akan bisa
merubah watak bangsa agar percaya pada diri sendiri.
Lalu dia mengemukakan contoh ekstrim dari manusia unggul yang
pernah lahir di dunia ini: Hellen Keller yang buta-tuli dan bisu
itu, yang berhasil menjadi jutawan yang amat dermawan. Beberapa
buku Suparman yang berjudul Waktu, Watak, Wiraswasta dan
Menggali, Menempa dan Mengembangkan Kepribadian Unggul
Kewiraswastaan, menurut beberapa orang mirip dengan buah fikiran
Dale Carnegie, orang Amerika yang terkenal dengan buku-buku
'sukses' itu.
T: Soal pribumi dan non-pribumi itu sering dipakai untuk
membedakan antara kaum modal lemah dan mereka yang bermodal
kuat. Bagaimana pendapat bapak?
J: Saya keberatan menggunakan istilah itu. Apalagi kalau disebut
pribumi lemah. Sesudah 5 tahun isyu tersebut ditiup-tiupkan,
saya khawatir akan timbul keyakinan dalam masyarakat bahwa
pribumi itu memang lemah. Padahal kalau dikaji, kemerdekaan yang
berhasil kita rebut ini adalah semata-mata karena pribumi kuat.
Isyu semacam itu tak patut diterus-teruskan. Kita justru sedang
menjadi bibit pribumi yang unggul. Sekalipun diakui banyak
bibit-bibit kemalasan, bermental lemah, priyayi mana dan benih
kecurangan. Yah, kaum aji mumpung yang tak setia pada tanah air
....
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini