Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Tokoh-tokoh swasta berbicara

Beberapa tokoh pengusaha nasionalang berhasil, mengungkapkan pengalamannya sejak mulai berusaha. a.l: pengusaha haji ghany, hasyim ning, suparman, soedarpo. kunci keberhasilan mereka: kerja keras. (tk)

26 Juni 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DULU, masih duduk di HIS Petojo Jagamonyet Betawi dia suka main bola di lapangan Gambir depan Museum Pusat. Suatu kali lawan bermainnya curang. Dihajarnya sampai ke stasiun Gambir. Ia memang tak pernah mau kalah,kecuali secara wajar. Anak belasan tahun yang kini sudah berusia 84 itu -- Haji Kiagoos Abdul Ghany Aziz -- masih memancarkan watak aslinya: bersemangat, keras tapi penuh perhitungan. Di kantornya yang bertingkat 4 di jalan Jenderal Sudirman ia sering mendaki tangga -- dari pada numpang lift "Sekalian olahraga", katanya. Orang tua ini masih duduk sebagai Ketua Dewan Direksi kelompok PT Masayu/Kiagoos, membawahi 518 karyawan. Dia mulai dari bawah dengan kekuatan sendiri. Haji Ghany, begitu panggilannya, bolehlah disebut entrepreneur Indonesia di samping rekan-rekan seangkatannya yang umumnya sudah mendahuluinya: Djohan Djohor bersaudara, Ayub Rais (tokoh "Djohan Djohor"), Haji Usman, Rahman Tamin, Sidi Tando, Dasaad, Moh. Taher dan Datuk Sati(pemilik toko Delima). Atau untuk meminjam istilah Dr. Suparman, ketua Lembaga Bina Wiraswasta: mereka itu - berwatak, berani mengambil risiko, inovatif. Dan berdikari. Umumnya mereka mulai dengan modal dengkul. Begitu pula Haji Ghany. Mendirikan Kiagoos dan Masayu di tahun 1940-an, kedua perusahaan itu kini sudah berkembang dipimpin para manajer yang profesionil. Mereka terdiri dari berbagai suku -- dan tak ada hubungan famili dengan Haji Ghany. Kalau rekan-rekannya kini tinggal dikenang namanya -- dan perusahaan merek? banyak yang runtuh -- karya Haji Ghany bisa dipastikan akan terus berjalan sekalipun misalnya ia tiada. Orang tua itu termasuk yang percaya akan sistim manajemen modern, yang tak bergantung pada satu atau dua figur saja. Tapi dalam membawa usahanya, tak jarang dia jatuh-bangun. Tahun 1927, ketika masih ikut ayahnya, pemuda kelahiran Jakarta asal Palembang itu berspekulasi dagang hasil bumi di Teluk Betung-Lampung. Dengan gampang ia memberi persekot kepada para petani dengan harapan bisa memonopoli panen . Tapi musim hujan yang panjang menghancurkan harapannya: dia rugi 300 ribu Gulden. Keberanian berspekulasi seperti itu diwarisi dari ayahnya yang di tahun 1904 mendirikan Firma Kiagoos Abdul Aziz & Co di Gang Orpa Jakarta Kota. Adalah Abdul Aziz yang ketika itu dipandang sebagai satu-satunya pribumi yang dipercaya oleh importir Belanda dalam hal kwalitas hasil bumi dan hutan. Dan haji Ghany, yang tak sampai tamat HIS (SD kolonial untuk anak-anak pribumi), melanjutkan 'sekolah' di kantor ayahnya menseleksi barang-barang dagangan sampai 1905. "Pengalaman inilah yang membuat saya mengenal kwalitas barang", katanya suatu pagi di rumahnya jalan Teuku Umar, Jakarta. Sejak kecil hidupnya keras. Selepas sembahyang subuh, ia biasa ke pasar membeli sayuran. Sore hari membersihkan lampu minyak dan memasang sendiri. Sebagai kepala gudang dia juga harus membayar sendiri upah mingguan para buruhnya. "Waktu itu mana mampu punya pembantu. Pembantu itu kan hanya ada di kantor para ambterlaar", katanya. Bicaranya juga rendah hati. Melanjutkan kisahnya sebagai eksportir sewaktu perang dunia I, haji Ghany berkata: "Waktu itu Belanda tak bisa memenuhi kontrak penjualan kopra ke Eropa. Lalu mereka borong persediaan kopra saya 2 gudang penuh. Saya untung besar. Tapi di lain pihak, ketika itu saya sungguh tak tahu situasi dagang di luar tanah air. Saya tak habis mengerti mengapa misalnya kopi kita yang lebih baik itu bisa dilalap oleh kopi Brazil. Bicara soal merica, saya kira hanya Lampung dan Bangka yang punya". Pernah dia merantau ke Singapura, kerja sebagai pembantu di sebuah restoran. Upahnya: makan dan tidur gratis. "Itu terjadi ketika usaha ayah saya mundur", katanya mengenang. "Ketika itu jaman susah, maleise". Punya pondokan di restoran itu, Ghany yang masih muda itu tak tinggal diam. Di waktu senggang dia nyambi jadi makelar onderdil sepeda dan mobil. Juga jadi penghubung para pedagang karet dari Jambi dan Palembang. Kembali ke tanah air dia coba nasib sebagai makelar mobil, juga berdagang sarung palekat. Tapi cara mencari uang seperti itu tak membuatnya puas. Dia ingin lebih besar. Bukan cuma cari uang, tapi ingin tampil sebagai pengusaha pribumi yang terpandang. Maka untuk bisa dipandang para pengusaha Belanda yang termasuk kelompok Big Five, Ghany percaya hanya persatuanlah kuncinya. Dia berhasil mengajak kawan-kawannya mendirikan Inheemsche Handels Vereneeging (Persatuan Pedagang Pribumi), diketuai Dasaad. Big Five adalah 5 perusahaan besar Belanda: Jacobson van den Berg, Internatio, Borsumij, Geowehrij, Lundeteves. Pada mulanya persatuan pribumi itu mengalami kesulitan. Tapi perang Jepang - Tiongkok di tahun 1936 membuka jalan. Siang Hwee, persatuan pedagang Tionghoa yang menguasai perdagangan menengah' sampai eceran, memboikot tekstil Jepang. Tapi Big Five tetap mengimpornya karena murah harganya. Untuk menyalurkannya ke tangan rakyat, para pengusaha Belanda itu terpaksa mendekati IHV. "Itulah saat baik unuk merebut posisi Siang Hwee", kata haji Ghany bersemangat. Meskipun akhirnya Big Five kembali merangkul Siang Hwee. Namun begitu, Ghany dan kawan-kawan tetap cari akal bagaimana caranya agar tak terlalu tergantung pada Belanda dan Siang Hwee. Maka mereka mendirikan Malaya Import Maatschappij dipimpin Ayub Rais. Berkat bantuan beberapa anggota Volksraad, ketika itu mereka memperoleh ijin untuk mengimpor barang-barang asal Jepang. Pertemuannya dengan Dasaad di tahun 1936 cukup menarik. Ketika itu Dasaad yang masih muda, berjualan vulpen Parker depan toko De Zon (kini toko Sinar Matahari) di Pasar Baru. Suatu hari si penjual vulpen terlibat dalam suatu pembicaraan dengan Ghany. "Berapa jam kau berdiri di sini?", tanya Ghany. "Jam 8 pagi sampai tengah hari, lalu pulang -- malam dan tidur siang. Jam 4 sore kembali berjualan sampai jam 7 malam. Lalu pulang". "Kau banyak buang waktu. Mari kita kerjasama mendirikan perusahaan". Maka mereka pun mendirikan Firma Ghandas (Ghany-Dasaad). Tak lama kemudian, Ghany yang sudah mendirikan Kiagoos Brothers masih sempat membantu Dasaad mengambil-alih pabrik Kantjil Mas, Bangil. Merasakan perlunya persatuan yang lebih kokoh, di tatahun 1944 Ghany mencoba merintis pendirian Persatuan Tenaga Ekonomi. Tapi malang baginya dia kemudian ditangkap tentara Jepang. Di awal revolusi fisik, sebagian dari kantornya di jalan Tamblong Bandung dipakai oleh kantor berita Antara dan Markas Pemuda. Dan ketika Bandung jadi lautan api, ia mengungsi ke Tasikmalaya -- mulai berdagang kerajinan bambu dan pandan. Ia juga ikut hijrah ke Yogya. Di sana ia menyewa kamar di hotel Trio yang juga digunakan sebagai kantor. Pada saat penyerahan kedaulatan, 1949, ia kembali ke Jalarta. "Ketika itu Dasaad sudah punya Dasaad Musin Concern", katanya. "Tapi atas bantuan Rahman Tamin yang kenal baik dengan pejabat Kementerian Ekonomi Belanda Van Hennep, maka Masayu mendapat izin impor". Sejak itu Ghany mulai bangkit kembali. Dan -- akhirnya di tahun 1962, PT Masayu mulai membangun gedungnya di jalan Jenderal Sudirman. "Kami membangunnya dengan merayap", katanya. "Lantai di tingkat empat baru bisa dipasang tahun 1972". Kini Masayu hasil karyanya itu sudah punya cabang di 7 kota besar Indonesia. Tanya: Dalam usia lanjut begini kok masih aktif: Apa resepnya? Jawab: Jangan takut susah dan cape. Ini modal paling besar. Juga harus mengenal kwalitas barang dan pasaran, banyak hubungan dengan orang. Dulu, sampai jauh malam saya masih buka pintu. Tamu saya selalu banyak. Tapi ingat: semangat berusaha harus dilandasi takwa kepada Tuhan. T: Bagaimana dengan anjuran hidup sederhana? J: Lho, sejak dulu nenek-moyang kita kan sederhana. Kalau sekarang banyak orang suka bermewah-mewah, itu karena tak tahu ukuran dan perhitungan. Orang begitu bisa mabuk karena tak punya patriotisme. Bisa lupa diri. T: Sekarang mulai banyak anak muda yang jadi pengusaha. Bagaimana bapak melihat mereka? J: Saya masih punya cita-cita mengajak usahawan muda itu agar bersatu, Terserah siapa yang jadi induknya. Kalau ada tender atau proyek, harus kita bagi. Tapi jangan minta fasilitas melulu. Mari kita jadi fondasi dan pagar ekonomi negara. Sekarang ini orang seperti anak kecil saja: rebutan coklat. GENERASI haji Ghany boleh disebut sebagai perintis wiraswasta di Indonesia. Tapi generasi yang lebih muda juga tak sedikit yang mulai dari bawah. Salah satu adalah HM Sulchan dari Semarang. Ia anak nelayan kecil, lahir di desa Wedung pinggir pantai utara Demak tahun 1911. Ibunya yang menjanda kenudian memburuh pada sebuah perusahaan batik. Kurang berhasil, di tahun 1922 keluarga miskin itu pindah ke Demak berjualan tikar di pasar. "Saya yang memikul tikar-tikar itu", katanya dua pekan silam di rumahnya jalan Pandanaran Semarang. Tahun 1925, seorang pengusaha Jepang bernama Takeyi membuka pabrik beras di kampungnya. Dan Sulchan jadi kacung pabrik dengan upah 7,5 gulden sebulan, kerja dari pagi sampai malam. Mendapat kepercayaan majikan. Ia lalu diangkat sebagai mandor. Bahkan kemudian dianggap sebagai anak angkat. Ketekunan Sulchan menarik hati haji Jufri, ani dan pedagang besardari Kalinyamat (Jepara) yang sering membeli beras di pabrik Jepang itu. Sulchan kemudian diambil menantu oleh pak haji. "Dari haji Jufri pun saya mendapat pengalaman bekerja keras. Subuh mengatur pekerjaan di sawah, jam 18 baru pulang. Malamnya sampai jam 24 mengepak barang-barang ekspor. Jam 1 malam mengisi truk-truk dengan muatan dan mengawalnya sampai Semarang. Begitu seterusnya selama 5 ahun", tuturnya. "Dulu saya rasakan sebagai kerja berat, sekarang bisa saya nikmati keuntungannya". Dengan pengalaman-pengalaman itu -- dan berkat 'katrolan' mertuanya, tentu -- tahun 1936 ia mulai mencoba berdikari. Setahun kemudian ia menghadapi saingan 3 pengusaha non-pri. "Saya yang menang, meskipun cuma beruntung sedikit. Soalnya mereka sudah punya kontrak kacang tanah kwalitas ekspor cukup banyak tapi tak bisa melever karena panen gagal. Harga melonjak tinggi. Saya sendiri tak punya kontrak. Maka semua persediaan kacang saya jual di atas harga pasar setiap ada kapal berangkat ke Eropa" TAHUN 1938 ada rejeki nomplok lagi. Si tiga besar tak berani kontrak, sekalipun toko-toko Belanda menawar harga tinggi: 10 gulden. Padahal sebulan lagi panen besar. "Maka semua tawaran itu saya tutup", kata Sulchan. Tapi karena panenan besar, harga kacang kembali turun menjadi 7,5 gulden. "Dari keuntungan ini saya bisa memberi hadiah mobil Ford Lincoln kepada mertua, seharga 2.500 gulden. Itu satu-satunya mobil yang dimiliki orang Jawa di Jepara saat itu". Nama Sulchan mulai dikenal. Dan 3 saingannya pun kemudian bersahabat dengannya. "Sampai sekarang anak-anak mereka membantu memasarkan barang-barang saya ke luar negeri", katanya. Sampai Jepang masuk, 1942, namanya dikenal baik sampai ke negeri Belanda. Setiap barang dari Indonesia bermerk "H.M.S." (Haji Muhammad Sulchan) selalu dianggap berkwalitas. Di jaman Jepang, pabrik beras di desa kelahirannya dikuasakan kepadanya. Sampai revolusi 1945 meletus, ada persediaan padi 5.000 ton, "saya serahkan Bupati untuk perjuangan", katanya. Setelah Belanda menduduki Demak, Komandan Resimen dan Residen Pati menugaskannya mengumpulkan padi karena gudang beras di Wedung sudah diduduki musuh. Ia juga menyelenggarakan dapur umum. Tahun 1952, ketika kembali berdagang, pimpinan Jacobson van den Brg yang berkantor di jalan Sultan Agung sekarang, mengundangnya dan minta dikirim ke negeri Belanda:kacang tanah kulit merah 300 ton. "Dengan persekot 50%, saya pun bisa bernafas kembali", katanya. Sepulang berkeliling Hongkong dan Jepang (1954), ia mengekspor biji kapok dan kacang ke Jepang, karena pasaran Eropa lagi lesu. Dari sini timbul gagasan mendirikan NV Kapok bersama Pemerintah (1958) dengan modal Rp 10 juta, 52% saham di tangan pemerintah. "Anak sulung saya yang kebetulan bersekolah di AS menjadi perwakilan di sana", katanya. Berkat penjajagan marketing di AS, Selandia Baru dan Australia, ekspor kapok menanjak. "Sayang, baru berjalan 2 tahun, 48% saham saya dioper pemerintah. Saya terpaksa melepaskan jabatan saya sebagai Direktur". Sebelumnya, pertengahan 1969 Sulchan menangani hasil laut joint venture dengan Sumitomo Jepang, mendirikan PT Central Java Marine Products Co (PT Cejamp) yang memproses udang, yang 3 tahun kemudian dipermodern. Usaha Sulchan berkembang-biak. Setelah dia terjun berkongsi dengan asing Jepang. Ia membangun sebuah hotel mewah di bukit Gombel, yang diperkirakan selesai bulan Oktober 1976. Sekarang sedang membicarakan kemungkinan mendirikan PT Calbee Snack dengan Calbee Food Tokyo yang memproduksi makanan kecil. Ia juga punya rencana mendirikan pabrik pembungkus. "Mesin-mesinnya sudah dipesan dari Taiwan". katanya. Dalam bidang pendidikan, mulai tahun 1956 Sulchan memimpin Yayasan Badan Wakaf Sultan Agung . Semula cuma memiliki 1 gedung setengah jadi dan sebuah SD, sekarang bahkan punya Perguruan Tinggi, rumah saklt dan gedung pertemuan. Tokoh usahawan lain yang memang dari "sono"nya sudah berduit adalah Hasyim Ning. Meski masih relatif 'muda dibanding haji Ghany, toh sejak 1972 Hasyin Ning mengundurkan diri dari jabatan eksekutif segenap perusahaannya. Ia kini lebih suka jadi Dewan Komisaris PT Jaya, Daha Motor, Jakarta Motor. Hotel Kemang, Asuransi Sriwijaya, PACTO, Central Commercial Bank dan lain-lain. "Saya serahkan kepemimpinan kepada yang muda-muda. Dengan cara begini kita bisa maju. Jangan sampai setelah saya nanti tak ada, perusahaan lantas macet. Tapi saya juga masih mendampingi mereka. Tugas sehari-hari di tangan anak-anak muda itu, tapi garis besar kebijaksanaan masih saya yang menentukan", katanya. Pensiunan letnan kolonel ini nama lengkapnya Haji Masagus Nur Muhammad Hasyim Ning. Ia bergelar Doktor (HC) bidang manajemen yang diterimanya tahun 1963 dari Ul SU, beberapa saat setelah Jenderal Nasution juga menerima Doktor HC dari universitas yang sama. Ia juga sering berceramah. Ada pendapatnya tentang 'perataan pendapatan' yang tampaknya memang khas pedagang' . Baginya, makmur dulu baru dibagi. "Sebab Bagaimana kita bisa memberi makan anak-anak kalau kita sendiri belum cukup ? Kalau pendapatan sedikit lantas dibagi, kan habis? Tapi setelah 'kue nasional' diperbesar, hanya sebagian saja yang dibagi rata. Dan bersamaan dengan itu ditertibkan dan sekaligus dibina -- dijaga kestabilannya . Sisanya untuk modal, yang harus diperbesar lagi. Saya ini berfikir praktis saja" Tanya: Apa sebenamya kunci sukses bagi pengusaha kita? Jawab: supaya sukses, kita harus laksanakan 3 syarat: ketekunan, kejujuran, perencanaan. Harus bisa mencocokkan daganga dengan selera konsumen. Sebelum menjual, harus selidiki dulu. Sumber kegagalan usahawan kita biasanya ini: kalau gagal sekali lalu pindah usaha lain. Belum riset sudah menjual barang. Hanya bisa menjual tapi menciptakan pasar nggak bisa. Sejak 1970 saya sudah membuka real estate di Kemang sebelum orang berlatah-latah ikut-ikutan. Ketika banyak real estate muncul, dan harga tanah naik, saya mundur. Lihatlah, real estate Kuningan, sampai-sampai seorang buruh bekerja untuk 2 - 3 rumah. Impor semen, tanpa mengingat kapasitas. Hingga akhirnya menumpuk dan beku. Impor terigu terus sampai menjamur. Ini karena tak ada riset sebelumnya. Jadi semua pekerjaan itu harus diatur, jangan suka lompat-lompat. Kalau dagang mundur, cari akal, berikan layanan yang baik sebab pembeli adalah raja'. Kita ini, usahawan-usahawan Melayu, kalau permintaan naik malah dimain-mainkan: harga dinaikkan tanpa menjaga mutu. T: Bagaimana dengan usahawan jaman sekarang? J: Nasihat saya tetap: jujur dan tekun. Indonesia ini kan tanah air kita sendiri, yang kita rebut sendiri. Kalau kita merasa dirugikan oleh Pemerintah, temui saja pejabat-pejabat itu. Toh mereka juga merasa bahwa Indonesia adalah tanah airnya. Dulu, ketika saya melawan Big Five yang lebih banyak mendapat fasilitas, pejabat-pejabat itu saya datangi. Big Five itu kaum monopolis sejak VOC dan baru bubar setelah kita merebut Irian Jaya,sampai-sampai terasi dan krupuk udang juga mereka monopoli. Saya bilang kepada pejabat-pejabat itu: "Apa saya tak layak disejajarkan dengan Big Five?". Akhirnya dipertimbangkan juga. Dan sekarang kan sudah banyak anak-anak muda yang tampil, misalnya ir. Siswono dan usahawan-usahawan muda yang tergabung dalam HIPMI. T: Tenang penyelundupan..... J: Sebaiknya Departemen Perdagangan kembali meneliti para importir dan eksportir, seperti tahun 1959 dulu. Salah satu sebab dari penyelundupan: karena ahlak sebagian pejabat-pejabat kita yang rusak, ingin hidup enak, tak bisa mengontrol diri-sendiri. Lihat Mercedes, ingin Mercedes -- lalu negara digerogoti. Kalau pedagang kotor ketemu pejabat kotor, ya hanya yang serba kotor saja hasilnya. Lahir di Padang tapi besar di Palembang. Hasyim Ning memang keturunan orang dagang. Tahun 1937, pertama kali ia cari nasib di Jakarta: menjadi tukang cuci mobil di perusahaan mobil orang Belanda, Velodroom, yang gedungnya sekarang ditempati Indokaya. "Mobil-mobil yang baru datang lewat Priok kan masih berlumas minyak. Nah, sayalah yang mencuci". Ketika itu ia baru 21 tahun. Kemudian jadi penjual mobil-mobil Velodroom. Sejak kecil suka mobil mainan, kakeknya sering membelikannya. Haji Ning, sang kakek, adalah pemborong yang dipercayai Belanda membikin jalan-jalan dan rel di Sawahlunto, hingga kereta api bisa mengangkut batu arang dari sana. "Kakek saya selama 25 tahun bebas naik kereta api dan mendapat 2 wagon spesial, lengkap dengan restorannya". Ketika pecah perang ia mengurus perkebunan teh dan penggilingan padi milik pamannya di Cianjur. Dalam perang kemerdekaan, ia angkat senjata di front Cianjur, Bandung Selatan, bersama Alex Kawilarang. Setelah pensiun (1951) ia kembali dagang membuka Djakarta Motor Company. "Dua,tahun kemudian saya mendirikan Indonesian Service Stasior, usaha assembling yang pertama di Indonesia", katanya. Berbeda dari rumah haji Ghany di jalan Teuku Umar yang sederhana, rumah Hasyim Ning di jalan Pakubuwono VI mentereng. Halamannya sangat luas. Persamaan kedua rumah usahawan ini ialah: keduanya memiliki sebuah gardu yang dijaga setiap hari. Kisah sukses Soedarpo lain lagi. Bermula ingin jadi dokter, akhirnya menjadi usahawan. Tahun 1948 duduk di staf kedubes RI di AS, 1951 pulang ke tanah air. Tapi pangkat dan jabatannya di Kementerian Luar Negeri ia tinggalkan, lalu mendirikan Soedarpo Corporation. Modalnya? "Ya sedikit-sedikit tabungan sisa gaji tian selebihnya lucu", katanya. Di jaman Jepang, ia dan sahabatnya, seorang India, sudah meramalkan Jepang akan kalah. Dan dengan sendirinya uang Belanda akan berlaku lagi. Darpo sering membeli uang Belanda yang kemudian 'diputar' oleh sahabatnya. Ketika kembali dari AS, ia "sudah punya uang cukup lumayan". Kecuali itu punya modal lain: banyak kenalan, hingga pintu menjadi pengusaha pun terbuka lebar baginya. Soedarpo Corporation lalu mengageni mesin-mesin tulis Remington. Di lain fihak, ada pula sumber rejeki menunggunya. Di AS, ia pernah berkenalan dengan pimpinan sebuah perusahaan pelayaran yang mengadakan pelayaran tetap ke Indonesia. Kenalannya orang AS itu lalu minta Darpo mengambil oper keagenan di sini yang dulu ditangani orang Belanda. Tahun 1952 ia mendirikan ISTA (Indonesian Shipping and Transportation Agency). Ketika tahun 1964 ada kebiasaan mengganti nama-nama asing ISTA menjadi PT Samudera Indonesia, yang kini bukan hanya sebagai agen melainkan berkembang menjadi perusahaan pelayaran yang memiliki armada sendiri sebanyak 8 kapal, melayari jalur tetap ke Jepang dan Eropa. Juga punya anak perusahaan pelayaran nusantara dengan 7 kapal serta beberapa kapal tongkang. Dan dengan swasta Jepang, ia bikin perusahaan bersama, khusus mengangkut kayu dengan 3 kapal. Sekarang, agen penjualan mesin ketiknya berkembang menjadi distributor komputer dan obat-obatan produksi Darmstadt, Univac, Merck, Sanbe. Samudera Indonesia dan Soedarpo Corporation, berkantor pusat di 2 tempat: Kalibesar Barat dan jalan S. Parman (Slipi), Jakarta. Pada dinding kaca ruang tamu kantornya di Slipi, terpampang tulisan: "Motto kita: sabar, tabah, tekun dan iman". Agaknya itulah pedoman dan resep Darpo. Berdasarkan pengalamannya, ada 3 hal yang ia catat dalam bisnis perkapalan. Pertama, awak kapal semua harus orang Indonesia. Yang ternyata ini tidak mudah", katanya. Kedua, usaha semacam ini perlu modal besar tapi hasilnya kecil. "Dalam mencari kredit untuk tambahan modal tak ada garansi Pemerintah meskipun usaha kita justru untuk menyalurkan barang dari dan ke luar negeri". Ketiga, untuk penambahan armada sering menyewa kapal. "Yang boleh disewa tentu kapal bekas. Ongkos perawatannya jauh lebih mahal ketimbang kapal baru", katanya. MENURUT Darpo, pengusaha pribumi sekarang umumnya masih lemah. Salah satu sebabnya ialah pengaruh sisa-sisa kebudayaan priyayi dan kebudayaan Hindu yang mengenal tingkatan kastakasta. "Pedagang dianggap kasta ketiga. Itulah sebabnya iklim usaha kita agak sulit". Kesempatan dan perlindungan dari Pemerintah sejak dulu sampai kini, menurutnya, sebenarnya cukup. Toh pengusaha pribumi tetap lemah. "Itu antara lain karena pengaruh kebudayaan lama itulah",tambahnya. Adapun kebudayaan priyayi katanya bisa dikikis habis dengan pendidikan yang layak dan sesuai dengan jaman. Misalnya memperbanyak sekolah-sekolah kejuruan. "Yang kita butuhkan ialah tenaga-tenaga trampil". Latihan kerja praktek di perusahaan-perusahaan adalah penting sekali", katanya. Tentu ada tokoh-tokoh swasta lain yang bisa ditampilkan di sini. Tapi karena kesibukan atau masih berada di luar negeri, mereka tak begitu mudah untuk ditemui. Agaknya yang juga menarik dikemukakan adalah Dr Suparman, 51 tahun, yang mulai mempopulerkan istilah wiraswasta. Pernah 10 tahun jadi tentara (terakhir kapten), tahun 1955 berhasil mencapai gelar sarjana ilmu pajak di negeri Belanda, lalu melanjutkan studi perpajakan di AS. Ia juga dikukuhkan sebagai doktor ilmu akuntansi oleh UNPAD. Berbeda dengan tokoh swasta lainnya, Suparman yang sudah ubanan ini memang memulai karirnya sebagai guru. Sekalipun kini aktif sebagai konsultan, memimpin sebuah perusahaan asuransi dan beberapa perusahaan lainnya, sikap gurunya masih tebal. Akhir-akhir ini dia sering berceramah memperkenalkan: Apa itu yang disebut Wiraswasta. Tahun lalu dia mendirikan Lembaga Bina Wiraswasta dengan Bung Hatta sebagai pelindungnya. Usahawan pribumi yang ulet itu percaya bahwa setiap orang pasti bisa berhasil menjadi wiraswasta, asal saja menjalani dengan tekun semua persyaratannya. Mungkin tertarik akan istilah padi unggul, dia mendambakan lahirnya manusia-manusia "unggul" di Indonesia. "Yang perlu adalah menjadi manusia unggul dulu", katanya. "Nah sesudah itu baru memperdalam ilmu dengan sekolah". Dan mendidik manusia wiraswasta itulah yang diajarkan lembaganya. Bagi Suparman, seorang wiraswasta itu tak terbatas pada usahawan saja. Tapi bisa juga menyelam di bidang seni sampai olahraga. Rudi Hartono dan dramawan Rendra menurut Suparman adalah wiraswasta. "Asalkan orang itu punya karakter, ulet, berdikari, pandai memilih risiko, inovatif -- nah itulah wiraswasta", katanya. Suparman terjun ke bidang usaha baru belakangan ini -- dibanding dengan tokoh-tokoh swasta lainnya. Mungkin suasana bisnis yang banyak menggantungkan diri pada kredit bank, fasilitas ini-itu dan rasa puas diri kalau sudah bisa menemukan partner asing --itulah yang membuat akuntan ini merasa perlu menumbuhkan sikap yang berdikari pada para pengusaha jaman sekarang. "Cari kredit bank itu perlu untuk meluaskan usaha", katanya. "Tapi itu bukan merupakan syarat utama bagi seseorang yang ingin berusaha". Tanya: Apa sudah banyak usahawan kita yang bisa disebut wiraswasta? Jawab: Belum. Ini memang butuh suatu proses yang panjang, butuh kesabaran. Tapi kalau suatu waktu sudah bisa dibina manusia-manusia unggul di Indonesia, saya yakin mereka akan bisa merubah watak bangsa agar percaya pada diri sendiri. Lalu dia mengemukakan contoh ekstrim dari manusia unggul yang pernah lahir di dunia ini: Hellen Keller yang buta-tuli dan bisu itu, yang berhasil menjadi jutawan yang amat dermawan. Beberapa buku Suparman yang berjudul Waktu, Watak, Wiraswasta dan Menggali, Menempa dan Mengembangkan Kepribadian Unggul Kewiraswastaan, menurut beberapa orang mirip dengan buah fikiran Dale Carnegie, orang Amerika yang terkenal dengan buku-buku 'sukses' itu. T: Soal pribumi dan non-pribumi itu sering dipakai untuk membedakan antara kaum modal lemah dan mereka yang bermodal kuat. Bagaimana pendapat bapak? J: Saya keberatan menggunakan istilah itu. Apalagi kalau disebut pribumi lemah. Sesudah 5 tahun isyu tersebut ditiup-tiupkan, saya khawatir akan timbul keyakinan dalam masyarakat bahwa pribumi itu memang lemah. Padahal kalau dikaji, kemerdekaan yang berhasil kita rebut ini adalah semata-mata karena pribumi kuat. Isyu semacam itu tak patut diterus-teruskan. Kita justru sedang menjadi bibit pribumi yang unggul. Sekalipun diakui banyak bibit-bibit kemalasan, bermental lemah, priyayi mana dan benih kecurangan. Yah, kaum aji mumpung yang tak setia pada tanah air ....

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus