Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PSIKOLOGI IMAJINAS | ||
Oleh | : | Jean-Paul Sartre |
Penerjemah | : | Silvester G. Sukur |
Penerbit | : | Yayasan Bentang Budaya, 2000 |
Lekatnya Sartre pada dunia sastra dan psikologi adalah karena filsafat baginya merupakan langkah persiapan untuk memahami kedua bidang tersebut. Dan untuk memahami Sartre secara detail, seyogianya kita juga merujuk pada filsafat Plato, Descartes, Kant, Hegel, Husserl, Nietzsche, Bergson, dan Heidegger.
Buku Psikologi Imajinasi adalah upaya Sartre untuk membentuk sebuah pemikiran tertentu dari pergumulannya dengan pemikiran para pemikir di atas. Ia belajar tentang estetika dari Plato dan mendapatkan pemahaman mendasar tentang ego sebagai dimensi rasional-subyektif dari Descartes. Kant dan Hegel memperlihatkan kepadanya soal keterpecahan dunia dan dialektika, Bergson menyuntiknya dengan dunia pengalaman mental, sementara Nietzsche mewariskan bagaimana berpikir dengan sangar. Tapi, pemikir yang paling mendalam mempengaruhinya adalah Husserl dan Heidegger, dua "babon" fenomenologi.
Buku yang termasuk karya awal Sartre yang membuat ia mulai diperhitungkan sebagai filsuf ini ditulis pada 1935-1936. Tahun 1930-an memang masa yang penting baginya untuk menentukan dasar pijakannya dalam berpikir. Sesungguhnya, bagi mereka yang tak mengenal filsafat fenomenologi, buku ini akan sangat sulit dipahami kendati dari segi bahasa, Sartre penulis yang sangat jernih. Di tangannya, bahasa Prancis seolah menjadi bahasa yang paling transparan dan familiar dalam mengekspresikan kehidupan. Inilah perbedaannya dengan Heidegger, yang justru membuat bahasa Jerman terkesan demikian angker.
Untuk memaklumi kerumitan analisis psikologis dalam Psikologi Imajinasi, perlu diingat bahwa buku ini memang bukan dimaksudkan sebagai sebuah pedoman praktis. Buku ini merupakan hasil dari abstraksi dan refleksi yang demikian kompleks untuk menemukan dasar keyakinan filosofis bagi psikologi, agar bisa dengan gamblang mempersoalkan apakah sebenarnya imajinasi itu. Perlu juga diingat bahwa pada saat Sartre menulis buku ini, psikologi sebagai sebuah disiplin ilmu masih tertatih-tatih.
Kini, ketika psikologi sudah menjadi praktis, mungkin buku semacam Psikologi Imajinasi yang demikian filosofis ini dianggap terlalu memusingkan.
Tentu upaya Sartre mengangkat tema imajinasi bukannya tanpa alasan empiris. Ketika psikologi sedang berusaha eksis sebagai ilmu, apakah tema abstrak semacam ini mungkin terjangkau secara metodologis? Pertanyaan semacam ini pun agaknya sudah menjadi benih problematis pada Wiliam James, sebagai "bapak psikologi", dalam karya monumentalnya, The Principles of Psychology (dua jilid), yang terbit pada akhir abad ke-19. Pembahasan tentang imajinasi (imagination) bisa kita ikuti dalam jilid ke-2 pada Bab XVIII, tempat James tampaknya sadar betul ketika menulis, "Our images are usually vague." (Imajinasi kita biasanya agak kabur, Red)
Sartre tidak mewakili psikologi pragmatisme James, dan ia pun menyangkal psikologi behaviorism warisan Pavlov. Ia menggunakan fenomenologi Husserl untuk memahami kelenturan arti imajinasi. Bagi filsafat fenomenologi, sebuah kepastian dalam segala hal menjadi tidak penting karena pada kenyataannya kita selalu hanya sanggup menangkap gejala (fenomena) lewat persepsi.
Imajinasi termasuk fenomena mental yang hanya mungkin dipahami dalam atau lewat persepsi. Tapi, bagaimana memahami imajinasi ketika menjadi sebuah obyek konkret, misalnya tampak di dalam sebuah karya lukis atau foto? Bagaimana pula memahami orang yang terkena skizofrenia, yang menganggap obyek-obyek di sekitarnya tidak riil? Lalu, apakah persepsi kesadaran kita sendiri adalah sebuah dunia riil? Di mana letak perbedaan antara obyek riil dan imajinasi?
Membaca Psikologi Imajinasi bukan sekadar membangun sebuah obyek imajinasi. Memahami imajinasi sebenarnya merupakan patologi bagi kesadaran kita atau tubuh kita sendiri secara eksistensial. Dasar pemikiran Sartre ialah, ia ingin menunjukkan bahwa kesadaran imajinatif kita merupakan kesadaran intensional terhadap obyek yang "meniada". Ini terkait langsung dengan dasar pemikiran eksistensialismenya bahwa "kreativitas adalah kesadaran menidak".
Sekalipun buku ini terlambat diterjemahkan, ia masih sangat berguna untuk wawasan pengetahuan kita tentang psikologi. Sayang, buku ini tidak disertai dengan sebuah pengantar yang proporsional untuk memahami seluk-beluk atau latar belakang pemikiran Sartre.
Tommy F. Awuy
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo