Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kyla Barkin duduk bersila mirip orang bertapa. Gaun berwarna putih membungkus kulitnya di ruangan berlatar hitam. Di atas sebelah kanan Kyla, berbaring tubuh Mila Roshinta, yang berbalut gaun merah. Dua perempuan itu lalu menjulurkan tangan untuk berpegangan. Mereka muncul dari permukaan kaca datar yang mendapat sorot cahaya lampu putih. Tubuh mereka seperti berdekatan, padahal terpisah jauh.
Kyla berada di New York. Mila berada di Yogya, di Studio Tari Banjarmili milik koreografer Martinus Miroto. Dalam waktu bersamaan, mereka terlihat bersisian lincah menggerakkan tubuh. Pohon preh berukuran raksasa dan bambu yang tumbuh rimbun menjadi latar di balik layar kaca. Air Sungai Bedog mengalir bergemericik. Suara mirip auman serigala dari tiupan seruling mengiringi gerak lekuk tubuh dua perempuan berambut panjang itu. Mereka tampil dalam pertunjukan realitas tele-holografis berjudul Body in Between di Studio Tari Banjarmili, Jumat malam, 8 Agustus 2014. Pertunjukan selama dua jam ini disutradarai Martinus Miroto.
Ia membuat karya pertunjukan sebagai bagian ujian tertutup program doktor penciptaan dan pengkajian seni Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Miroto memanfaatkan teknologi tiga dimensi hologram dalam pertunjukan itu. "Hologram menjadi jembatan yang mempertemukan dunia maya dan nyata," kata Miroto. Ia harus menghadapi tujuh anggota dewan penguji untuk menyelesaikan disertasinya. Di antaranya Prof Dr Y. Sumandiyo Hadi, Prof Sardono W. Kusumo, Dr St. Sunardi, Prof Djohan, dan Sal Murgiyanto.
Gagasan tele-holografis muncul dari hasil pengamatan Miroto terhadap perkembangan pesat teknologi dunia maya abad ke-21. Komunikasi melalui sistem video call kini mampu menyebabkan dua orang beda lokasi bisa bertatap muka dan berbicara sangat dekat. Ini menginspirasi Miroto menggagas sebuah kolaborasi tari jarak jauh.
Miroto menggunakan dua kaca datar jenis temper berukuran setidaknya 2,8 x 4,8 meter untuk menghasilkan gambar maya. Kaca ini biasa digunakan sebagai bahan pembuat kaca mobil yang tidak mudah pecah. Dua kaca masing-masing dengan tebal 12 milimeter ia datangkan langsung dari pabrik kaca di Surabaya. Ia pun melibatkan ahli kaca untuk menjaga kualitas bahan. Memasukkan dua kaca ke ruang pertunjukan bukan perkara gampang. Kaca diletakkan dalam posisi miring 45 derajat dalam pertunjukan untuk menghasilkan efek menembus obyek maya dan nyata. Dia harus memotong kusen pintu rumah bagian depan supaya kaca itu bisa masuk. Dua kaca yang harganya masing-masing Rp 30 juta (bersama ongkos kirim) itu diangkut dengan truk besar dan dimasukkan pelan-pelan ke dalam rumah menggunakan derek Âpengangkat kaca.
Dua kaca berbobot 380 kilogram itulah yang menghasilkan gambar yang seolah-olah nyata, menggunakan teknologi hologram. Teknologi dunia maya ini menyajikan simulasi antartubuh. Simulasi memunculkan hiperealitas, yaitu pengalaman komunikasi digital yang menciptakan dunia seolah-olah jauh lebih nyata daripada kenyataannya. Inilah yang membuat tubuh penari beda negara, ruang, dan waktu itu bertemu. Penampil pertunjukan merespons citra di layar yang tergelar di lantai tepat di depannya. Semakin dekat subyek dengan kamera, semakin besar citra yang dipresentasikan pada panggung pertunjukan.
Miroto memerlukan waktu lima tahun untuk menyiapkan karyanya. Ia merogoh duit Rp 200 juta dari tabungan pribadinya untuk menghasilkan pertunjukan ini. Tiga tahun ia gunakan untuk meriset apa itu teknologi hologram dan bagaimana menciptakan kolaborasi dalam seni pertunjukan. Dia memulainya dengan mencari informasi lewat Google dan belajar dari seseorang bernama Aji yang tahu tentang hologram. Miroto mengenal Aji dari Internet tiga tahun lalu.
Dari perkenalan itu, Miroto meminta Aji datang ke rumahnya. Mereka lalu melakukan uji coba bahan untuk menerapkan teknologi hologram dan mengalami serangkaian kegagalan. Bahan yang diuji coba adalah plastik, mika, kaca, dan akrilik. Gambar menjadi tidak proporsional ketika memakai akrilik. Menurut Miroto, ada bahan yang bisa menghasilkan gambar yang bagus, yaitu film foil, tapi harganya sangat mahal, yakni Rp 200 juta. "Kaca bahan yang paling memungkinkan dan cepat digunakan," ujarnya.
Ia kemudian mengaplikasikannya menggunakan teknologi hologram dengan bandwidth Internet 10 megabita. Hasil gambarnya memang tidak sempurna. Gambar yang muncul di kaca terlihat agak kabur. Suara yang dihasilkan pun tidak jernih. Menurut Miroto, teknologi di Indonesia belum siap menghasilkan gambar sempurna. Setidaknya perlu bandwidth Internet 16 megabita untuk menghasilkan gambar dan suara yang bagus.
Miroto melibatkan tujuh penari muda dari Indonesia dalam pertunjukan ini. Selain Mila Roshinta, ada Ari Inyong, Mugiyono, Endah Laras, Ari Ersandi, Mulyono, dan Rangga. Mereka sangat antusias sehingga berlatih intensif. Bahkan mereka berlatih di studio hingga dinihari. Sedangkan penari maya yang hadir dalam pertunjukannya, selain Kyla Barkin dari New York, adalah Yutsen Liu dari Taipei dan Ikko Suzuki asal Tokyo.
Para seniman non-Indonesia itu menggunakan latar tempat yang berbeda ketika tampil. Kyla dan Ikko memakai tempat berlatar hitam. Sedangkan Yutsen menggunakan ruang tamu di rumahnya untuk tampil. Semua penampil non-Indonesia itu kawan Miroto. Ia kerap bertemu dengan mereka dalam pertunjukan di sejumlah negara. Ikko, yang tinggal di Tokyo, misalnya, juga pernah datang ke rumah Miroto di Yogyakarta—yang sekaligus menjadi studio tari. Ikko dengan terbata-bata pada layar mengucapkan "selamat malam" dan "matur nuwun".
Ia tampil jenaka di layar berpasangan dengan penari Mugiyono di studio. Ikko, yang botak dan berbaju putih, sekilas mirip Mugiyono dari Indonesia, yang juga botak dan berpakaian putih. Menjelang akhir pertunjukan, muncul gambar kepala Ikko yang besar. Mulut dia membuka lebar. Tubuh Mugiyono yang terlihat mini masuk, bersembunyi di dalam mulut Ikko. Mugiyono juga menari di dalam mulut Ikko.
Pada akhir pertunjukan, Miroto memberi penonton kesempatan bertanya kepada tiga penampil maya yang muncul di layar. Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana perasaan para penampil saat itu. Kyla dari New York tampak sumringah. "Ini pagi hari yang indah. Kita bertemu seperti nyata. Aku berharap setiap orang di dunia terhubung," kata Kyla. Perasaan senang juga Ikko sampaikan. "Aku ingin bertemu dengan Mugiyono. Aku berharap kita semua terhubung," ujarnya.
Shinta Maharani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo