Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Tumbuhnya agama politik

Jakarta : gramedia, 1987 resensi oleh : praginanto.

25 Juli 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

POLITIK MODERNISASI Oleh: David E. Apter Penerbit: PT Gramedia, Jakarta, 1987, 485 halaman POLITIK mungkin konsep yang paling kontroversial dalam kehidupan manusia. Dalam arti yang sangat luas, seseorang yang memberi sumbangan RT juga bisa dikatakan berpolitik. Jika dikaitkan dengan kekuasaan birokrasi, terutama di banyak masyarakat negara Dunia Ketiga, konsep itu bisa pula diartikan sebagai alat eksploitasi mandat rakyat. Atau sebaliknya, sebagai prima motor integritas nasional. Perdebatan terus berlangsung, dengan fokus tak jauh dari sebuah pertanyaan. Untuk kepentinan masyarakat. di sisi mana politik harus ditempatkan? Menjawab pertanyaan ini, tak ubahnya menebak sampai di mana sebuah hitungan "tak terhingga" berhenti. Memang banyak ahli yang mencoba menjawabnya. Berbagai gagasan mereka bisa ditemui di banyak buku yang tersebar di muka bumi ini. Hanya saja, ketika dikembalikan pada kompleksitas permasalahannya, dan saling disandingkan, sebuah persoalan akan kembali muncul. Mana yang benar? Entah siapa yang akan mampu menghasilkan sebuah paradigma. Tetapi David E. Apter, dalam buku ini mencoba mengulas permasalahan tersebut, dalam konteks gerakkehidupan manusia yang sangat populer: Modernisasi, dengan penekanan pada negara-negara sedang berkembang. Sebagai alat telaahnya, dia memakai metode fungsional, agar bisa mengupas suatu tipologi bentuk pemerintahan serta proses perubahannya, sembari menunjukkan hubungan antara bentuk-bentuk tersebut dan sejumlah kategori fungsional. Dan dalam merumuskan tipologi politiknya, Apter tak menyeleweng dari yang ada. Hanya saja, dia menekankan pada sistem nilai dan hierarki, yang memperkuat alur pemikiran Gabriel Almond dan Sidney Verba dalam kajian mereka: soal budaya warga negara. Diakuinya juga bahwa kajian kedua ilmuwan itu mempengaruhi sampai ke pusat analisanya -- keselarasan antara ide dan nilai-nilai bentuk yang mengaturnya. Persoalan analisa itu juga tak bisa terlepas dan peranan para antropolog dari aliran fungsional. Hasil-hasil kajian mereka membantu para pemerintah kolonial menangkap sikap-sikap masyarakat jajahannya terhadap perubahan, sekaligus menghasilkan para teoretisi tentang pemerintahan tidak langsung. Tapi Apter melihat satu pertanyaan yang tak dijawab mereka. "Mengapa beberapa sistem tradisional lebih mudah menerima inovasi dibanding sistem tradisional lain?" Tiga gejala menarik dicomot Apter dari tiga masyarakat Nuer, Fulani-Hausa, dan Dahomey di Afrika, untuk menjawabnya. Masyarakat Nuer, yang peran-peran fungsional dan tingkah laku instrumentalnya didasarkan pada kekerabatan serta terikat pada ibadat ritual, lebih memungkinkan menyerang inovasi dan perkembangannya daripada mengabaikan. Kalaupun tampak gejala tanpa perang, itu tak banyak berpengaruh. Masyarakat Fulani-Hausa sebaliknya. Kewenangan piramidal mendukung ketahanan sementara nilai-nilai instrumental membolehkan perubahan yang dijalankan dengan hati-hati. Islam mendukung kewenangan dan praktek-praktek instrumental, dan pada waktu bersamaan menekankan aspek komunitas dalam kehidupan sosial politik. Karena itulah, para emir di Nigeria Utara, mampu mendominasi politik modern di seluruh negeri, sekaligus sebagai katalisator dalam proses perembesan anasir-anasir modern. Tapi bagaimana kalau kewenangan hierarkis porak-poranda? Masyarakat Fon dari negeri Dahomey memberi contoh menarik. Mereka mengadakan kolaborasi dengan modernitas bangsa penjajahnya, Prancis, lewat sekolah-sekolah Barat. Hasilnya memang mengejutkan, kaum elite mereka menebar dan berhasil meraih kedudukan dalam birokrasi di wilayah Afrika berbahasa Prancis. Sementara itu, persentase anak-anak mereka yang bersekolah meraih angka tertinggi, kendati Dahomey termasuk negara paling miskin. "Sulit untuk tidak memandang elite politik sebagai kekuatan pemodernisasi, penumbuh norma-norma yang memiliki relevansi fungsional terhadap inovasi, dan pencipta pola motivasi yang tak ada dalam masyarakat tradisional," demikian Apter menulis. Sedangkan dalam soal peran intelektual, Apter setuju dengan pendapat Edward Shils, yang menganggap sebagai perantara kritis antara tradisionalitas dan modernitas. Sebuah gejala umum yang muncul di tengah gerak modernisasi adalah tumbuhnya agama politik, sebagai tanggapan terhadap hilangnya kepercayaan yang mencirikan sistem rekonsiliasi dewasa ini -- yang bersifat suci diterapkan untuk mengembangkan keabsahan politik, dalam usaha mobilisasi komunitas bagi tujuan-tujuan sekuler. "Agama" semacam ini membuat mereka tak pernah merasa berdosa. Ini membuat demokrasi-konstitusional tak berlaku, dan rasa keberhasilan lepas dari kaum penjajah memberi kemungkinan berkembangnya pemerintahan mesianik. Bahayanya, keruntuhan agama semu ini senantiasa disertai dengan meningkatnya bentuk-bentuk konflik dalam masyarakat menjadi gerakan-gerakan keagamaan di masa lampau. Perwujudannya bisa berupa upaya melenyapkan musuh atau menghinakannya, dan penegakan kembali ortodoksi atau pembentukan ideologi baru yang serupa. Kendati demikian, sebuah bahaya lain masih mengancam jika salah kaprah terjadi, dengan menjadikan industrialisasi sebagai tujuan politik. Padahal, menurut Apter industrialisasi hanyalah sebuah aspek dari modernisasi. Sehingga, salah kaprah itu hanya menghasilkan pertumbuhan semu pabrik-pabrik atau perusahaan asing. Tapi jangan berharap negara itu bakal mampu mengembangkan infrastruktur industrinya lebih lanjut. Masalahnya, industrialisasi yang dilakukan hanyalah kepanjangan tangan dari sistem negara induk. Semoga hal ini tak terjadi di Indonesia. Praginanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus