Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Matematika dan yuris

Bahasa hukum dan perundang-undangan sulit dipahami khalayak karena bahasa dan logikanya ruwet. mungkin sarjana hukum perlu belajar matematika agar logika produk hukumnya mudah dimengerti.

25 Juli 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA sepotong ungkapan yang selalu mengganggu Menteri KLH Prof. Emil Salim, pakar pembangunan itu. Apa ada -- serunya -- kata-kata perangkai kalimat yang lebih elok didengar daripada "demikian rupa sehingga". Apa ada -- keluhnya pembungkus niat, pengabur arti, yang lebih berdaya guna dari untaian tiga kata miskin makna itu. Apa ada -- desahnya -- ungkapan politik yang lebih manis didengar, tapi sulit ditelan pakar yang cendekiawan, daripada slogan nekat mengompromikan dua tujuan yang bertentangan, dengan kata rangkai yang sering merusakkan logika itu? Dengarlah! Kita tingkatkan jumlah kendaraan umum dan pribadi di Jakarta, demikian rupa sehingga kelancaran angkutan terjamin tanpa memacetkan lalu lintas. Kita bangun perekonomian kita dengan landasan kekuatan pasar yang makin bebas, demikian rupa sehingga pertumbuhan ekonomi tak terhambat, tapi sektor swasta sektor koperasi, dan sektor negara dapat berkembang secara selaras serasi, dan seimbang. Kita ciptakan sistem pendidikan nasional terpadu yang menjamin keadilan dan demokrasi bagi pemberian pelayanan pengajaran bagi semua warga negara, demikian rupa sehingga keragaman peringkat dan isi pengajaran antardaerah dapat terwadahi, sementara mutu baku pendidikan tetap dapat terjamin. Anda terbuai. Saya pun terangguk-angguk. Tapi Emil Salim tidak. Dia geleng kepala. Bahkan mendesis atas ruwetnya upaya mengikuti cara berpikir si pembawa pesan yang bicara tanpa peduli akal sehat. Ungkapan manis itu runtuh alur mantiknya, dan kurang peduli bagaimana implikasi melaksanakan gagasan yang gampang dipidatokan itu. Bahasa, bila putus hubungannya dengan logika, memang bisa kacau. Jangan dikira, bahasa hanya perlu muatan estetika bunyi dan irama, guru lagu dan guru wilangan. Berbahasa hakikatnya mengungkapkan buah pikiran, memberikan akal sehat yang runtun urut, dan jelas tata kaitan pengertiannya. Karena itu, konon zaman dulu kala, ibu bapak ilmu pengetahuan itu cuma terdiri dari dua bidang kajian saja, bahasa dan matematika. Orang lalu bisa bicara seruntun jalan pikirannya. Ia tidak hanya peduli tata bahasa dan kosakata, tetapi juga logis atau tidak pengertian omongannya. Ia tidak hanya bicara melafal puisi atau menghafal mantra yang kaya magi. Ia juga berbahasa dengan kerangka mantik yang jelas maknanya. Berbahasa secara baik dan benar ialah mengungkapkan logika yang runtun dan memilih kata secara hemat serta mengutarakannya dalam sajian tata bahasa yang mudah dipahami. Bila Anda beo, pendengar memaafkan ocehan ngawur asal bunyi. Bila Anda halilintar, pendengar akan kagum atas getaran bunyi yang memekakkan. Bila Anda biola, khalayak akan tergetar hatinya oleh alunan irama dan detak pukulan lagu yang Anda gesekkan. Tapi bila Anda homo sapiens, makhluk berakal, janganlah menyiksa pendengar omongan Anda dengan logika kocar-kacir yang raib maknanya. Karena itu, saya setuju pengakuan jujur Bung Abdul Hakim Garuda Nusantara. Biar ia sarjana hukum dan Ketua LBH, kritiknya terhadap bahasa hukum dan perundang-undangan di Indonesia telak di ulu hati. Kalimat berangkai yang berderet-deret tanpa putus dengan pilihan kata-kata ganjil dan kata sambung barangkali rangkai membuat logika produk perundang-undangan itu seperti dipilin-pilin melilit dan melingkar, sulit ditelusuri ujung pangkal maknanya. Namun, ahli hukum toh tidak peduli bila orang di luar disiplin litigasi tak kunjung mengerti maksud undang-undang dan peraturan yang mereka tekuni. Bukankah itu memang domain, yang hanya yuris boleh bergulat? Seperti halnya rahasia anatomi, hanya dokter yang boleh membedah atau mereparasi? Saya tertegun waktu Bung Hakim mengimbau, apa bisa calon sarjana hukum diajari matematika. Agar mereka bisa berproduk hukum yang runtun mantiknya, mudah dipahami khalayak alur logikanya. Hakim bermimpi, argumentasi -- penegak hukum -- dan buku pintar bagi yuris mengandung konsistensi plausibility dan accuracy (kecermatan) suatu perkara yang lebih dekat dengan urusan berlogika daripada kesan debat kusir yang diperoleh orang, bila mendengar pihak-pihak yang lagi berperkara. Matematika melatih runtunnya logika: Matematika menegakkan sokoguru kebenaran faktual dan relasional. Matematika meruntuhkan taktik air mata buaya atau gertak sambal dalam berperkara, karena keduanya umumnya goyah landasan rasionya. Tapi, logika toh bukan segala-galanya? Benar juga. Yang logis benar belum tentu yang empiris diterima. Yang menurut nalar wajar belum tentu menurut nilai-nilai yang berlaku dianggap benar. Padahal, berbahasa, berpikir, berargumen, bahkan berperkara bukan soal saja. Ada budi, ada pekerti. Ada susila, ada darma. Karena itu, matematika yang empiris pun -- suka disebut statistik -- bukan segala-galanya. Ia hanya salah satu alat. Bahkan pasti bukan alat vital. Karena itu, kalau Pak Emil berpesan dalam kongres Statistika kedua baru-baru ini, untuk berwaspada dengan ungkapan demikian rupa sehingga, tidak berarti statistik boleh bersorak-sorai, karena disanjung sebagai disiplin yang sarat logika. Karena permainan logika dengan angka pun bisa menjadi senjata untuk berbohong kajiannya. Ada buku yang mengajari kita bagaimana menipu dengan cara yang jitu -- lewat statistik. Bila Anda keblinger, data pun bisa Anda putar, skala pun bisa Anda reka-reka, ukuran dipilih mana yang enak di hati teman. Tapi, menipu dengan angka toh tidak mengenyangkan apalagi menyejahterakan? Karena itu, menurut saya, statistik yang baik ialah yang jujur, apa adanya !

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus